Pada Selasa (19/2) sambil makan siang, saya mampir ke salah satu toko buku ternama dan terbesar di Jakarta. Di rak majalah, terpampang Majalah TEMPO edisi terbaru, "BURUK ANAS PARTAI DIBELAH". Majalah ini terbit disaat suhu politik di dalam Partai Demokrat dengan menghangat. Lebih 2 jam saya berada disekitar rak majalah, dan tidak seorangpun saya lihat yang berminat membeli majalah TEMPO edisi itu. Ini fenomena menarik.
Philip Meyer mengatakan pada tahun 2005 bahwa media cetak akan mati pada tahun 2042. Rupert Murdoch dan Noam Chomsky mengamini pendapat Philip Meyer, namun tetap berusaha optimis. Menurut Murdoch, umur media cetak bisa diperpanjang apabila media cetak menghentikan arogansinya dan memberikan perhatian pada kebutuhan masyarakat khususnya anak muda.
Baru 2 tahun setelah pernyataan Meyer, tepatnya tahun 2007, bisnis koran The Sun Inggris milik Rupert Murdoch jatuh. Kejatuhan bisnis koran The Sun menjadi semakin lengkap dengan bangkrutnya sejumlah media cetak di AS. Chicago Tribune, Los Angeles Time, The Rocky Mountain News, Seattle Post Intelegencier, Philladephia Inquiry, Baltimore Examiner, Kentucky Post, King Country Journal, Cincinnati Post, Union City Register Tribune, Halifax Daily News, Albuquerque Tribune, South Idaho Star, San Juan Star, adalah sejumlah media cetak besar AS yang bangkrut.
Baru-baru ini yang paling mengejutkan, matinya bisnis media cetak Majalah Newsweek. Majalah ternama AS yang menguasai pemberitaan selama 80 tahun. Sejak 1 Januari 2013, Newsweek tidak kita jumpai lagi dalam bentuk cetak. Saat ini, ada puluhan bahkan mungkin ratusan media cetak di AS yang sedang menunggu giliran ditutup. Media cetak tidak lagi diminati. Koran sekelas The Washington Post saja, saat ini dibagikan gratis dipusat-pusat keramaian di AS. The Wall Street Journal edisi cetak, saat ini juga dibagikan gratis disejumlah tempat.
Paul Gillin, konsultan teknologi informasi dari Massachusetts menyatakan bahwa model bisnis media cetak tidak mungkin lagi bertahan hidup. Perkembangan ekonomi sedang bergerak melawan bisnis cetak,” kata Gillin. Media cetak melibatkan banyak karyawan, sehingga biaya produksi lebih mahal dari media online. Apalagi, zaman sekarang, generasi muda lebih suka bermain internet daripada membeli majalah atau koran. Data Business Measurement Intelegence memperkirakan pengguna internet di Indonesia akan mencapai 167,5 juta pada tahun 2015 mendatang. Hipotesis itu diperkuat oleh peneliti senior Dr. Marlyna Lim bahwa pangsa pasar media cetak Indonesia hanya tinggal 2 persen.
Bisnis TEMPO (PT. Tempo Inti Media Tbk)
Majalah Mingguan Tempo, terbit pertama kali pada April 1971. Majalah ini dimodali Rp 20 juta oleh Yayasan Jaya Raya milik pengusaha Ciputra.
Pada 6 Nopember 2000, Tempo menjadi media pertama yang masuk bursa saham (go public). Pada penawaran saham perdana, Tempo menawarkan 200 juta saham dan 100 juta warran guna meraup dana segar Rp 75 milliar.
Dana segar tersebut 60% digunakan untuk mendirikan Koran Tempo, 25% untuk pelunasan utang anak perusahaan, dan 15% untuk penambahan modal kerja. Tempo juga berambisi mendirikan radio, televisi, dan kantor berita.
Setelah go public, komposisi kepemilikan saham di Tempo berubah: PT Grafiti Pers: 16,6%, Yayasan Jaya Raya: 24,8%, Yayasan 21 Juni 1994: 24,8%, Yayasan Karyawan Tempo: 16,6%, dan publik: 17,2%.
Pada 2 April 2001, ketika umur Tempo menginjak 30 tahun, diterbitkanlah Koran Tempo. Nama Tempo sengaja digunakan pada Koran Tempo untuk meraih pangsa pasar.
Bisnis TEMPO Rugi?
Bagaimana hubungannya dengan hipotesis Philip Meyer, bahwa media cetak akan mati?
Pada laporan keuangan PT. Tempo Inti Media Tbk yang dipublikasikan EMIS (Emerging Markets Information Service) menyebutkan perusahaan mengalami kerugian. Pada bisnis kuartal 1 (Jan-Mar 2012), PT. Tempo Inti Media Tbk mengalami kerugian bersih Rp. 1,4 Milyar. Secara kumulatif pada kuartal 2 (Jan-Juni 2012), total kerugian bersih PT. Tempo Inti Media Tbk menjadi Rp. 8,5 Milyar. EMIS belum mempublikasikan data keseluruhan PT. Tempo Inti Media Tbk untuk tahun 2012.
Jika melihat trend kerugian bersih yang dialami perusahaan Tempo yang terus meningkat dari Kuartal 1 ke 2, perkiraan saya, selama tahun 2012, perusahaan ini mengalami kerugian bersih lebih besar lagi. Apalagi ketika saya amati saat saya berada ditoko buku selama 2 jam lebih, tidak ada seorangpun yang berminat membeli majalah Tempo Edisi terakhir.
Meningkatnya jumlah pengguna internet khususnya dikalangan muda, tidak berminatnya masyarakat kepada media cetak, meruginya PT. Tempo Inti Media Tbk, apakah ini pertanda Majalah Tempo, Koran Tempo dan bisnis cetaknya yang lain sedang mengikuti jejak Majalah Newsweek dan sejumlah media cetak di AS? Apakah ini sinyal bahwa bisnis media cetak PT. Tempo Inti Media sedang berada dalam ‘denyut-denyut sekarat menunggu kematian’?.
Referensi:
EMIS, “Company Profile Tempo Inti Media Tbk, PT” Link: http://www.securities.com/Public/company-profile/ID/Tempo_Inti_Media_Tbk_PT_en_1612140.html
Fachrul Khairuddin, “Sejarah Majalah Tempo: Konflik dan Pembredelan”, Kompasiana. Link: http://sejarah.kompasiana.com/2011/01/07/sejarah-majalah-tempo-konflik-dan-pembredelan/
Imam Nawawi, “Media Cetak Berguguran, Bagaimanakah Nasib Media Islam?”, Kompasiana. Link: http://www.hidayatullah.com/read/25510/21/10/2012/media-cetak-berguguran,-bagaimanakah-nasib-media-islam?.html
Muhammad Rahmad, “Masa Depan Bisnis Media di Era Konvergensi”, Universitas Sahid, 2013.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H