SEKECIL apapun kekeliruan pemerintah (Jokowi dan pembantunya) tetaplah menjadi berita empuk. Ini memang salah satu khasnya Indonesia dalam menyuguhkan informasi kepada masyarakat. Simaklah televisi, berita-berita kriminal dan kejahatan lainnya selalu mendominasi. Jika pun tak lebih banyak, tetap saja tidak mau lupa menyelipkan berita-berita yang membuat emosi kita mudah berubah arah.
Bagi pendukung dan yang pro Jokowi, pemunculan berita-berita 'miring' seperti apapun selalu akan disikapi dengan apriori tinggi. Akan selalu cepat-cepat timbul konter tingkat tinggi yang terkadang malah memunculkan debat kusir baru antar pendukung dan penentang. Buat yang berada di tengah-tengah, terasa perdebatan dua kubu itu sama sekali tidak menarik.
Berita terbaru yang lagi ngetren dalam dua-tiga hari terakhir adalah kesalahan anak buah Jokowi menuliskan kepanjangan BIN di surat undangan ketika akan dilantiknya 'bos' BIN baru. Meski undangan itu akhirnya ditarik tapi sudah sempat beredar secara legal dan sudah sempat pula direspon beberapa pihak secara legal juga (ini berita yang kita baca juga) di media. Karena respon yang negatif itu pulalah akhirnya ketahuan kalau kepanjangan BIN yang tertera di undangan selevel 'undangan negara' itu ternyata keliru.
Bermunculanlah komentar dari berbagai pihak, termasuk para peminat dan pelaku media sosial yang mempermasalahkan kesalahan yang tidak perlu itu. Lalu diupdate lagi beberapa kesalahan Jokowi sebelumnya. Kekeliruan Jokowi ketika memakai baju kebesaran militer, kekeliruan Jokowi ketika menyebut tempat lahir Bung Karno dan beberapa lain, menjadi santapan baru lagi.
Tuntutannya seolah tidak sekadar minta perbaiki kekeliruan itu saja, tapi sudah sampai ke tuntutan agar Jokowi mengganti semua pembantunya yang tidak becus. Menurut para pengamat --profesional maupun amatiran-- begitu banyak kekeliruan pembantu presiden era Jokowi ini. Sepertinya lembaga kepresidenan dengan para menterinya menjadi begitu tidak berwibawa. Begitulah kira-kiran kebanyakan yang tidak suka ke presiden yang mempopulerkan istilah revolusi mental ini.
Tuntutan minta ganti menteri mungkin tidak terlalu merisaukan. Jikapun presiden tidak juga kunjung mengganti para menterinya yang selama ini tidak bekerja sesuai misi presiden, juga tidak terlalu merisaukan. Tapi ketika sudah muncul desakan bahwa yang harus diganti adalah presiden, wueh wueh ini tentu tidak mudah menerimanya dengan tenang. Bagaimanapun, pengalaman yang pernah dirasakan Gus Dur, dulu bukanlah cara terbaik dalam pengelolaan negara yang begini besar. Rakyat justeru memerlukan pemerintahan yang stabil dan aman untuk mengurus masalah yang begitu banyak.
Indonesia boleh bangga dengan penduduk yang begini banyak, tapi sangat banyak pula yang berkehidupan tak layak. Indonesia boleh bangga dengan kekayaan alam yang melimpah, tapi sangat banyak rakyat yang tidak dapat menikmati kekayaan itu secara layak karena salah rambah. Tidakkah itu memerlukan pemerintahan yang kuat dan kokoh agar semua ketertinggalan itu segera dapat diatasi?
Haha, saya pun jadi terbawa perasaan emosi yang tak karuan. Pertengkaran meski hanya di pemberitaan mengenai pemerintahan yang tengah berjalan, ikut-ikut membuat perasaan tidak nyaman. Setelah Jokowi terpilih dan ditetapkan menjadi presiden terpilih sesuai keputusan KPU, lalu dia disumpah untuk bekerja demi bangsa, sebenarnya semua kita sudah harus dan bersedia menerimanya sebagai presiden bersama. Tapi beberapa catatan kesalahan dan kekeliruan dalam pernajalan, memang tidak akan bisa dibiarkan tanpa perbaikan. Sepertinya pada harapan 'perbaikan' inilah akan selalu muncul perdebatan dan perbedaan.
Masalahnya, sampai kapan kita (rakyat semua) akan berhadapan terus dengan permasalahan-permasalahan yang membuat pikiran dan perasaan tidak karuan? Saya merasa tidak ingin mengusulkan apapun untuk perbaikan pemerintahan karena rakyat kecil seperti saya tidak pada tempatnya untuk memberi usulan. Tapi jika ada usulan dari para pakar yang merasa menjadi pendekar, bolehlah Jokowi mendengar.
Rakyat tidak ingin semakin banyak muncul analisis dan hayalan yang akan terus membanding-bandingkan Jokowi dengan banyak presiden sebelumnya. Yang anti Jokowi tidak perlu terus-menerus mencari kesalahan tapi yang begitu panatik dengan Jokowi juga tidak perlu menutup mata bahwa Jokowi adalah manusia biasa yang pasti akan salah. Jika atas sebuah kesalahan akan lahir hukuman, itulah logika yang sah.
Kini kita juga boleh bertanya, hai pak Presiden, akan dibuat bagaimana pengelolaan pemerintahan ini jika banyak yang menduga bahwa pak Presiden seperti tidak berdaya menghadapi sejuta masalah bangsa. Senyuman presiden memang tetap sama. Seperti keadaan yang tidak juga berubah. Sejak beberapa pekan dilantik (20.10.14) hingga sudah hampir sepulun bulan mengemban kepercayaan, masih begitu-begitu saja keadaan. Pak presiden memang terus tersenyum, tapi rupiah, olahraga, dan banyak lainnya tidak juga bertambah baik juga. Lalu bagaimana? Semoga rakyat tidak sampai bosan melihat senyum presiden.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H