Senja itu, awan kelabu menggantung rendah di langit, seakan memanggil kenangan yang lama tersimpan. Di sebuah taman kota yang sepi, Yani duduk sendiri di bangku kayu tua yang sudah mulai rapuh dimakan waktu. Angin dingin musim semi menyusup ke sela-sela jaketnya, membuatnya merapatkan pakaian dan menyembunyikan tangannya yang gemetar di saku.
Di kejauhan, langkah kaki berat terdengar mendekat. Husen muncul, dengan jaket tebal dan wajah serius yang selalu menjadi ciri khasnya. Ia berhenti sejenak, memandang Yani yang masih terpaku pada langit yang suram.
"Duhai, perempuan! Aku masih memandangimu," suara Husen terdengar berat namun penuh kelembutan. Yani mengangkat pandangannya, menatap mata Husen yang penuh kehangatan. Husen duduk di sebelahnya, merasakan dingin yang sama namun berusaha memberikan kehangatan lewat genggaman tangannya.
"Sambil coba menerka takdir dari masing-masing kita," lanjut Husen, suaranya kini lebih pelan. Yani hanya tersenyum tipis, menundukkan kepala. Ia tahu, senja ini adalah saat untuk menghadapi kenyataan yang selama ini mereka hindari.
"Senja abu-abu itu di matamu, seperti mengulang-ulang sebuah episode musim dingin," bisik Yani, suaranya hampir tenggelam oleh angin yang berdesir lembut di antara pepohonan. "Menyanyikan sepi, lagi dan lagi."
Husen mengangguk, merasakan setiap kata yang diucapkan Yani. Senja ini memang terasa berbeda, seakan mengingatkan mereka pada masa-masa sulit yang pernah mereka lalui. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam hati Husen. Ia merasa lebih yakin, lebih pasti akan apa yang harus dilakukan.
"Hanya saja, di bulan kedelapan ini, aku punya banyak yakin tentang segalanya, entah mengapa," kata Husen dengan suara tegas. Yani menatapnya, mencari kejujuran dalam matanya yang penuh keyakinan.
"Apa yang membuatmu begitu yakin, Husen?" tanya Yani pelan, masih merasakan ragu yang menggantung di hatinya.
Husen menggenggam tangan Yani lebih erat, merasakan hangat yang menjalar dari ujung jarinya. "Karena aku tahu, apa pun yang terjadi, kita akan menghadapinya bersama. Senja abu-abu ini hanya sementara. Esok, matahari akan bersinar lagi, dan kita akan melangkah ke masa depan dengan keyakinan yang lebih kuat."
Yani tersenyum, kali ini dengan kehangatan yang tulus. Ia merasa beban yang selama ini menghimpit hatinya perlahan menghilang. Bersama Husen, ia siap menghadapi apa pun yang akan datang. Mereka duduk di sana, menikmati senja abu-abu yang perlahan berubah menjadi malam, dengan keyakinan baru dalam hati mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H