Kecurangan dalam laporan keuangan (Fraudulent Financial Statements/FFS) merupakan masalah serius yang dapat merugikan perusahaan, pemangku kepentingan, dan perekonomian secara keseluruhan. Dalam konteks ini, penting untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kecurangan serta bagaimana mekanisme pengawasan dapat meminimalisir risiko tersebut. Penelitian terbaru oleh Nugroho dan Diyanty (2022) dalam Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia mengusulkan model "fraud hexagon" yang memberikan kerangka baru untuk menganalisis perilaku manajer dalam melakukan kecurangan.
Kecurangan dalam laporan keuangan menyebabkan kerugian finansial yang signifikan bagi banyak organisasi. Menurut survei yang dilakukan oleh Association of Certified Fraud Examiners (ACFE, 2021), kawasan Asia-Pasifik, khususnya Indonesia, mencatatkan angka kecurangan yang tinggi. Hal ini menunjukkan perlunya pemahaman yang lebih baik tentang penyebab dan dampak kecurangan, serta upaya pencegahan yang lebih efektif.
Model "fraud hexagon" yang dikembangkan oleh Vousinas (2019) memperkenalkan enam faktor utama yang dapat memicu kecurangan: stimulus, kesempatan, rasionalisasi, kapabilitas, ego, dan kolusi. Penelitian Nugroho dan Diyanty menunjukkan bahwa :
1. Stimulus : Manajer yang memiliki motivasi tinggi untuk berbuat curang seringkali dipicu oleh faktor eksternal dan internal.
2. Kesempatan : Kelemahan dalam pengawasan internal dan kontrol perusahaan memberikan kesempatan bagi manajer untuk melakukan manipulasi.
3. Rasionalisasi : Manajer sering kali tidak menganggap tindakan mereka sebagai kecurangan, melainkan sebagai "penyesuaian" yang diperlukan.
4. Kapabilitas : Manajer dengan pemahaman finansial yang kuat lebih mungkin untuk melakukan kecurangan.
5. Ego : Manajer yang memiliki ego yang tinggi cenderung menetapkan target yang tidak realistis, mendorong perilaku curang.
6. Kolusi : Keterlibatan pihak lain dalam kolusi dapat memperburuk situasi, membuat kecurangan lebih sulit terdeteksi.
Dalam konteks ini, peran komite audit (AC) sangat penting. Ini menunjukkan bahwa komite audit dapat memoderasi pengaruh dari stimulus, kesempatan, dan kapabilitas terhadap kemungkinan terjadinya FFS. Namun, AC tidak dapat mempengaruhi rasionalisasi, ego, dan kolusi, yang menunjukkan batasan dalam pengawasan yang dapat dilakukan.Beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk memperkuat peran AC dalam mencegah kecurangan meliputi :
1. Peningkatan Keterampilan Anggota AC : Meningkatkan pemahaman anggota AC tentang laporan keuangan dan teknik deteksi kecurangan.
2. Penerapan Standar Pengawasan yang Ketat : Mengadopsi prosedur pengawasan yang lebih ketat dan transparan.
3. Pelaporan yang Terbuka : Mendorong budaya organisasi yang mempromosikan pelaporan masalah secara terbuka dan transparan.
Studi ini tidak hanya memberikan wawasan baru tentang perilaku manajer dalam kecurangan, tetapi juga menawarkan kontribusi teoretis terhadap pengembangan literatur tentang teori tindakan situasional. Dengan memahami faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kecurangan, perusahaan dapat mengambil langkah-langkah proaktif untuk memperbaiki tata kelola dan pengawasan internal.
Dalam menghadapi tantangan kecurangan laporan keuangan, pendekatan yang komprehensif dan berbasis penelitian seperti model fraud hexagon dapat menjadi alat yang efektif. Peran komite audit sangat penting dalam mengurangi risiko kecurangan, namun perlu diingat bahwa keberhasilan pencegahan kecurangan tidak hanya bergantung pada AC, tetapi juga pada budaya organisasi dan sistem pengawasan yang lebih luas. Dengan memahami dan menerapkan temuan dari penelitian ini, perusahaan dapat memperkuat integritas laporan keuangan dan melindungi kepentingan pemangku kepentingan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H