Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mencari Makna Hidup

27 Mei 2011   15:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:08 1547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Beberapa hari belakangan ini aku mulai merasakan kekosongan dalam hidupku. Bukan karena ketidakmampuanku mewujudkan tujuan hidupku, melainkan aku merasa tujuan hidup yang telah kutetapkan itu tidak akan membawaku pada kebahagiaan. Bukan kali ini saja kurasakan kehilangan makna hidup ini, tetapi pernah terjadi juga beberapa tahun yang lalu ketika aku masih kuliah. Waktu itu aku berpikir tentang tujuan hidupku dan merasakan adanya kekosongan dalam makna hidupku, tetapi itu tidak berlangsung lama karena aku mengalihkan pikiranku pada hal-hal lain, yaitu belajar demi lulus kuliah pada waktunya.

Kali ini kegalauan itu muncul kembali. Sepulang kerja ketika aku merasakan kebosanan melakukan rutinitas yang biasa kulakukan, aku mulai bertanya pada diriku sendiri apa yang kucari dalam hidup ini, apa aku akan terus begini setiap hari? Pertanyaan-pertanyaan ini terus menghantuiku bahkan ketika aku bekerja dalam keramaian kantorku, ketika aku merasa kesepian di antara rekan-rekan sekerjaku. Kini pekerjaan di kantor pun terasa hampa.

Selama ini yang kuanggap sebagai tujuan hidup adalah harta dan cinta, tetapi untuk tahta aku tidak banyak menginginkannya. Namun aku mulai berpikir, akankah aku bahagia jika memiliki keduanya atau malah ketiganya? Dalam renunganku, harta hanya berlaku untuk di dunia ini. Walaupun ia dibutuhkan untuk kebutuhan sehari-hari, ia tidak dapat membeli kebahagiaan. Mungkin aku akan berbahagia jika memiliki gadget Blackberry terbaru, tetapi ketika produk yang lebih canggih lagi keluar, keinginan untuk memiliki yang lebih baru lagi pasti muncul dan tidak akan pernah terpuaskan. Demikian juga dengan harta kekayaan lainnya seperti mobil, rumah, dan seterusnya tidak akan biasa memuaskan keinginanku yang tidak habis-habisnya. Dan aku mungkin akan mati sebelum semua keinginan tersebut terpenuhi.

Bukan berarti aku orang miskin yang tidak bisa mengumpulkan harta. Sebagai seorang yang rajin dan hemat, aku merasa aku telah banyak menimbun harta. Mungkin tidak sebanyak yang dipunyai orang terkaya di daerahku karena aku hanya karyawan biasa dengan gaji standar, tetapi cukup untuk memenuh kebutuhan hidupku dan beberapa keinginan lainnya. Harta bukan tujuan hidupku, demikian aku menyimpulkan.

Bagaimana dengan cinta? Bukankah bagi beberapa orang, cinta bisa menjadikan dunia seperti surga walaupun tidak punya harta? Aku mendapatkan cukup banyak cinta dari orang-orang terdekatku, keluarga dan sahabat, bahkan aku pernah merasakan manis dan pahitnya jatuh cinta. Namun cinta itu tidak kekal, selalu ada embel-embel di belakangnya yang membuatnya tidak menyenangkan. Dari keinginan memiliki, sepasang kekasih menyatu; ketika keinginan itu tidak terpenuhi, mereka berpisah. Bahkan jika mereka bisa bertahan sampai tua, tetap sama kematian akan memisahkan mereka. Kesedihan dan ratap tangis pun kembali, seperti ketika mereka terpisah sementara waktu saat mereka menjalin kebersamaan dulu. Bukan cinta seperti ini arah hidupku.

Kusadari ada cinta yang sejati, cinta yang hanya mengharapkan kebahagiaan orang lain semata, tanpa pamrih apa pun di belakangnya. Namun, sangat sulit menumbuhkan cinta yang seperti itu; bahkan ketika aku berhasil menumbuhkannya, aku merasa gagal membahagiakan mereka yang kucintai tanpa pamrih. Akhirnya ini hanya menjadi cinta yang semu, tanpa tindakan apa pun, dan akhirnya mati dengan sendirinya.

Ada satu hal lagi yang bisa menjadi tujuan hidupku, yaitu ilmu pengetahuan. Aku seorang yang menyukai hal-hal yang menambah wawasanku. Aku gemar membaca buku-buku dan artikel di internet yang berbau demikian, tetapi kadang kala aku merasa ilmu tersebut hanya menambah beban pikiran dan tidak bermanfaat bagi kehidupanku. Apalagi telah banyak ilmu yang telah kupelajari sejak SD sampai kuliah, tetapi tidak semuanya bisa diterapkan dalam kehidupanku. Semakin banyak aku tahu semakin tahu aku bahwa aku tidak tahu apa-apa, tetapi keingintahuan itu hanyalah bentuk lain dari keinginan yang tidak pernah terpuaskan.

Dalam kehampaan ini aku tidak berani mengutarakannya kepada siapa pun. Pemikiranku mungkin akan terlalu dalam bagi mereka. Akan sangat melelahkan jika aku harus menjelaskan sesuatu yang di luar pemikiran orang-orang pada umumnya. Maka kuputuskan untuk menyimpannya sendiri dan menemukan jalan hidupku sendiri.

Semakin dalam aku merenung semakin jelas bahwa tujuan hidup yang kukejar bukan kebahagiaan karena semakin banyak aku mengejar kebahagiaan itu semakin banyak ketidakpuasaan yang kudapatkan. Ketenangan batinlah yang kudambakan dan kupikir, ini hanya bisa dicapai dengan berhenti mengejar tujuan hidup tersebut. Aku telah terlalu banyak berlari. Sudah saatnya aku beristirahat dan berjalan kembali setelah kepenatanku berlalu.

Bagi kebanyakan orang, hidup harus memiliki tujuan atau arah yang dikejar. Namun bagiku hidup tanpa tujuan lebih meringankan beban pikiranku, membuatku bebas seperti seorang musafir. Sang musafir akan tetap berjalan pada jalannya, tetapi ia tidak berkeharusan untuk sampai pada tujuan tertentu. Ia bebas sebebas burung di angkasa, melangkahkan kaki tanpa beban di dunia yang luas ini, menemukan banyak tempat dan orang-orang baru. Ribuan tahun yang lalu Lao Zi menulis dalam Dao De Jing: "Seorang pengelana yang baik tidak memiliki rencana yang tetap dan tidak bermaksud untuk tiba pada tujuannya."

Dan syair lagu Panbers berikut ini pun terngiang di kepalaku:

Tiada tujuan yang kau harap
Mata angin tak kau hiraukan
Ke barat kau melangkah
Ke timur juga kau tuju
Ke utara kau pergi
Ke selatan pun engkau berlari

Musafir, hidupmu bebas tiada ikatan.
Musafir, berkelana sepanjang waktu.
Musafir, apakah yang engkau cari?
Musafir, apakah arti hidupmu?

Tiada siang maupun malam
Kau pergi sekehendak hatimu

Namun ini bukan berarti aku tidak melakukan apa pun untuk kemajuan hidupku, melainkan aku harus menemukan panggilan hidupku. Jika aku menemukan panggilan hidupku dan melakukan semua rutinitas sehari-hari sesuai dengan panggilan hidup tersebut, itulah makna kehidupan sesungguhnya bagiku.

Aku teringat, dulu waktu kecil aku hobi menulis dan menuangkan semua pengalaman hidupku dalam kata-kata. Ini mungkin panggilan hidupku. Maka aku memutuskan untuk lebih rajin menulis di blog ini. Kuluangkan waktu di malam hari untuk menulis apa pun yang ingin kutuliskan. Namun aku tetap merasa ada panggilan hidup yang lebih besar dan mulia daripada sekedar menulis, tetapi untuk sementara aku akan terus menulis sampai kutemukan panggilan hidup yang lebih tinggi tersebut. Demikianlah aku memaknai hidupku saat ini.

Jambi, 27 Mei 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun