Mohon tunggu...
R Aulia
R Aulia Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Menjadi Lentera bukan Angin yang selalu meredupkan upaya penerangan anak-anak bangsa

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Baju Kondangan Pak Lukas

5 Juni 2014   17:11 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:13 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

@NangkringBarengKompasiana

Pukul 07:00 WIB

Angin pagi masih berhembus. Cahaya tampak tidak secerah hari biasanya. Aku keluar dari tempatku berteduh menuju tempat pemberhentian bus. Sebuah angkutan umum yang menjadi icon ibu kota. Kurang dari satu jam, aku dapat menembus jalanan ibu kota. Perjalanan terasa sangat lancar. Ruas jalanan masih sangat lengang. Maklum, waktu itu pagi akhir pekan yang jauh berbeda dengan pagi biasanya. Dari dan ke tempat yang sama, biasanya aku menghabiskan waktu kurang lebih dua jam.

Pukul 08:30 WIB

Kuningan City. Sebuah pusat perbelanjaan yang terletak di tengah barisan rapat gedung-gedung milik kedutaan besar negara sahabat. Jujur waktu itu, untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di sana. Dari luar kaca, aku lihat sejumlah outlet masih sepi. Belum terlihat ada kegiatan yang berarti. Begitupun halnya dengan salah satu restoran yang menjadi tujuanku sedari rumah. Namanya Restoran Outback Steakhouse.

Pukul 08:45 WIB

Persis di depan Outback, pintu restoran itu belum dibuka. Sejumlah orang terlihat seperti menunggu. Ada yang berdiri sambil jalan mondar-mandir. Ada yang duduk terpojok dan sebagainya. Dalam hati, acara yang akan dimulai pukul 09:00 WIB, kenapa belum dibuka.

“Tumben, aku kepagian,”gumamku.

Aku pun pergi mengitari pusat perbelanjaan tersebut. Sambil melihat-lihat bagaimana suasana pusat perbelanjaan ini.

Pukul 09:00 WIB

Sejumlah orang yang terlihat sudah lama menunggu tampak sumringah. Pasalnya pintu Outback telah terbuka. Beberapa orang tersebut terlihat sibuk. Mengatur sejumlah kursi kayu dan mengeluarkan X-banner persis di pintu masuk. Sepertinya, kebanyakan orang yang menunggu adalah panitia acara dari Kompasiana.

Pukul 09:30 WIB

Sejumlah tamu berangsung hadir memasuki resto. Dari segi ukuran, resto tersebut tampak sempit. Apalagi menampung tamu yang membeludak. Tamu yang berasal dari kompasianers, media dan media sekaligus kompasianers. Para pembicara satu demi satu masuk ke dalam resto.

Mereka adalah Prof Tjipta Lesmana, pakar komunikasi politik, Dharmaningtyas, pengamat transportasi, Lukas Hutagalung, Staf Bappenas dan Jhon Aryananda, CEO PT Jaya Monorel, Pepih Nugraha, Founders Kompasiana dan lain-lain. Sebelum acara dimulai, mereka mengambil tempat persis di ujung kanan depan.

Pukul 10:00 WIB-12:00 WIB

Acara pada mulanya dibuka oleh seorang MC yang berbakat. Ia mampu memecah kebekuan suasana pagi. Lalu, Penggagas Kompasiana, Pepih Nugraha menyampaikan prolognya tentang acara yang diselenggarakan bersama PT Jakarta Monorail dengan tema Monorail: Infrastruktur atau Politik? Pria yang akrab disapa Kang Pepih itu membayangkan akankah Ikon kota Jakarta bertambah lagi?

Pertanyaan atau imajinasi pembuka itu kemudian menjadi pembahasan pada siang itu. Siang di tengah-tengah ruangan yang terasa sangat sempit. Ya, sekali lagi kapasitas penggila dunia tulis-menulis yang tak sebanding dengan kapasitas.

Monorail yang saya pahami adalah angkutan massal yang melayang di udara melalui tiang-tiang penyangga namun ukurannya lebih kecil dari kereta api. Monorail dianggap mampu mereduksi kemacetan ibu kota. Namun, monorail masih sebatas imajinasi. Masih sebatas harapan yang tak kunjung menjadi kenyataan. Lihat saja tiang-tiang pancang dengan besi yang berkarat terlihat tak bertuan.

Mengapa monorail masih imajinasi?

Monorail masih belum mendapatkan kepastian apakah diperlukan di Jakarta. Kemudian, apakah pekerjaan proyek Monorail mengikutsertakan pihak swasta. Apakah PT Jakarta Monorail yang menjadi rekanan pemerintah dalam mewujudkan imajinasi monorail tersebut? Menurut CEO PT JM, bila dua hal tersebut disetujui, maka tiang-tiang penyangga yang seolah tak bertuan itu, bisa menjadi cantik dan nyata.

Namun, hingga sekarang monorail masih menjadi khayalan warga Jakarta. Rapat demi rapat antara pemerintah terkait dan pihak swasta tak kunjung menemukan titik temu. Meskipun, hampir setiap hari penduduk Jakarta sudah menyadari jalanan Jakarta diwarnai kemacetan. Hampir setiap hari mereka menemukan itu. Tapi anehnya, bila kejebak dalam macet, mereka atau kita mengeluh, mengeluh dan mengeluh.

Sehingga, Pakar Komunikasi Politik Prof Tjipta Lesmana, berusaha membuat jembatan atas putusnya pemahaman percepatan penentuan apakah Monorail diperlukan untuk mengurangi kemacetan. Dia menghimbau agar negosiasi, rapat demi rapat, pertemuan dan sebagainya dilandasi dengan sikap saling percaya satu sama lain.

Di samping itu, Lukas Hutagalung, selaku perwakilan dari Bappenas berupaya melakukan mediasi atas terjadinya fenomena Monorail yang Mangkrak alias jalan di tempat. Lukas mengaku, pihaknya sedang berupaya mempercepat keputusan nasib monorail ke depannya. Namun ia mengaku masih ada hal yang perlu dibahas di internal pemerintah.

Berkaca dari pemahaman saya akan nasib monorail yang mangkrak di atas, saya melihat komunikasi dan trust antar pemerintah dan swasta harus mulai dibiasakan. Apalagi hal yang sedang dibahas adalah upaya mengurangi kemacetan yang terjadi. Semua kita tahu, pertumbuhan ruas jalan sangat tidak sebanding dengan pertambahan angka kendaraan. Maka dari itu, pemerintah harus berpikir ekstra. Tidak harus menunggu gelombang massa yang berteriak akan kemacetan yang tak kunjung terselesaikan.

Toh, pemerintah juga bagian dari masyarakat yang merasakan ‘nikmatnya’ macet. Merasakan nikmatnya waktu berharga hilang begitu saja. Merasakan suara klakson yang bising. Saya rasa pemerintah menyadari kenikmatan itu. Tapi sampai kapan ‘kenikmatan’ itu bersahabat dengan masyarakat yang sebenarnya produktif dalam menjalankan hari-hari barunya.
Hari-hari baru kita semua. Swasta pun demikian, selama yang dikerjakan adalah proyek yang berdampak langsung dengan kebutuhan dasar, tidak harus mengambil keuntungan yang berlebihan sebagaimana yang dikhawatirkan pemerintah.

“Bila hal demikian bisa dilaksanakan, maka proyek Monorail tidak lagi dianggap sebagai khayalan. Tiang-tiang pancang tidak lagi dianggap tak bertuan. Pemerintah tidak lagi menjadi sasaran makian. Pikiran segar masyarakat pada pagi hari tidak lagi diisi dengan bad mood. Dan Pak Lukas Hutagalung tidak perlu khawatir, untuk pulang ke rumah mengganti baju kondangan, karena khawatir datang terlambat.”

Pukul 12:00 WIB

Para peserta dan pembicara menyantap sajian yang disediakan Outback Steak House. Antrinya sangat panjang. Namun, perut pun kenyang.

Pukul 13:30

Saat melangkah, menjauh dan meninggalkan resto itu, pikiranku masih terbuai dengan ulasan-ulasan itu. Semoga mimpi itu bisa terwujud. Tidak lagi hanya dibahas. Dibahas. Dibahas. Tanya, sampai kapan? Pikirku saat ragaku tenggelam di kemacetan ibu kota.

*Maaf ya, bila waktunya tidak benar-benar persis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun