SUNGGUH keji jika ada orang Indonesia ingin merusak negerinya sendiri. Pantas itu diperangi. Jika polisi memerangi pengedar narkoba, karena mereka dianggap akan merusak Indonesia, terutama rakyatnya. Jika polisi memberantas teroris, itu juga karena para teroris itu dianggap akan mrmbuat bangsa ini kronis dan kritis. Koruptor? Juga diperangi oleh KPK karena korupsi ternyata sudah membuat hancur negeri ini.
Akhir-akhir ini (sebenarnya sudah lama juga) gencar pula terdengar istilah deradalikasme agama. Maksudnya mengkonter paham radikal orang-orang yang dikatakan memaksakan agama. Teroris sendiri selama ini, seperti diidentikkan dengan paham agama yang radikal itu. Benarkah? Masih terus diperdebatkan. Yang dicap teroris itu, sering tidak bisa ditanyai lagi karena sudah meregang nyawa di ujung bedil polisi.
Berita yang kita baca, setiap polisi menangkap orang yang dikatakan teroris, ternyata orang-orang itu adalah orang-orang yang sehari-hari kelihatan taat menjalankan agamanya. Mencari makan dengan berjualan buku, makanan dan lain-lain, mereka kelihatan ekslusif dst... dst... dan terus diawasi aparat keamanan. Saatnya tiba, mereka ditangkap dan di berita muncullah informasi tentang penangkapan teroris.
Kelanjutan program deradikalisme agama ini, ternyata berbuntut pada pemberangusan puluhan media Islam. Oleh BNPT ternyata media-media online yang ditutup ini sudah dicap sebagai penyebar paham radikalisme agama. Kriteria yang dikemukakan oleh pengusul pemberangus kepada kementerian yangf memberangus adalah bahwa media-media ini menyebarkan ajaran sesat, tidak toleran dan banyak lagi dosanya.
Hebatnya pemberangus ini, tidak merasa perlu meminta penjelasan terlebih dahulu kepada pihak-pihak yang berkompeten seumpama MUI, Muhammadiyah, NU dll. Pemberangus juga merasa tidak bersalah dengan tidak memberi peringatan sebelum memutus nyawa media-media itu. Pemberangus itu tiba-tiba saja harus memberangus media-media yang dicurigai itu. Sungguh tidak bijak.
Melalui dialog pagi salah satu televisi, Rabu (01/ 04)Â seorang narasumber dari BNPT dengan gigih mempertahankan sikapnya meminta pemerintah menutup banyak situs itu. Sementara pihak media dan salah seorang narasumber meminta agar pemerintah memberi penjelasan terlebih dahulu, kalau perlu diberi peringatan, baru diberangus. Jangan main blokir saja.
Bahkan salah seorang narasumber lainnya, sampai mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan memberangus media Islam itu sangatlah kentara 'anti Islam'nya. "Jangan sampai muncul tudingan fobia Islam," kata narsumber itu mengingatkan. Dia juga malah seolah mempertanyakan, mengapa situs-situs yang terang-terngan menyebarkan kebencian kepada Islam, bahkan menyebarkan ajaran sesat, oleh BNPT malah dibiarkan? "Media-media yang dibredel ini ternyata tidak sama sekali membenci pemerintah, tidak pula membenci demokrasi, tidak juga membenci umat non Islam lainnya, tapi hanya membenci kelompok yang sengaja ingin merusak Islam seperti Syi'ah atau paham sesat lainnya, apakah karena itu diblokir?" begitu narasumber itu mempertanyakan.
Kini umat Islam pasti bertanya, mengapa situs-situs yang menurut beberapa sumber bukan mengajarkan yang bertentangan dengan ketentuan, tiba-tiba diblokir? Pertanyaan ini juga akan muncul dari orang-orang yang mengerti agama, mengerti demokrasi dan toleransi meskipun bukan seorang muslim. Kok Pemerintah membredelnya? Hanya Pemerintah pula yang bisa menjelaskannya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H