Mohon tunggu...
R Aulia
R Aulia Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Menjadi Lentera bukan Angin yang selalu meredupkan upaya penerangan anak-anak bangsa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kita Teriak Pancasila Itu Penting, Tapi Guna Ga sih?

1 Juni 2014   21:51 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:50 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh:

M Rodhi Aulia

Ditulis Minggu, 1 Juni 2014 |Dimulai Pukul 10:37 WIB | Selesai Pukul 12:34 WIB | Durasi Baca : 7 menit



“Pancasila… satu ketuhanan yang maha esa…dua kemanusiaan yang adil dan beradab….tiga persatuan Indonesia..empat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyarawatan perwakilan…lima keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Begitulah bunyi lima sila yang sering kita dengar dan lafalkan saat mengikuti upacara-upacara. Terutama upacara bendera yang dilakukan anak usia sekolah setiap hari Senin hingga usia dewasa lainnya.

Lima sila yang diperas dari pemikiran visioner para founding fathers bangsa ini sangat menakjubkan. Tiap poin yang tergabung dalam sila tersebut tidak lekang oleh waktu. Selalu relevan pada setiap masa. Limitless. Entah itu pada masa putih hitam, masa berwarna, keemasan dan sebagainya. Selalu siap menjadi panduan dasar hidup berbangsa.

Lima sila yang menjadi cara dan sudut pandang orang Indonesia dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang menjadi dasar negara ini, harus dipertahankan dan diperjuangkan untuk bersaing sejajar dengan bangsa maju atau lebih tinggi dari bangsa lain. Dari kelima poin, hampir tidak ada yang terbantahkan oleh siapapun, perihal begitu mujarabnya atau begitu solutifnya menjadi peredam problematika bangsa.

Semula pancasila bernilai sangat idealistik dan sangat gagah. Namun, semakin kesini, nilai sila yang idealistik itu runtuh akibat sikap dominan bangsa ini yang hanya berpikir realistik. Selain itu, kegagahan super milik pancasila, lama-kelamaan hancur keping demi keping, akibat ulah masyarakat Indonesia sendiri.

Lima sila yang sangat idealistik berubah menjadi realistik.

Perhatikan saja mulai dari sila pertama. Berbicara tentang ketuhanan yang maha esa. Ketuhanan yang harus menjadi satu-satunya sumber dasar berkreasi dan informasi dasar tentangcara menjalankan kehidupan, tentunya menurut agama dan kepercayaan masing-masing.

Satu per satu orang hebat masa kini, yang hidup pada abad ini, mulai mengesampingkan peran Tuhan, dalam berkarya. Dengan segala kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bahkan kemajuan logika berpikir, manusia Indonesia menganggap hasil karya mereka dalam mengolah, meng-combine, dan menciptakan sesuatu merupakan, murni hasil olah pikir dan perenungan mereka selama ini.

Mereka menganggap hal tersebut murni hasil kerja keras mereka dalam belajar, mengeksplorasi ide awal dan sebagainya. Mereka mampu mengolah sumber-sumber atau menggabungkan bahan-bahan baku yang tersedia menjadi sesuatu yang bernilai lebih. Bernilai beda dan sebagainya. Sehingga dengan kreasi mutakhir yang mereka ciptakan, mereka mengklaim hal tersebut murni hasil dari diri sendiri tanpa adanya peran Tuhan sama sekali.

Pernahkah mereka berpikir, bahan baku yang kini menjadi sesuatu yang bernilai, ada yang menyediakan? Pernahkah mereka berpikir, ide awal atau hal yang menginspirasi para penemu atau creator tersebut bermula dari kegelisahan dan masalah yang menghantui. Pertanyaannya, siapa yang menciptakan masalah itu?

Siapa yang menciptakan kegelisahan itu yang akhirnya menjadi stimulus atau perangsang untuk berpikir? Tidak kah ada peran Tuhan disana? Lalu bagaimana mengenal Tuhan? Pasti melalui agama.

Menurut pemahaman dangkal saya, sila pertama tidak melulu berbicara intoleransi antar umat bergama yang marak terjadi. Saya berpendapat, intoleransi atau kejahatan kolektif yang dilakukan sejumlah umat tertentu, adalah ketidakmampuan umat secara individu dalam mengenal dirinya? Petuah lama menyebutkan, “Man ‘Arofa Nafsahu, fakod ‘Arofa Robbahu”. Barang siapa yang mengenal dirinya, maka dia telah mengenal Tuhannya.

Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab.

Salah satu hal yang dimaksud sila idealistik tapi tidak realistik adalah ketidakmampuan masyarakat Indonesia secara individu dalam memahami. Masyarakat Indonesia pasti sudah hafal di luar kepala isi dari pancasila dan sejarah turun-temurunnya.

Namun kerap kali lupa, bagaimana mewujudkan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu inti dari sila kedua adalah persamaan derajad seluruh masyarakat Indonesia tanpa ada pembedaan dari segi suku, agama, ras, keturunan, kelas sosial dan sebagainya.

Tanpa disadari, banyak masyarakat Indonesia yang meruntuhkan nilai ideal mewujudkan keadilan antar sesama, dengan mengedepankan salah satu hal yang membedakan. Misalkan saja, perlakuan di depan hukum. Memang benar, equality before the law di Indonesia sudah mulai ada titik terang dan kemajuan yang pantas untuk diapresiasi.

Seperti halnya Wapres Boediono dihadirkan di meja hijau. Namun, perlakuan super eksklusif masih kentara. Lihat saja para terdakwa atau terpidana koruptor. Mereka masih bisa melambai-lambaikan tangan ala miss universe dan sebagainya. Pemandangan itu akan berbeda bila hukuman jatuh kepada orang Indonesia yang tidak punya nilai lebih secara sosial. Ingat, secara sosial.

Contoh sederhana lainnya, seperti pembagian kelas-kelas dalam suatu tempat. Ada kelas VVIP, VIP, Bussiness, Ekonomi dan sebagainya. Atau perlakuan seorang security bila melihat orang Indonesia yang menggunakan baju agak lusuh masuk ke tempat yang katanya bergengsi. Pasti ditanya, diinterogasi bahkan diusir. Apa ini yang dinamakan masyarakat penganut Pancasila. Apa ini yang dinamakan beradab?

Sila ketiga. Persatuan Indonesia.

Masyarakat Indonesia tampaknya hanya merasakan atmosfer persatuan Indonesia itu, saat menonton timnas bertanding melawan negara lain. Apalagi negara itu, kadung dianggap musuh bubuyutan. Rasa nasionalisme bergemuruh menancap di hati masing-masing orang Indonesia.

Tapi coba lihat, menjelang Pilpres 9 Juli mendatang? Kita semua pasti bisa menebak apa yang terjadi. Memang pilpres adalah persaingan, tetapi mengapa dosa-dosa petinggi negara kita sendiri, ikut diumbar jauh melampaui benua dan perbedaan waktu. Sehingga negara luar menjadi tahu, ternyata Indonesia itu tidak bersatu. Gampang dipecah belah dengan info-info yang kebenarannya masih dipertanyakan.

Selanjutnya, sila keempat. Banyak masyarakat Indonesia yang lebih mengedepankan kekuatannya masing-masing dalam menghasilkan suatu keputusan. Kekuatan ekonomi, kekuatan peran, kekuatan ego dan lain-lain. Alih-alih hasil yang mufakat dan berdasarkan nilai-nilai kebijaksanaan, malah rata-rata keputusan dihasilkan secara sepihak dan dipaksakan.

Misalkan keputusan yang dikeluarkan atasan, yaitu A, B, C dan D. Tapi sebelum keputusan dikeluarkan, tidak ada pemberitahuan kepada mereka yang terdampak bagi keputusan itu. lalu merea juga tidak diberikan, alasan atau kenapa atasan mengeluarkan keputusan itu secara jelas. Pantas saja, sekalipun keputusan dikeluarkan oleh atasan diktator, tidak sepenuhnya keputusan dapat berjalan dengan baik dalam praktiknya.

Terakhir, kedilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kalimat saya di atas tentang pembagian kelas VVIP, VIP dan sebagainya dapat dikoreksi.

Konsep keadilan dalam benak banyak orang Indonesia masih banyak yang rancu. Mereka atau kita menganggap keadilan adalah sama. Mutlak sama, seperti orang Indonesia A dan orang Indonesia lainnya. Padahal tidak demikian. Konsep adil adalah proses pembagian dan penerimaan sesuai dengan porsi masing-masing. Atau dalam bahasa arabnya, wad’u syaiin fii mahallihi. Meletakkan sesuatu pada tempatnya.

Kita sering merasa, rasa adil kita dirampas oleh perilaku orang yang kita anggap tinggi. Misalkan, presiden mendapatkan fasilitas yang menggiurkan. Pejabat yang mendapatkan akses cepat di jalanan. Mahasiswa berprestasi yang mendapatkan beasiswa unggulan dan sebagainya. Kita yang bukan siapa-siapa dan belum mendapatkan apa-apa sering merasa, jatah kita tidak semanis jatah mereka yang di atas. Lalu kita berteriak, “Ini tidak adil”“Mana Keadilan”

Menurut saya, selama porsi lebih nan manis itu didapatkan atau diperoleh mereka yang di atas dengan cara-cara yang wajar dan konstitusional, saya rasa mereka memang pantas untuk mendapatkannya. Mungkin saja, hal tersebut hasil dari jerih payah mereka merintis sejak kecil. Kadang kita tidak pernah mau tahu, dan menutup mata, bagaimana perjuangan mereka sedari dulu.

Kalau hal yang menggiurkan itu diperoleh secara wajar oleh mereka, jangan anggap ini adalah perilaku ketidakadilan sesama warga negara Indonesia. Karena apa yang kita peroleh sekarang adalah hasil dari perjuangan kita selama ini. Apakah kita rajin dan bersemangat. Apakah kita beruntung atau tidak beruntung? ini yang menjadi persoalan.

Kesimpulan

Hari ini (Minggu, 1 Juni 2014) kita mengingat dan mencoba membangkitkan semangat lahirnya pancasila di tengah-tengah kehidupan kita. Sejatinya, semangat yang timbul tidak hanya sebatas tataran seremonial saja, melainkan, sebagai bangsa Indonesia mampu menghidupkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam pancasila secara seimbang. Sehingga nilai-nilai idealistik pancasila dapat seirama dengan nilai realistik dan kegagahan pancasila dapat terjaga, sampai langit Indonesia tak mampu memayungi seluruh penghuninya lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun