DULU ketika polisi 'tersinggung' karena salah seorang jenderalnya --JS-- dicokok KPK, sejarah mencatat, polisi langsung bereaksi. Kita tidak akan lupa bagaimana sibuknya negara ini karena tujuan KPK untuk membersihkan negaranya dari kejahatan koruptor membuat polisi 'uring-uringan'. Masalahnya memang karena sasaran pembersihan itu adalah anggota (oknum) polisi.
Heboh kasus Bibit-Chandra dan belakangan rencana penangkapan Novel Baswedan atas kasusnya ketika masih bersama intitusi induknya di Lampung, membuat rakyat gerah. Kasus yang kelihatannya sekadar rekayasa belaka tiba-tiba diungkit. Untuk tuduhan ke Novel konon, cara kasar polisi (baca: bukan Novel pribadi) dalam mengungkap suatu kejahatan kepada terduga atau tersangka kejahatan, tiba-tiba dipersoalkan. Ternyata cara-cara main kasar itu dianggap sebuah kesalahan untuk kasus Novel. Dan harus ditanggung (dipertanggungjawabkan) oleh Novel yang saat itu sudah berada di institusi KPK. Padahal tidak ada yang tak tahu kalau strategi kasar itu memang sudah menjadi 'merk' polisi dalam mengungkap meminta pengakuan.
Syukurnya, presiden (SBY) waktu itu menurut rakyat luas masih melihat KPK dengan jernih. Walaupun penyuka dan simpatisan koruptor mempersoalkan cara-cara SBY itu sebagai melanggar hukum, sekali lagi alhamdulillah, KPK belum mampu diobok-obok. Dan kita masih bisa mengulangjelaskan ada beberapa kasus yang diungkit-ungkit polisi agar KPK 'dihukum' atas keberaniannya mengganggu kenyamanan oknum-oknum polisi itu.
Waktu berjalan, masa berganti. Pemimpin negara pun bertukar diri. Gaya Jokowi yang memukau rakyat dengan tampak begitu bersih dari korupsi, suka bergabung (baca: blusukan) dengan orang-orang kecil dan pinggiran, dan banyak gayanya yang seperti pro rakyat, akhirnya memukau rakyat ketika Pemilu itu. Terlepas dari tuduhan adanya kecurangan dalam Pemilu, faktanya KPU tetap menetapkan pasangan Jokowi jadi pemimpin negeri ini. Rakyat yang memilih Jokowi sedikit lebih banyak dari pada yang memilih Prabowo yang oleh media pro Jokowi disebut sebagai anteknya Orba. Kampanye anti Prabowo memang sukses memukau rakyat agar tetap memilih mantan Gubernur DKI.
Jika hari-hari (sejak ulasan enam bulan pemerintahan Jokowi dibeber pengamat) ini mulai muncul suara rakyat yang menyesal memilih Jokowi, itu memang karena sikap Jokowi yang seolah-olah membiarkan KPK diobok-obok dari berbagai sisi. Ulah KPK yang selama beberapa tahun terakhir 'terlalu garang' memburu koruptor, memang membuat banyak orang ketakutan. Negara dengan tingkat korupsinya yang sangat tinggi, harus dihadapi oleh KPK yang begitu bersemangat ingin membuat bersih, jelas saja para koruptor yang masih sok bersih dan belum pernah ketahuan boroknya akan ketar-ketir. "Ini KPK sudah dianggap keterlaluan," kata orang-orang yang memang pro koruptsi dan banyak tokoh yang juga masih sok bersih. Belum lagi komentar orang-orang yang sudah terdeteksi korupsi walaupun belum disebut-sebut.
Kini semuanya sudah akan menjadi bubur. Saya pikir memang baru AKAN MENJADI BUBUR, belum benar-benar jadi bubur. Sesalan rakyat banyak mulai bermunculan, itu sesuatu yang sudah seharusnya. Tuduhan kepada Jokowi yang selalu mengatakan 'biarkan hukum berbicara' dari pada ikut intervensi untuk menyelamatkan KPK, kini benar-benar akan menjadi penyesalan. Selain KPK memang rakyat masih agak gundah melihat cara pemberantasan korupsinya.Paling tidak, rakyat yang mulai bersuara di berbagai media itu akan menyatakan penyesalannya terhadap beberapa kebijakan Jokwi. Survei yang baru-baru ini disiarkan, sudah menjadi bukti.
Lalu? Rakyat memang hanya akan berharap kepada Jokowi saja. Kapolri yang ditunjuk presiden yang katanya akan meredam 'niat jahat' orang-orang tertentu untuk memberangus KPK, terbukti omong kosong belakang. Sepertinya Badrodin Haiti yang disebut 'anak pesantren' itu tetap saja membiarkan anak buahnya melampiaskan syahwat dendamnya memberangus KPK. Sudah banyak tulisan di blog kompasiana ini yang mengulas dan mengeluh perihal perseteruan (oknum) Polri dengan KPK.
Jika presiden sependapat dengan polisi bahwa apa yang dilakukan terhadap AS, BW dan NB (akan menyusul pimpinan dan pegawai KPK lainnya) ini adalah murni masalah penegakan hukum oleh kepolisian negara tercinta ini, entahlah apa yang akan terjadi ke depannya. Banyak komentar yang sudah mulai pesimis bahwa pemberantasan korupsi memang akan seret atau berhenti sama sekali.
Apakah kita akan mengadu ke wakil kita perihal sikap presiden ini? Rakyat tidak akan mengadukan presidennya ke wakilnya di Gedung Parlemen sana karena semua orang tahu bagaimana sikap anggota DPR --kecuali beberapa orang-- kepada KPK yang terlalu garang ini. Sudah lama terdengar suara 'garang' anggota dewan itu kepada KPK.
Tetap saja ke presiden rakyat menyandarkan harapan. Mari diketuk hati presiden rakyat ini. Para koruptor yang mulai takut akan hukuman tersebab KPK yang tidak mau pandang bulu harusnya dipertahankan Jokowi. Seperti juga sikap keras presiden kepada para gembong narkoba yang mulai takut ke hukuman, sikap keras presiden kepada KORUPTOR juga seharusnya dipertahankan. Dan karena baru KPK yang membuktikan tidak pilih kasih dalam membabat korupsi, ya harusnya presiden memperhatikan ini sebagai dasar berbuat/ bertindak 'lebih'. Rakyat tidak akan menuduh presiden intervensi jika tujuannya bukan untuk kepentingan pribadi. Pak Presiden, jangan ucapkan lagi, demi hukum biarkan polisi bekerja. Jangan pula rakyat mencari kekuatan lain selain ke presidennya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H