Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Hakim Bao dan Para Pendekar Penegak Keadilan (Bagian 10)

28 Maret 2018   09:31 Diperbarui: 28 Maret 2018   10:16 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bao kembali memanggil Han dan menanyainya, "Apakah rumah tempat tinggal kamu telah ada sejak zaman leluhur kamu? Atau apakah rumah tersebut dibangun sendiri?" "Bukan, rumah itu disewa dan kami belum lama tinggal di sana." "Sebelumnya siapakah yang tinggal di sana?" "Hamba tidak tahu," jawab sang pelajar. Kemudian Bao memerintahkan Han dan Zheng dikembalikan ke penjara.

Bao pun menutup persidangan. Dalam hati ia sangat kebingungan lalu mengundang Gongsun Ce datang untuk bersama-sama mempelajari kasus ini: sebuah kepala wanita dan sesosok tubuh pria, bagaimana kasus ini dapat dipecahkan? Gongsun menawarkan diri untuk pergi menyelidiki diam-diam seperti sebelumnya, tetapi Bao menggelengkan kepala dan berkata, "Tidak perlu merepotkan dirimu lagi, kasus ini tidak bisa dipecahkan dengan cara tersebut. Tetaplah bersamaku untuk mempelajari kasus ini." Kemudian Gongsun mengundurkan diri dan mendiskusikan kasus ini bersama dengan Wang, Ma, Zhang dan Zhao, namun mereka tidak menemukan pemecahannya juga. Akhirnya Gongsun kembali ke kamarnya.

Zhao Hu berkata kepada kakak keduanya, "Sejak mengabdi di Kaifeng, kita belum pernah berbuat jasa apa pun. Sekarang kita menghadapi kasus yang sulit ini, seharusnya kita ikut menanggung kesulitan yang dihadapi tuan kita. Oleh sebab itu, biarlah adik mengajukan diri untuk diam-diam menyelidiki kasus ini." Ketiga kakaknya menertawakan dan berkata, "Adik Keempat, kasus ini sangat sulit. Bagaimana kamu yang kasar melakukan bisa penyelidikan secara diam-diam? Jangan berbuat sesuatu yang membuat kamu ditertawakan." Setelah berkata demikian, mereka pergi sambil tertawa.

Zhao masuk ke kamarnya dengan malu dan tidak senang. Datanglah seorang pelayannya yang pandai kemudian diam-diam membisikkan sesuatu kepada Zhao: "Hamba memiliki suatu ide." "Ide apakah itu?" tanya Zhao. "Bukankah mereka menertawakan tuan? Tuan harus melakukan penyelidikan diam-diam untuk membuktikan mereka salah, tetapi Tuan harus menyamar agar tidak dikenali orang-orang. Jika Tuan berhasil, maka ini akan menjadi jasa tuan; jika gagal, Tuan bisa kembali diam-diam dan tidak ada yang mengetahui sehingga Tuan tidak akan kehilangan muka. Bagaimana menurut Tuan?" "Anak muda yang pintar! Ide yang cemerlang! Kamu segeralah mempersiapkannya untukku."

Lalu sang pelayan pun pergi mempersiapkan segala sesuatunya. Setelah beberapa lama ia kembali dan berkata, "Tuan Keempat, mempersiapkan benda-benda ini sama sekali tidak mudah. Dengan susah payah hamba baru saja mendapatkannya. Selain itu, hamba juga menghabiskan enam belas setengah uang perak." "Uang berapa pun tidak menjadi masalah, yang penting rencana ini harus berhasil," kata Zhao. "Ini pasti akan berhasil. Mari kita mencari tempat yang sepi agar hamba bisa membantu Tuan melakukan penyamaran."

Zhao sangat gembira mendengarnya lalu bersama pelayannya pergi menuju tempat yang sepi. Sang pelayan membuka sebuah bungkusan kain lalu meminta tuannya melepaskan pakaiannya. Ternyata di dalam bungkusan tersebut terdapat sebongkah jelaga. Lalu pelayan itu mengusapkan jelaga tersebut pada seluruh muka, badan, dan tangan Zhao. Kemudian ia mengeluarkan sebuah topi compang-camping untuk dikenakan pada kepala tuannya dan pakaian compang-camping yang dikenakan pada badan sang tuan. Ia juga meminta tuannya melepaskan celana, sepatu, dan kaos kakinya serta memakaikan celana koyak yang tiada bagian kakinya kepada sang tuan. Ia menempelkan tambalan luka pada kedua kaki tuannya lalu memberikan sejenis pewarna merah dan hijau untuk mengesankan darah dan nanah pada luka tersebut. Kemudian ia meminta tuannya mengenakan sandal kayu yang usang. Ia juga menambahkan sebuah mangkuk tanah liat dan sebatang tongkat pengusir anjing untuk dipakai oleh Zhao. Seketika penampilan Zhao berubah menjadi seorang pengemis yang memakai pakaian tambal sulam beranekaragam. Pakaian dan perlengkapan tersebut tidak sampai seharga enam belas setengah uang perak; bahkan tiga puluh enam keping uang logam pun orang pun tidak ingin membelinya. Sang pelayan sangat mengetahui bahwa tuannya memiliki banyak uang dari hasil pembagian emas sehingga tidak peduli berapa harga benda-benda tersebut; apalagi ini demi urusan tugas pemerintahan.

Ketika akan pergi, sang pelayan berkata, "Pada waktu jaga malam pertama aku akan menunggu tuan di sini." Zhao mengiyakan lalu dengan tangan kiri membawa mangkuk dan tangan kanan membawa tongkat ia segera pergi menuju pedesaan.

Ia berjalan dan terus berjalan sampai akhirnya kakinya terasa sakit. Ia tiba di sebuah kuil kecil dan duduk di atas batu di depan kuil tersebut. Ketika ia mengangkat sandalnya, ternyata ada paku pada solnya yang menancap keluar. Ia memukul-mukulkan sandal itu di atas batu untuk melepaskan paku yang tersangkut di dalamnya; dengan bersusah payah akhirnya ia berhasil mengeluarkan paku itu. Tak disangka suaranya memukul-mukul sandal tersebut terdengar oleh bhiksu di dalam kuil tersebut yang menyangka ada orang yang mengetuk pintu kuil. Ketika sang bhiksu membuka pintu, terlihat seorang pengemis tengah memukul-mukulkan sandalnya.

Zhao langsung bertanya, "Bhiksu, apakah anda mengetahui di manakah tubuh sang wanita dan kepala pria itu berada?" "Ternyata orang gila," kata bhiksu itu tanpa menjawab pertanyaan tersebut lalu menutup pintu dan masuk ke dalam kuil.

TIba-tiba Zhao menyadari kesalahannya dan berkata menertawai dirinya sendiri, "Aku sedang melakukan penyelidikan rahasia. Mengapa aku keceplosan mengatakan apa yang ada dalam pikiranku? Betapa bodohnya aku! Aku harus segera pergi dari sini." Kemudian ia berpikir, "Aku menyamar sebagai pengemis seharusnya berteriak seperti pengemis juga, tetapi aku belum pernah melakukannya. Aku harus mencobanya dan melihat bagaimana hasilnya."

"Kasihanilah aku! Semangkuk atau setengah mangkuk, bahkan nasi gosong atau basi pun jadi," teriaknya dengan penuh iba. Awalnya ia merasa gembira karena berpikir ia sedang melakukan penyelidikan rahasia ini, tetapi kemudian karena tidak ada orang yang memperhatikannya, ia merasa khawatir bagaimana ia bisa berhasil mendapatkan sesuatu. Apalagi matahari semakin condong ke barat dan sebentar lagi hari akan gelap. Untungnya pada malam itu bulan purnama sehingga walaupun hari gelap, langit tampak terang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun