Dalam beberapa minggu terakhir, isu tentang konflik Rohingya di Myanmar kembali mencuat ketika ribuan pengungsi Rohingya dari Myanmar terdampar di Aceh setelah diselamatkan para nelayan. Berita-berita tentang konflik etnis di Rakhine, salah satu negara bagian Myanmar yang berbatasan dengan Bangladesh ini pun kembali bermunculan dan menjadi topik hangat di berbagai media sosial setelah sebelumnya sempat tenggelam sejak pemberitaan terakhir tentang kerusuhan etnis tersebut pada tahun 2012 yang silam. Lebih parahnya, banyak pihak yang mengaitkan permasalahan ini sebagai konflik agama tanpa mengetahui latar belakang masalah yang sebenarnya yang telah terjadi ratusan tahun yang lampau. Oleh sebab itu, tulisan ini akan menilik kembali sejarah konflik di Rakhine tersebut sehingga akar permasalahannya menjadi lebih jelas bagi kita semua.
Berdasarkan catatan sejarah, komunitas Muslim telah mendiami wilayah Arakan (nama kuno Rakhine) sejak masa pemerintahan seorang raja Buddhis bernama Narameikhla atau Min Saw Mun (1430–1434) di kerajaan Mrauk U. Setelah diasingkan selama 24 tahun di kesultanan Bengal, Narameikhla mendapatkan tahta di Arakan dengan bantuan dari Sultan Bengal saat itu. Kemudian ia membawa serta orang-orang Bengali untuk tinggal di Arakan dan membantu administrasi pemerintahannya; demikianlah komunitas Muslim pertama terbentuk di wilayah itu.
Saat itu kerajaan Mrauk U berstatus sebagai kerajaan bawahan dari kesultanan Bengal sehingga Raja Narameikhla menggunakan gelar dalam bahasa Arab termasuk dalam nama-nama pejabat istananya dan memakai koin Bengal yang bertuliskan aksara Arab Persia pada satu sisinya dan aksara Burma pada sisi lainnya sebagai mata uangnya.Â
Setelah berhasil melepaskan diri dari kesultanan Bengal, para raja keturunan Narameikhla tetap menggunakan gelar Arab tersebut dan menganggap diri mereka sebagai sultan serta berpakaian meniru sultan Mughal. Mereka tetap mempekerjakan orang-orang Muslim di istana dan walaupun beragama Buddha, berbagai kebiasaan Muslim dari Bengal tetap dipakai. Pada abad ke-17 populasi Muslim meningkat karena mereka dipekerjakan dalam berbagai bidang kehidupan, tidak hanya dalam pemerintahan saja. Suku Kamein, salah satu etnis Muslim di Rakhine yang diakui pemerintah Myanmar saat ini, adalah keturunan orang-orang Muslim yang bermigrasi ke Arakan pada masa ini.
Namun kerukunan dan keharmonisan ini tidak berlangsung lama. Pada tahun 1785 kerajaan Burma dari selatan menyerang dan menguasai Arakan; mereka menerapkan politik diskriminasi dengan mengusir dan mengeksekusi orang-orang Muslim Arakan. Pada tahun 1799 sebanyak 35.000 orang Arakan mengungsi ke wilayah Chittagong di Bengal yang saat itu dikuasai Inggris untuk mencari perlindungan. Orang-orang Arakan tersebut menyebut diri mereka sebagai Rooinga (penduduk asli Arakan), yang kemudian dieja menjadi Rohingya saat ini. Selain itu, pemerintah kerajaan Burma saat itu juga memindahkan sejumlah besar penduduk Arakan ke daerah Burma tengah sehingga membuat populasi wilayah Arakan sangat sedikit ketika Inggris menguasainya.
Pada tahun 1826 wilayah Arakan diduduki oleh pemerintah kolonial Inggris setelah perang Inggris-Burma I (1824-1826). Pemerintah Inggris menerapkan kebijakan memindahkan para petani dari wilayah yang berdekatan ke Arakan yang saat itu sudah ditinggalkan, termasuk orang-orang Rohingya yang sebelumnya mengungsi dan orang-orang Bengali asli dari Chittagong. Saat itu wilayah Arakan dimasukkan dalam daerah administrasi Bengal sehingga tidak ada batas internasional antara keduanya dan migrasi penduduk di kedua wilayah itu terjadi dengan mudah.
Pada awal abad ke-19 gelombang imigrasi dari Bengal ke Arakan semakin meningkat karena didorong oleh kebutuhan akan upah pekerja yang lebih murah yang didatangkan dari India ke Burma. Seiring waktu jumlah populasi para pendatang lebih banyak daripada penduduk asli sehingga tak jarang menimbulkan ketegangan etnis. Pada tahun 1939 konflik di Arakan memuncak sehingga pemerintah Inggris membentuk komisi khusus yang menyelidiki masalah imigrasi di Arakan, namun sebelum komisi tersebut dapat merealisasikan hasil kerjanya, Inggris harus angkat kaki dari Arakan pada akhir Perang Dunia II.
Pada masa Perang Dunia II Jepang menyerang Burma dan mengusir Inggris dari Arakan yang kemudian dikenal sebagai Rakhine. Pada masa kekosongan kekuasaan saat itu, kekerasan antara kedua kelompok suku Rakhine yang beragama Buddha dan suku Rohingya yang beragama Muslim semakin meningkat. Ditambah lagi, orang-orang Rohingya dipersenjatai oleh Inggris guna membantu Sekutu untuk mempertahankan wilayah Arakan dari pendudukan Jepang.Â
Hal ini akhirnya diketahui oleh pemerintah Jepang yang kemudian melakukan penyiksaan, pembunuhan dan pemerkosaan terhadap orang-orang Rohingya. Selama masa ini, puluhan ribu orang Rohingya mengungsi keluar dari Arakan menuju Bengal. Kekerasan yang berlarut-larut juga memaksa ribuan orang Burma, India dan Inggris yang berada di Arakan mengungsi selama periode ini.
Pada tahun 1940-an orang-orang Rohingya berusaha menjalin kerjasama dengan Pakistan di bawah Mohammad Ali Jinnah untuk membebaskan wilayahnya dari Burma, tetapi ditolak oleh pemimpin Pakistan tersebut karena tidak mau mencampuri urusan internal negeri Burma. Pada tahun 1947 orang-orang Rohingya membentuk Partai Mujahid yang merupakan kelompok jihad untuk mendirikan negara Muslim yang merdeka di Arakan utara. Mereka menggunakan istilah Rohingya sebagai identitas politik mereka dan menyatakan diri sebagai penduduk asli Arakan. Kemudian Burma merdeka pada tahun 1948 dan orang-orang Rohingya semakin gencar melancarkan gerakan separatisnya.
Dalam perjuangan memperebutkan kemerdekaan dari Inggris, pada tahun 1946 Jenderal Aung San (ayah dari Aung San Suu Ky) menjamin hak dan keistimewaan warga Muslim Rohingya Arakan dengan mengatakan: "Saya memberikan (menawarkan) cek kosong kepada kalian. Kita akan hidup bersama dan mati bersama. Mintalah apa yang kalian inginkan. Saya akan melakukan yang terbaik untuk memenuhi hal itu. Jika penduduk asli terbelah, akan sulit mencapai kemerdekaan bagi Burma".