Oleh:
M. Rodhi Aulia
Ditulis Sabtu Pagi, 1 Februari 2014 dan diselesaikan pukul 09:26 WIB.
[caption id="attachment_319566" align="alignnone" width="628" caption="Pulau Bawean, Gresik, Jatim, Indonesia, Sumber: pustakadigitalindonesia.blogspot.com"][/caption]
Sore yang mendung, tidak membuat saya harus membuat soundtrack yang mendung pula. Alias kicauan yang menggerutu saat mendung sedang berlangsung. Saya membenamkan diri dengan banyak tulisan kreatif. Tanpa disengaja saya menemukan suatu artikel atau tulisan yang ditulis oleh Maharsi W Kinasih atau yang akrab disapa Kinkin. Seorang pengajar muda dari Gerakan Indonesia Mengajar (GIM) yang digagas oleh Anies Baswedan. Kinan mendapatkan kesempatan mengajar di salah satu pulau bagian utara Jawa Timur. Tepatnya Pulau Bawean, Gresik.
Pulau Bawean mengingatkan saya akan sesuatu. Dahulu saat kecil (SD) saya pernah mengarungi lautan selama lima hari lima malam (5D5N). Waktu yang relatif lama, terombang-ambing di atas lautan dan samudera. Perjalanan yang melelahkan itu berakhir di sebuah pulau kecil, yaitu Bawean. Saat itu, saya tiba tepat pada tengah malam. Langit yang kelam, angin laut yang sedang berhembus kencang. Dan Kapal yang saya tumpangi tidak dapat bersandar. Kira-kira seratus meter dari dermaga. Untuk bisa sampai dan menginjakan kaki di pulau tersebut, kami dijemput dengan kapal-kapal kecil yang seringkali terhempas dan nyaris terbalik, karena ombak yang dihasilkan oleh kapal besar yang kami tumpangi.
Tidak pernah menyangka, pulau Bawean tempat plesiran saya dan keluarga saat kecil menjadi salah satu lokasi penyebaran pengajar muda. Pengajar muda yang telah melewati berbagai rangkaian seleksi yang sangat ketat demi mengabdikan diri di daerah yang dianggap terpencil dan jauh dari jangkauan kemegahan atau pradaban kota besar yang modern. Mereka mendadak menjadi pengajar demi mengabdikan ilmu dan pengalaman yang telah mereka raih selama ini. Meskipun sebagian besar dari mereka bukan berlatar belakang keguruan. Mereka mencoba mengalirkan energi positif ke berbagai daerah kelam. Kelam dari sebuah pradaban modernitas.
Selama ini, cita rasa sebuah modernitas masih sebatas pandangan secara fisik. Seperti banyaknya bangunan pencakar langit, kendaraan super mewah, serta segala sesuatu yang berbasis tekonologi canggih dan sebagainya. Modern tidak selamanya dipandang dari penampilan wajah kota atau suatu tempat dari sisi bangunan atau infrastruktur saja, tapi juga harus dipandang dari sisi tingkah laku (behaviour/attitude). Kaum urban yang tidak memahami sebuah konsep modernitas sering terjebak dengan tingkah laku yang tidak pas. Sikap respek dan toleran terkadang tidak berjalan dengan baik. Sebaliknya, daerah kelam akan sebuah nilai-nilai modern, masih memiliki sikap respek dan tingkah laku yang modern.
Kinkin mencoba menggambarkan pada kita dari pengalaman singkatnya selama di Pulau Bawean. Ia mencontohkan dua murid yang sempat diajarkannya. Mereka adalah Kisra dan Hafidz. Kisra adalah seorang anak kelas lima sekolah dasar. Ia dikenal sebagai murid yang agak susah menangkap pelajaran atau materi di kelas. Bisa dibilangtelmi(telat mikir) seperti banyak orang bilang. Sikapnya yang tidak populis dalam hal kecerdasan secara intelektual. Pendiam, pemalu dan sebagainya saat berada di sekolah.
Tapi bila dilihat Kisra yang sedang berada di luar sekolah, penilaian minor di atas tidak berlaku lagi. Ia dikenal sebagi anak yang bersemangat dan sangat penyayang. Suatu ketika, Kinkin memberikan tugas menaman bijikacang hijau kepada murid-muridnya. Dari sekian banyak murid yang menanam, hanya biji yang ditanam oleh Kisra yang pertama tumbuh besar. Pernah juga saat Kisra melihat seekor kucing yang dilempar mati oleh anak kelas dua, lalu Kisra memperlihatkan sikap protesnya dengan menangis terus-terusan karena rasa sedihnya dan sayang terhadap binatang.
Sementara itu, murid Kinkin lainnya, yaitu Hafidz. Ia dikenal sebagai ketua kelas lima. Ketua yang mampu memimpin dalam kelas. Cara bicara kebanyakan anak lainnya yang meledak-ledak, tidak sama dengan cara bicara Hafidz. Ia selalu berusaha berbicara dengan santun, dan selalu meminta maaf bila terdapat salah ucap, salah kata dan sebagainya. Meskipun, lagi-lagi Hafidz tidak begitu pandai dalam soal pelajaran di kelas.
Kinkin sangat terharu melihat tingkah laku keseharian dua murid tersebut. Dua orang murid yang terkadang atau selalu kalah dalam persaingan dalam memahami pelajaran di kelas, tapi dikenal juara jika mereka sedang berada di luar kelas. Dalam akhir tulisannya, Kinkin menyampaikannya dengan nada protes, sampai kapan kecerdasan atau kemampuan hanya terbatas dari nilai-nilai atau angka indah yang tergores di atas lembaran putih. Atau predikat juara kelas yang tertulis dalam lembaran hasil penilaian siswa. Sementara tingkah laku tidak memiliki porsi besar dalam penilaian dan pencapaian siswa ke tingkat berikutnya.
Dalam keseharian pun, kita yang katanya sudah melewati masa-masa yang jauh di atas mereka pun masih melihat fenomena tersebut. Begitu banyak sosok yang dikenal unggul dalam intelektualitas tapi sering kalah secara moralitas. Sebagian besar dari kita lebih gampang mengapresiasi mereka yang nilai Matematikanya sembilan atau sepuluh dibandingkan mereka yang memiliki kebiasaan membuang sampah pada tempatnya atau mengantri dalam hal apapun. Pantas saja, banyak tokoh-tokoh besar terpeleset juga dalam skandal korupsi dan sebagainya.
Disinilah yang saya maksud, modernitas tidak hanya terbatas dengan pemahaman akan tampak luar dari indahnya suatu bangunan. Indahnya angka penilaian pelajaran di kelas. Kecanggihan teknologi dan sebagainya. Melainkan modernitas dapat juga dilihat dari sikap dan tingkah laku seseorang dalam bergumul dan berjalan di atas muka bumi ini (walaa Tamsyi Fil Ardhi maroha). Bagaimana mereka berlaku respek, sopan dan menjaga integritas yang luhur. Tidak ‘terbuai’ dengan penilaian-penilaian absurd lainnya.
Pada akhirnya, Kinkin berujar dan lebih (Appreciate) membanggakan mereka yang bisa mengantri dan membuang sampah pada tempatnya daripada mereka yang hanya pintar di kelas.
Dengan kata lain, serumit apapun ilmu, pelajaran atau materi yang didapatkan di ruang-ruang bersekat yang dinamakan kelas atau apapun itu, tidak lain adalah hutang yang harus dibayarkan dengan (mengejawantahkan nyata) dalam kehidupan sehari-hari.
Hal demikian sangat sesuai dengan pribahasa, Al ‘Ilmu bila ‘amalin kassyajari bila Tsamarin. Ilmu tanpa amal, bagaikan pohon tanpa buah.Bila mampu diamalkan sedikit demi sedikit, inilah yang disebut masyarakat modern. Saya sendiri belum bisa. Huhuhu... (iraha?)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H