Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Hakim Bao dan Para Pendekar Penegak Keadilan (Bagian 7)

15 Februari 2018   23:54 Diperbarui: 16 Februari 2018   17:26 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Bao Xing pergi keluar dan melihat orang itu memakai pakaian dan topi yang sama dengan yang dipakai Bao sewaktu berada di kuil dulu, yang sama lebar dan panjangnya serta tampak kusut. Bao Xing melihat pakaian yang sama itu langsung mengetahui pakaian tersebut pasti diberikan oleh bhiksu Liao Ran. Ia berkata, “Tuan kami mempersilahkan anda masuk.” Orang itu tampak sangat terpelajar; ia masuk bersama Bao Xing. Sampai di ruang baca, Bao Xing mengangkat tirai dan Bao berdiri menyambutnya. Orang itu mengangkat tangannya memberi penghormatan; Bao membalasnya lalu mempersilakannya duduk.

Bao bertanya, “Siapakah nama Tuan?” Orang itu menjawab, “Saya bermarga Gongsun bernama Ce, karena miskin dan bernasib sial, berkali-kali gagal dalam ujian negara, dan setelah berkelana ke mana-mana akhirnya sampai di Kuil Perdana Menteri Agung. Saya menerima banyak perlakuan yang baik dari Guru Liao Ran. Beliau secara khusus memberikan surat tersebut agar Tuan dapat menerima saya bekerja untuk Tuan.” Bao memperhatikan dengan seksama pembawaan Gongsun Ce, tutur katanya jernih dan jelas. Ketika ditanyai tentang beberapa kitab klasik, ia dapat menjawabnya dengan cepat dan lancar. Berpengetahuan yang luas, ia sesungguhnya adalah seorang sarjana berbakat yang tidak memperoleh peringkat dalam ujian negara. Bao sangat gembira mendapatkan orang berbakat tersebut.

Ketika mereka sedang berbincang-bincang, seorang petugas dari luar masuk dan melaporkan, “Liu telah tiba.” Bao menyuruhnya menunggu lalu menyuruh Li Cai menemani Gongsun. Ia sendiri membawa Bao Xing dan masuk ruang pengadilan untuk membuka sidang. “Bawa masuk Liu,” perintahnya. Petugas pun berseru, “Bawa masuk Liu!” Tampak dari pintu samping masuklah seorang wanita yang berusia tidak lebih dari dua puluh tahun. Wajahnya tampak tidak berseri dan mulutnya berkomat-kamit berkata, “Orang baik yang telah meninggal dunia jenazahnya diobrak-abrik, tidak tahu kehidupan sebelumnya ia berbuat kesalahan apa! Hari ini masih menyuruh aku datang ke sini, mungkinkah orang itu masih sengaja membuat masalah denganku?” Ia berkata demikian sambil masuk ke dalam ruang sidang. Tanpa melihat ke sekelilingnya, ia berjalan dengan tenang lalu berlutut. Ini adalah sikap seseorang yang sudah terbiasa melaporkan kasus ke pengadilan.

“Apakah kamu adalah Liu, istri Zhang?” tanya Bao. Liu menjawab, “Hamba adalah Liu, istri pedagang Zhang Youdao.” “Apakah sebab suami kamu meninggal?” “Malam itu suami hamba pulang ke rumah. Setelah makan malam ia tidur pada waktu jaga pertama. Pada waktu jaga kedua ia mengatakan dadanya terasa sakit. Hamba sangat ketakutan karena suami hamba berteriak kesakitan. Siapa sangka tidak beberapa lama kemudian ia meninggal dunia. Betapa beratnya penderitaan yang harus hamba tanggung!” kata Liu dengan muka bercucuran air mata.

Bao memukul mejanya satu kali lalu berseru, “Apakah sebenarnya sebab suamimu meninggal? Katakan!” Para petugas yang berdiri di sana pun meneriakkan, “Cepat katakan!” Liu sambil berlutut merangkak ke depan dan berkata, “Tuan, suami hamba benar-benar meninggal karena terkena sakit jantung. Hamba bagaimana mungkin berani berbohong.” Bao bertanya, “Jika benar suamimu meninggal karena sakit, mengapa kamu tidak menyampaikan kabar kepada kakaknya Zhang Zhiren? Sesungguhnya kukatakan padamu, sekarang Zhang Zhiren telah melaporkan kasus ini ke kantor prefektur. Kamu mengakulah sejujurnya untuk menghindari hukuman!” “Hamba tidak menyampaikan kabar kepada Zhang Zhiren karena hamba tidak ingin merepotkan orang lain dan juga hamba tidak berani mengirimkan surat kepadanya,” kata Liu.

“Mengapa demikian?” tanya Bao. “Karena ketika suami hamba masih hidup, ia sering datang ke rumah hamba. Ia sering datang dan pergi ketika tidak ada orang; hamba selalu mengabaikannya. Ketika ia datang lagi ke rumah hamba, hamba memberitahukan bahwa adiknya telah meninggal. Bukan hanya ia tidak menangis, tetapi sebaliknya terhadap hamba mengatakan hal-hal tidak benar, yang bahkan hamba tidak berani mengatakannya. Waktu itu ia mencaci maki hamba lalu pergi. Siapa sangka ia sangat marah lalu pergi ke kabupaten melaporkan bahwa kematian adiknya mencurigakan dan meminta membuka peti jenazahnya untuk diperiksa. Setelah pejabat kabupaten memeriksanya, ternyata tidak ada bekas luka dan ia dihukum dua puluh pukulan. Tak disangka ia tidak melepaskan masalah ini, bahkan sekarang melapor ke pengadilan Tuan. Kasihanilah hamba yang sudah kehilangan suami masih harus menerima tuduhan ini. Hamba juga mengalami hal yang tidak menyenangkan ini dan benar-benar diperlakukan tidak adil! Mohon Tuan Langit Cerah memberikan keadilan!” seru Liu sambil menangis tersedu-sedu.

Bao mendengar perkataannya yang lancar bagaikan air terjun dan tajam bagaikan pedang; ucapannya mengharukan dan masuk akal. Ia berpikir, “Mendengar perkataan wanita ini, ia pasti tidak jujur. Ketika menanyai Zhang Zhiren, aku melihat ia tampak seperti orang yang sederhana dan jujur. Aku harus mengalah dulu pada argumen wanita ini dan menyelidiki dengan seksama situasi ini. Baru kemudian wanita ini akan mengaku.” Kemudian ia berkata kepada Liu, “Jika demikian halnya, kamu sebenarnya telah mendapatkan tuduhan salah. Zhang Zhiren benar-benar sangat jahat. Aku merasa ini masuk akal. Kamu boleh pergi dan tiga hari lagi datang kembali.” Liu bersujud lalu pergi; ia tampak puas. Bao semakin curiga.

Setelah menutup persidangan, ia pergi ke ruang baca kemudian menyuruh Gongsun Ce membaca laporan pengakuan lisan para terdakwa. Setelah membacanya, Gongsun berkata, “Menurut yang saya baca dari pengakuan ini, kecurigaan Zhang Zhiren tidak salah, namun perkataan Liu penuh tipu daya. Ini harus diselidiki dengan jelas, baru bisa mematahkan argumen wanita tersebut.” Ternyata apa yang dipikirkan Bao sama seperti yang dikatakan Gongsun; merasa senang, ia berkata, “Tampaknya hanya bisa melakukan hal demikian.” Gongsun yang ingin membalas jasa terhadap atasannya segera berdiri dan berkata, “Saya akan menyamar dengan berpakaian sebagai pengelana dan diam-diam melakukan penyelidikan. Jika menemukan sesuatu, saya akan melaporkannya kepada Tuan.” “Jika demikian akan merepotkan Tuan,” kata Bao lalu ia menyuruh Bao Xing, “Segera persiapkan biaya dan barang-barang untuk perjalanan Tuan Gongsun, jangan ada yang terlewatkan.” Gongsun memberitahu apa saja barang yang diperlukan dan Bao Xing segera mempersiapkan hal tersebut.

Tak lama kemudian, semua barang telah dipersiapkan, yaitu sebuah kotak obat kecil, sebuah papan nama, dan sehelai pakaian selempang sutra serta sepatu dan kaos kaki. Gongsun berganti pakaian lalu dengan membawa kotak obat diam-diam keluar dari pintu samping menuju desa Qili untuk melakukan penyelidikan.

Siapa sangka walaupun awalnya ia berjalan dengan penuh semangat, tetapi kemudian kembali dengan rasa kecewa karena setelah seharian menyelidiki tidak menemukan hasil. Langit sudah gelap dan perutnya kelaparan sehingga ia harus segera kembali ke Kaifeng menyelesaikan urusannya. Tetapi karena terburu-buru, ia salah memilih jalan dan ternyata tersesat ke arah utara. Ia kemudian kembali ke jalan yang mengarah ke tengggara. Setelah berjalan beberapa li jauhnya, dengan bersusah payah ia sampai di sebuah penginapan pada sebuah kota kecil. Ketika ditanyakan, barulah ia tahu telah berada di kota Yulin dan akhirnya ia bermalam di Penginapan Xing Long.

Saat itu ia begitu lelah dan kelaparan. Ketika ia bermaksud menyantap makanannya, tampak sekelompok orang datang. Mereka terdiri dari empat orang yang di antaranya terdapat seorang yang bertubuh pendek dan berkulit gelap. Orang itu berkata dengan suara lantang, “Tidak peduli siapa dia, cepat sediakan tempat untukku! Jika membuat marah tuan kalian ini, penginapan kalian akan aku porak-porandakan.” Di sampingnya ada seorang yang berkata, “Adik keempat tidak boleh seperti ini. Siapa yang datang pertama maka ia mendapatkan tempat lebih dulu. Jika adik menyuruh orang lain pindah pun harus menggunakan kata-kata yang sopan, tidak bisa dengan membuat keributan seperti ini.” Kemudian ia berkata kepada pemilik penginapan, “Tuan, anda pergilah membujuk orang itu. Kami ada banyak orang, jika tinggal di kamar dua ruangan, kami merasa tidak nyaman. Mohon bantuannya.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun