Mohon tunggu...
R Aulia
R Aulia Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Menjadi Lentera bukan Angin yang selalu meredupkan upaya penerangan anak-anak bangsa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ibu Negara Sebel sama Penguntit di Instagram

17 Januari 2014   09:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:45 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13899256241407387416

Oleh:

M. R. Aulia

Ditulis Jumat Pagi, 17 Januari 2014, dan diselesaikan pukul 09:25 WIB.

[caption id="attachment_316367" align="alignnone" width="656" caption="Ibu Negara dan Kameranya, Sumber: berita.plasa.msn.com"][/caption]

Untuk kesekian kalinya ibu negara berkicau. Bukan kicauan yang menampilkan keanggunannya, melainkan tanggapan yang bernada kesal dan sebal bagi mereka yang menguntit sang ibu di akun instagram. Sebagai pendamping seorang kepala negara, sang ibu mutlak kecipratan rasa sinis banyak orang. Meskipun sang ibu sudah banyak dan terus menjalankan tugasnya sebagai penguat dan tempat bersandarnya kepala negara, setelah Tuhan, saat dirundung lapisan tebal kegalauan.

Rasa ingin melahirkan sebuah karya yang tampak nyata pun membuat ibu negara ingin melakukan sesuatu. Hobinya menjinjing kamera ketika berkunjung ke berbagai daerah di Indonesia. Dengan itu, ia memotret dan mengabadikan gambar murni dari lensa yang dibidik olehnya secaralangsung. Sehingga hasil kumpulan berbagai buah tangkapan cahaya sang ibu negara pernah dijadikan sebuah buku dan tidak jarang diunggah di jejaring sosial. Tentu tidak ada yang salah dengan itu semua. Selama tidak menganggu nilai kinerja kenegaraan itu sendiri.

Ibu negara pun berhak mengekspresikan diri. Memperlihatkan sekelumit rasa yang mewarnai hidupnya bersama kepala negara dan di bawah bayang-bayang tugas sebagai ibu bagi anak-anaknya. Atau sebagai istri dari kepala negara dan seabrek tugas kenegaraan yang tidak bisa dibilang mudah. Penuh tekanan dari segala penjuru mata angin.

Sebagai orang yang jauh dari istana. Tentu banyak dari kita beranggapan, mereka yang ditakdirkan hidup dalam waktu yang lama di dalam sebuah istana nan megah, tak pernah dirundung kegalauan. Seakan-akan hak sedih mereka tercerabut sementara. Sehingga rasa perih, rasa sunyi, suntuk, gelisah, dan rasa keluh kesah lainnya, murni cuti atau pensiun dari kehidupan mereka. Apalagi mereka mendapatkan full service dari negara. Penuh pelayanan dan keamanan yang lebih terjamin bila dibandingkan mereka yang hidup persis di luar lingkungan istana.

Sayangnya, itu hanya anggapan orang yang memandang mereka dari kejauhan. Rasa duka tentu seringkali akrab dengan keseharian mereka. Bagaimana tidak, pagar megah yang mengelilingi istana pun acapkali dikerumuni oleh tamu. Tamu yang berjumlah ribuan bahkan lebih dari itu.

Tamu tersebut datang dan bergantian menumpahkan rasa duka yang mereka alami dalam keseharian, persis di depan istana. Di depan sebuah gedung yang terlihat megah. Temboknya yang begitu kokoh. Namun siapa sangka, teriakan histeris juga seringkali terdengar dari tamu-tamu yang datang. Duka, gelisah, harapan mengalir masuk. Menyelinap melalui sela-sela, sehingga telinga penghuni istana pun tak kuasa menolaknya.

Disanalah sang kepala negara harus berpikir. Menguras tenaga dan pikiran untuk menjawab banyak harapan dan teriakan dengan suara yang indah. Suara yang benar-benar dapat diterima oleh tamu yang datang berbondong-bondong. Teriakan tersebut tidak hanya disampaikan langsung di luar pagar istana, melainkan bisa juga berhasil masuk dan lolos menembus kamar-kamar bernuansa sangat privatsekalipun yang terdapat di dalam gedung istana. Semuanya tidak luput dari rongrongan, keluh kesah banyak orang dan sebagainya. Disinilah ibu negara menjalankan perannya. Menjadi sandaran yang kuat dan kokoh agar kepala negara tidak resah, dan mampu melahirkan terobosan nan indah bagi banyak kalangan.

Kepala negara bersandar di pelukan ibu negara. Lalu bagaimana ibu negara menumpahkan rasa keluh kesahnya bila sang kepala negara sedang sibuk. Tentu dengan menghabiskan waktu yang membuat rasa senangnya muncul. Salah satunya dengan berekspresi di dunia maya.

Di sebuah jejaring sosial yang cukup ternama, yaitu Instagram. Berbagai pose menarik yang biasanya terdiri dari anggota inti keluarga istana. Pose bersama yang utuh atau sebagian saja. Pose dalam ruangan yang megah, ataupun berlatar batu karang besar dan deburan ombak. Pose bersama publik figur mancanegara atau dengan para buruh, petani, nelayan dan sebagainya.

Rasa sedih, sunyi, atau rasa gelisah yang dirasakan oleh sang ibu ditumpahkan melalui hobi atau kegiatan ringan seperti itu. Hebatnya, meskipun terkadang sedang bersedih, sang ibu negaramengekpresikan diri di depan publik jarang sekali bernada galau.Ia tidak menumpahkan rasa sedih dan suara hati yang berkecamuk di depan umum secara frontal. Jangan salah, bisa jadi ekspresi yang terlihat penuh dengan pesona suka, tidak jarang itu semua menutupi rasa duka yang ada.

Tidak seperti kebanyakan warga dunia maya. Kecamuk dalam dada sering terlontar frontal di ranah publik. Tanpa ada filter atau saringan lainnya. Kata-kata galau, protes atau kecaman sering diperlihatkan. Seringkali beralasan bawah hal demikian bisa membuat mereka lega dan sebagainya.

Sangat berbeda dengan sang ibu negara. Ekspresi yang disampaikannya hanya sekedar hasil tangkapan cahaya, atau kata-kata yang tidak terlalu frontal akan rasa galau yang sedang ia hadapi. Akan tetapi, para penguntit atau follower-nya seringkali iseng. Mungkin pada awalnya mereka menganggap biasa. Kalimat atau kata yang mereka tuliskan dalam kolom komentar dirasa cukup biasa. Namun ibu negara berbeda pandangan. Ia seringkali kepancing emosi dengan kata-kata yang sempat tertulis, apalagi kata-kata tersebut terkesan memojokannya.

Ibu negara membutuhkan hiburan. Butuh udara segar yang mungkin sulit didapatkan olehnya. Udara segar dalam arti bebas dari hiruk-pikuk tugas kenegaraan dan berbagai bentuk manuver politik lainnya.

Disinilah kita harus bersikap. Tidak menganggap gampang semua orang. Bisa saja hal biasa atau iseng yang kita perbuat dinilai beda oleh mereka yang sedang kita jadikan bahan guyonan. Bisa jadi, orang yang kita kenal biasa menerima keisengan kita, tetapi mendadak naik pitam. Ngambek, merajuk, pundung atau yang lainnya. Tentu kita harus pandai kapan harusiseng, kapan pula harus jeda, tidak setiap waktu. Karena kita tidak pernah tahu kondisi atau rasa sakit atas kecamuk yang sedang berlangsung dalam hati dan pikiran seseorang.

Sejatinya, kita harus berpikir positif saja atas apa yang sedang dialami oleh sang Ibu negara. Ekspresi dirinya, atau seseorang lainnya, melalui akun instagram bukanlah hal yang harusselalu dianggap serius. Mungkin itu tempat dimana sang ibu sedang mencari udara segar.

Udara yang membuat dirinya terhibur atas rasa rumit yang menggonjang-ganjing perasaan dan pikirannya selama mendampingi kepala negara. Atau bisa jadi nalurinya sebagai manusia biasa yang mungkin ingin berlaku sama seperti kebanyakan orang biasa. Bebas tanpa ada yang menganggap serius segala bentuk ekspresinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun