Senja di jalan raya kota kecil itu selalu menghadirkan cerita. Hari itu, Dimas memutuskan untuk mengantar Tiara pulang setelah mereka selesai dari rapat komunitas lingkungan. Tiara, gadis yang selalu ceria dengan lesung pipitnya, baru saja mulai dekat dengan Dimas. Perjalanan mereka biasanya penuh canda, namun sore itu keheningan lebih mendominasi.
Di tengah perjalanan, di jalan yang agak sepi, seekor kucing tiba-tiba melintas. Refleks, Dimas menginjak rem mendadak.
"Astaga, Mas Dimas! Apa-apaan sih?" Tiara terperanjat, tubuhnya terdorong sedikit ke depan meskipun sabuk pengaman menahannya.
"Maaf banget, Tiara! Tadi ada kucing lewat tiba-tiba."
Dimas melirik Tiara, merasa bersalah. Tiara menghela napas, kemudian tersenyum kecil. "Iya, aku lihat kok. Untung nggak nabrak."
Dimas menepikan mobil untuk memastikan kucing itu baik-baik saja. Saat ia menoleh ke arah Tiara, ia melihat gadis itu menatapnya dengan mata yang penuh kehangatan.
"Kenapa senyum-senyum?" tanya Dimas, mencoba mencairkan suasana.
"Aku cuma mikir," Tiara menjawab sambil tertawa pelan, "nggak semua orang bakal rem mendadak buat kucing. Kamu peduli banget, ya."
Dimas menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ya gimana, aku nggak tega kalau sampai ada yang terluka, entah itu manusia atau hewan."
Tiara terdiam sejenak, lalu berkata pelan, "Mas Dimas, kamu tahu nggak, kadang kita juga perlu berhenti mendadak di hidup ini. Mungkin karena hal-hal yang kita nggak duga. Tapi siapa tahu, justru dari situ kita belajar sesuatu atau menemukan sesuatu yang baru."
Dimas memandang Tiara, merasa kata-katanya seperti lebih dari sekadar pembicaraan tentang kucing tadi. Ada sesuatu yang ia rasakan, tapi ia memilih untuk tidak langsung mengungkapkannya.