Mohon tunggu...
Mr WinG
Mr WinG Mohon Tunggu... Freelancer - guru

bersepeda

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

P5RA MTsN 1 Bandar Lampung; Diskusi Demokrasi dan Isu Sosial

25 September 2024   14:01 Diperbarui: 25 September 2024   14:05 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada kegiatan P5RA MTsN 1 Bandar Lampung, siswa-siswi berpartisipasi dalam diskusi seputar isu-isu sosial yang terkait dengan demokrasi, hak asasi manusia, dan toleransi. Setiap siswa memilih topik yang menggambarkan berbagai bentuk pelanggaran demokrasi, isu HAM, hingga pluralisme, sebagai bagian dari upaya memahami konsep demokrasi yang sehat dan adil dalam kehidupan masyarakat.

Naswa Salsabila Azzahra  mengangkat tragedi Trisakti sebagai contoh pelanggaran HAM. Tragedi ini terjadi pada 12 Mei 1998 ketika mahasiswa Trisakti yang melakukan demonstrasi menuntut mundurnya Presiden Soeharto mengalami bentrokan dengan aparat keamanan. Aparat menggunakan peluru tajam dan karet, mengakibatkan kematian empat mahasiswa dan melukai puluhan lainnya. Naswa menyoroti bagaimana hak untuk berpendapat yang dijamin oleh demokrasi saat itu justru dilanggar dengan kekerasan.

Ragah Bintang Nawarsyah memilih topik toleransi dan pluralisme dengan kasus penyerangan Gereja St. Lidwina di Yogyakarta pada 2018. Serangan dilakukan oleh seorang pemuda yang membawa pedang, mengakibatkan umat dan Romo Edmund Prier SJ mengalami luka-luka. Ragah menjelaskan bahwa tindakan tersebut menunjukkan lemahnya pemahaman terhadap pluralisme dalam masyarakat Indonesia, di mana toleransi antarumat beragama menjadi tantangan dalam demokrasi.

Mutiara Kanaya membahas pelanggaran hukum terkait penunjukan kepala BIN daerah Sulawesi Tengah sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat. Dalam konteks demokrasi, tindakan ini mengundang kritik karena melibatkan perwira TNI/Polri aktif sebagai kepala daerah. Mutiara menggarisbawahi bahwa hal ini menimbulkan kekhawatiran publik mengenai integritas pemilu dan demokrasi di Indonesia.

Hanna Kamila Yudhanto mendiskusikan politik identitas dalam Pilgub Jakarta 2017. Kubu Anies Baswedan yang mengusung isu pemimpin muslim santun dianggap menggunakan politik identitas, sementara kubu Ahok terlibat dalam isu penistaan agama. Hanna menjelaskan bahwa politik identitas dapat memperburuk polarisasi dan mengancam pluralisme di tengah masyarakat yang beragam.

Khalyla Ahza memilih topik isu HAM dan anak perempuan. Ia mengulas isu pelanggaran hak asasi perempuan dan anak di Jawa Barat yang masih sangat dominan, khususnya terkait dengan tindak pidana perdagangan orang. Khalyla menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah daerah dan masyarakat untuk mencegah pelanggaran HAM terhadap kelompok rentan ini.

Naila Indira Tantri mengangkat kasus kebebasan berpendapat di media sosial, dengan menyoroti Bima Yudho Saputra, seorang tiktoker asal Lampung yang dikritik karena menyuarakan kekecewaannya terhadap pembangunan di Lampung. Kasus ini memperlihatkan tantangan dalam menjaga kebebasan berpendapat yang merupakan bagian fundamental dari demokrasi.

Aqiilah Nanda Zhafira membahas tentang kekerasan terhadap perempuan dan dampak pertambangan. Dalam penelitiannya, ia menyoroti bagaimana pemerintah dianggap mengabaikan dampak lingkungan dan sosial dari pertambangan, terutama yang berdampak pada perempuan dan kelompok minoritas.

Amelia Nur Hasanah  memilih topik motif politik di balik putusan MA terkait syarat usia calon kepala daerah. Amelia menjelaskan bagaimana putusan ini dipandang oleh sebagian kalangan sebagai strategi politik untuk mendukung pencalonan Kaesang Pangarep dalam Pilkada DKI Jakarta.

Azka Halisa Mumtaz  membahas masalah pemilu, termasuk intimidasi di TPS dan kesalahan surat suara. Azka menyebutkan bagaimana intimidasi dan kesalahan administratif dalam pemilu dapat merusak integritas demokrasi.

Cahaya Putra R. mengulas pelanggaran pemilihan umum terkait penggelembungan suara di luar negeri. Ia menyoroti kekhawatiran bahwa data pemilih ganda yang ditemukan di beberapa negara dapat memicu kecurangan pemilu.

Dzakiya Putri Neinda membahas  gugatan batas usia Cawapres menjadi 35 tahun, menyoroti potensi pengaruh politik dalam keputusan tersebut. Dzakiya menggambarkan bagaimana perubahan aturan ini mungkin menguntungkan generasi muda, namun juga menimbulkan pro-kontra.

Diskusi ini merupakan bagian dari upaya para siswa untuk memahami dinamika demokrasi di Indonesia, tantangan pelaksanaannya, serta pentingnya mempertahankan nilai-nilai HAM, kebebasan berpendapat, dan pluralisme dalam masyarakat yang demokratis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun