Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Galau, Siapa Takut?

26 Mei 2012   09:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:46 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya saya bingung mau memberi judul artikel ini, walaupun akhirnya mendapatkan kata-kata di atas agar bisa menarik perhatian pembaca. Jadi, mudah-mudahan judulnya tidak rancu karena apa yang akan dibahas di sini juga tentang satu kata yang sangat populer di kalangan anak muda saat ini. Kalau kita menggunakan fitur pencarian di Kompasiana ini untuk mencari kata "galau", kita akan menemukan sudah banyak artikel yang ditulis tentang topik ini.  Apalagi jika kita menggunakan fitur pencarian Google. Ada yang membahas dari sisi anak muda, dari sisi psikologis, bahkan dari sisi agama. Namun tulisan ini akan membahas topik galau ini dari pandangan ajaran Buddha yang sedikit dipadukan dengan pandangan pribadi saya. Meskipun kata ini populer di kalangan anak muda, tetapi tidak hanya anak-anak muda yang mengalaminya. Semua orang tanpa memandang usia pernah mengalami keadaan mental ini. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "galau" bermakna "sibuk beramai-ramai; ramai sekali; kacau tidak keruan (pikiran)." Namun ini adalah makna leksikal yang berbeda artinya jika dipakai dalam percakapan sehari-hari. Masing-masing orang memiliki pengertian sendiri-sendiri tentang jenis perasaan ini yang umumnya dipengaruhi oleh lingkungan sekitar dan pengalaman pribadi masing-masing.

[caption id="" align="aligncenter" width="628" caption="Galau merupakan suatu bentuk kegelisahan"][/caption] Misalnya suatu blog mengatakan bahwa galau itu berhubungan dengan ketidaktentuan pikiran akan kondisi saat ini dan masa yang akan datang, dilema dalam pengambilan keputusan, perasaan melankolis, keadaan pikiran yang kacau balau, dan seterusnya. Suatu kondisi mental yang berubah-ubah dari senang menjadi sedih kemudian senang lagi juga sering dianggap suatu bentuk kegalauan, bahkan dalam hal yang tidak berhubungan dengan keadan mental atau perasaan (misalnya dalam ucapan "Makan dulu ah biar gak galau"). Namun demikian, umumnya apa yang disebut galau ini berhubungan dengan keadaan pikiran yang tidak menentu dan menyebabkan perasaan yang kacau balau akibat ketidakpastian kondisi saat ini atau masa yang akan datang. Hampir semua problem kehidupan menyebabkan kegalauan, walaupun yang paling populer adalah masalah cinta. Anak muda bisa galau karena sedang jatuh cinta, cinta ditolak, hubungan cinta yang tidak ada kepastian, putus cinta, menentukan sekolah atau perguruan tinggi yang akan dimasuki, dan problem dengan orang tua dan teman. Orang dewasa juga mengalami kegalauan yang disebabkan oleh masalah pekerjaan, masalah keuangan, masalah cinta, cita-cita yang belum tercapai, masa depan yang tidak menentu, dan bayangan masa lalu. Galau dalam Perspektif Buddhis Jika galau dipandang sebagai suatu bentuk kegelisahan seperti di atas, ini adalah suatu bentuk ketidaktenangan mental yang disebut uddhacca. Menurut pengulas teks Buddhis, Bhikkhu Buddhaghosa, uddhacca yang sering diterjemahkan sebagai kegelisahan didefinisikan sebagai berikut:

Uddhacca adalah keadaan bergejolak. Ia memiliki ciri-ciri ketidaktenangan, seperti air yang bergejolak oleh angin. Fungsinya adalah ketidakmantapan, seperti bendera atau panji-panji yang bergoyang oleh angin. Ia berwujud sebagai kekacauan, seperti abu yang beterbangan setelah dilempari dengan batu-batu. Sebab terdekatnya adalah perhatian yang tidak bijaksana pada ketidaktenangan mental. Ia seharusnya dianggap pengacau pikiran. (Visuddhimagga XIV:165)

Uddhacca bersama dengan saudara dekatnya, kukkucca (kecemasan), merupakan salah satu rintangan (nivarana) atau belenggu (samyojana) untuk mencapai kemajuan spiritual. Bedanya, kukkucca merupakan perasaan cemas karena kesalahan yang pernah diperbuat di masa lampau atau akibat adanya hal-hal yang seharusnya dilakukan tetapi tidak dilakukan. Ketenangan batin merupakan lawan dari uddhacca dan kukkucca ini. Uddhacca dapat muncul karena usaha yang berlebihan untuk mencapai tujuan (Pansudhovaka Sutta, Anguttara Nikaya 3.100). Ini juga disebabkan karena keinginan dan semangat yang berlebihan untuk mencapai kemajuan (Iddhipada-vibhanga Sutta, Samyutta Nikaya 51.20). Sepanjang terdapat kegelisahan mental, tujuan akhir spiritual tidak akan mungkin tercapai. Hal ini juga berlaku dalam kehidupan sehari-hari di mana kita dianjurkan untuk tidak berlebihan dalam pengejaran cita-cita atau tujuan dalam hidup kita. Tenggelam dalam kegelisahan dapat berdampak buruk pada kebahagiaan kita, seperti yang dikatakan Sang Buddha di bawah ini:

"Seseorang yang batinnya diliputi kegelisahan dan kecemasan akan melakukan apa yang tidak seharusnya dilakukan dan mengabaikan apa yang seharusnya dilakukan. Dan melalui hal itu, nama baik dan kebahagiaannya akan hancur." (Anguttara Nikaya 4:61)
"Jika terdapat air di dalam sebuah wadah, diaduk-aduk oleh angin, bergejolak, berguncang dan menghasilkan gelombang, seseorang dengan daya penglihatan yang normal tidak dapat dengan baik mengenali dan melihat bayangan wajahnya sendiri [di permukaan air]. Demikian juga, ketika pikiran seseorang dikuasai oleh kegelisahan dan kecemasan, ditaklukkan oleh kegelisahan dan kecemasan, ia tidak dapat dengan baik melihat jalan keluar dari kegelisahan dan kecemasan yang telah muncul; maka ia tidak dengan baik memahami kesejahteraan diri sendiri, atau orang lain, atau keduanya." (Samyutta Nikaya 46:55)

Jadi, galau dalam perspektif Buddhis merupakan bentuk gejolak mental akibat harapan yang berlebihan untuk mencapai suatu tujuan di masa yang akan datang. Ketika kita dihadapkan pada kemungkinan akan kehilangan atas apa yang kita cita-citakan, di sini timbul ketidaknyaman yang berujung pada kegalauan. Jika dibiarkan terus-menerus, hal ini dapat merusak kebahagiaan diri sendiri maupun orang lain karena orang yang galau tidak melakukan apa yang seharusnya ia lakukan untuk keluar dari kegalauannya. Menghadapi Galau Kegalauan hanya dapat dihilangkan secara sementara setelah mencapai tingkat pemusatan pikiran (jhana) dalam pengembangan mental yang disebut meditasi. Ia baru benar-benar lenyap setelah mencapai kesucian batin tertinggi Arahat di mana lima belenggu batin yang terakhir (termasuk uddhacca) dihancurkan. Jadi, sebagai orang biasa, tidak mungkin kita dapat menghilangkan kegalauan, tetapi ia dapat dihadapi agar tidak merusak kehidupan kita. Karena kegalauan merupakan salah satu faktor mental yang membentuk kesadaran atau pikiran kita, untuk menghadapinya adalah dengan cara mengembangkan perhatian atau kesadaran akan timbul dan lenyapnya bentuk mental ini. Ini merupakan salah satu bentuk meditasi yang disebutkan dalam Mahasatipatthana Sutta, Digha Nikaya 22 sebagai berikut:

"Jika kegelisahan dan kecemasan timbul dalam dirinya, ia mengetahui bahwa kegelisahan dan kecemasan timbul. Jika kegelisahan dan kecemasan tidak ada dalam dirinya, ia mengetahui bahwa kegelisahan dan kecemasan tidak ada. Dan ia mengetahui bagaimana kegelisahan dan kecemasan yang belum muncul itu muncul, dan ia mengetahui bagaimana menyingkirkan kegelisahan dan kecemasan yang telah muncul, dan ia mengetahui bagaimana ketidakmunculan di masa depan dari kegelisahan dan kecemasan yang telah disingkirkan."

Dalam hal ini tidak berarti untuk menghadapi kegalauan itu diharuskan untuk duduk bermeditasi, namun yang paling penting adalah mengetahui, memperhatikan, dan menyadari munculnya bentuk mental tersebut dan lenyapnya serta faktor-faktor yang menyebabkan kemunculan dan kelenyapannya. Perenungan ini dilakukan semata-mata untuk mengamati fenomena pikiran tanpa ada pikiran yang mengembara, berkhayal, atau berspekulasi. Hal ini juga dinasehatkan Sang Buddha kepada pertapa Bahiya sebagai berikut:

"Dalam hal ini, Bahiya, kamu harus melatih dirimu sendiri: di dalam apa yang dilihat hanya ada apa yang dilihat, di dalam apa yang didengar hanya ada apa yang didengar, di dalam apa yang dirasakan hanya ada apa yang dirasakan, di dalam apa yang diketahui hanya ada apa yang diketahui. Dengan cara ini kamu harus melatih dirimu sendiri, Bahiya.
Jika, Bahiya, didalam apa yang dilihat hanya ada apa yang dilihat, di dalam apa yang didengar hanya ada apa yang didengar, di dalam apa yang dirasakan hanya ada apa yang dirasakan, di dalam apa yang diketahui hanya ada apa yang diketahui, maka, Bahiya, kamu tidak akan 'bersama itu'; bila, Bahiya, kamu tidak lagi 'bersama itu', kamu tidak akan berada di dalam itu; bila, Bahiya, kamu tidak ada di dalam itu, maka, Bahiya, kamu tidak akan berada di sini maupun di sana tidak juga di antara keduanya. Inilah akhir penderitaan." (Bahiya Sutta, Udana 1.10)

Dengan kontemplasi ini, kita tidak akan melekat pada kegalauan dan juga tidak akan menolaknya. Kita pun akan senantiasa bebas dari keinginan dan penolakan terhadap input-input inderawi dan pikiran yang menyebabkan galau. Demikianlah ketenangan batin yang anti galau diperoleh. Dalam Bhaddekaratta Sutta, Majjhima Nikaya 131, Sang Buddha mengatakan:

Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu Atau membangun harapan di masa depan; Karena masa lalu telah ditinggalkan Dan masa depan belum dicapai. Melainkan lihatlah dengan pandangan terang Tiap-tiap kondisi yang muncul saat ini; Ketahuilah dan yakinlah, Dengan tak terkalahkan, tak tergoyahkan. Saat ini usaha harus dilakukan.

Apa pun yang diharapkan di masa depan atau dikhawatirkan di masa lalu tidak seharusnya diperhatikan karena masa depan belum datang, masa lalu telah berlalu, dan kita hanya hidup di masa kini. Oleh sebab itu, apa pun kegalauan tentang masa depan atau masa lalu seharusnya ditinggalkan dan dengan hanya berfokus pada masa kini kita berusaha sebaik mungkin pada pencapaian cita-cita kita. Setelah pikiran bebas dari galau, maka kita dapat berpikir dengan jernih untuk mengatasi masalah sebenarnya di balik kegalauan itu. Demikianlah kegalauan hanyalah ketidaktenangan pikiran yang harus dihadapi ketika suatu permasalahan kehidupan muncul karena adanya harapan di masa depan. Berlarut-larut dalam kegalauan, terikat padanya atau menolaknya kehadirannya tidaklah menyelesaikan masalah. Setelah mengamati dan memahami timbul dan lenyapnya keadaan mental yang menganggu ini, ketenangan pikiran diperoleh. Hanya pikiran tenang yang mampu menyelesaikan problem yang sebenarnya. Jadi, siapa takut galau?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun