Mohon tunggu...
Mr WinG
Mr WinG Mohon Tunggu... Freelancer - guru

bersepeda

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Nasib Guru Lembaga Pendidikan Nonformal

18 Juli 2024   22:57 Diperbarui: 18 Juli 2024   23:10 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Di sebuah lembaga kursus bahasa Inggris yang terletak di kota kecil, di Jawa Barat, seorang guru bernama Yani mengabdikan dirinya selama bertahun-tahun. Yani dikenal sebagai guru yang berdedikasi dan penuh semangat. 

Ia selalu berusaha membuat pelajaran bahasa Inggris menjadi menarik dan mudah dipahami oleh para siswanya. Berbagai strategi pembejaran yang menarik senantiasa ia cobakan di kelas-kelasnya. Namun, beberapa bulan terakhir, Yani merasakan ada perubahan yang tidak menguntungkan bagi kursus tempatnya bekerja.

Jumlah siswa yang mendaftar dan menghadiri kelas di lembaga kursus tersebut semakin berkurang. Semula, kursus tersebut ramai oleh anak-anak sekolah yang belajar dari pukul 15:00 hingga 17:00 setelah pulang sekolah. 

Bahkan, pada hari Jumat dan Sabtu, jadwal kursus dimulai lebih awal, yaitu pukul 14:00 hingga 16:00 dan dilanjutkan pukul 16:00 hingga 18:00. Namun, situasi mulai berubah ketika sekolah-sekolah di kota tersebut memberlakukan jam belajar yang lebih panjang.

Sekolah yang sebelumnya selesai pada pukul 12:00 siang, kini menetapkan jam belajar hingga pukul 15:00. Hal ini membuat para siswa tidak lagi memiliki waktu untuk beristirahat dan mengikuti kursus di sore hari. Waktu mereka habis di sekolah, dan ketika pulang, mereka sudah terlalu lelah untuk mengikuti kelas tambahan. Kelas-kelas yang biasanya penuh dengan keceriaan kini sering kosong. Yani mulai merasa khawatir dan bertanya-tanya apa yang terjadi. 

Yani merasa sedih melihat satu per satu siswanya mengundurkan diri dari kursus atau tidak melanjutkan belajar saat menyelesaikan satu level. Lambat laun siswa tinggal sedikit, bahkan habis. Ia mencoba untuk bertahan, mengajar kelas dengan siswa yang tersisa, namun situasi semakin memburuk. Hingga akhirnya, jumlah siswa yang mendaftar di kelas Yani tidak mencukupi untuk membuka kelas baru. 

Singkat kata Yani tidak lagi mengajar. Adakah diantara pembaca budiman yang mengalami nasib seperti Yani? Apa yang anda lalukan? Apakah menjadi guru honor di Lembaga Formal (Sekolah) merupakan pilihan yang menjanjikan?

Apa yang  harus dilakukan supaya lembaga pendidikan non formal tetap bertahan?   

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun