Di tengah kesunyian malam kota Solo, Rahayu duduk di teras rumahnya yang sederhana, merenung dalam keheningan malam. Cahaya remang-remang lampu jalan menyinari wajahnya yang penuh pikiran. Dia adalah seorang guru yang tekun, sering kali menyalurkan perasaannya melalui puisi-puisi yang indah.
Tidak jauh dari sana, di sebuah apartemen kecil, Mydearly, seorang seniman muda yang penuh semangat, juga tengah menghadapi pertarungan batin yang berat. Dalam sunyi yang hanya dipecah oleh musik lembut, dia menulis puisi-puisi gelap yang mencerminkan pertanyaan-pertanyaan dalam dirinya sendiri.
Suatu malam, ketika Rahayu melihat unggahan Mydearly di media sosial, dia merasakan getaran yang tidak biasa. Puisi-puisi Mydearly penuh dengan rintihan dan kegelapan, sungguh kontras dengan keceriaan yang biasa terpancar dari seniman muda itu di masa lalu. Rahayu merasa terpanggil untuk berbagi kehangatan dan pencerahan kepada Mydearly.
"Mungkin Mydearly butuh seseorang untuk mendengarkan," pikir Rahayu dalam hatinya. Tanpa ragu, dia mengirimkan pesan singkat, menawarkan diri untuk mendengarkan dan menyediakan tempat untuk berbagi.
Pertemuan mereka berlangsung di sebuah kafe kecil di pusat kota. Mydearly tiba dengan pandangan yang sedikit muram, tetapi senyum bersahabat Rahayu mampu menerobos dinding-dinding yang dibangun di sekitar hatinya.
"Iiih....ngeriii, Apa yang sebenarnya sedang terjadi, Mydearly?" tanya Rahayu dengan penuh kebaikan hati, mencoba mencairkan keheningan yang menggelayuti mereka.
Mydearly tersenyum getir, membiarkan air mata jatuh. "Banyak hal, Rahayu. Banyak hal yang membuatku merasa tercekik oleh dunia ini," ujarnya pelan.
Rahayu mengangguk paham, lalu menyodorkan buku kecil berisi puisi-puisi yang pernah dia tulis. "Aku juga sering merasa seperti itu, Mydearly. Tapi puisi-puisiku adalah cara ku untuk menyalurkan semua perasaan itu. Mungkin kamu bisa mencoba juga."
Mydearly mengambil buku itu dengan ragu, tetapi ketika dia membaca baris-baris kata, dia merasakan sesuatu yang aneh. Ada kedamaian dalam kata-kata Rahayu, meskipun menggambarkan kegelapan. Dia merasa terhubung dengan perasaan yang sama, meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda.
"Tak ada penderitaan yang tak berakhir, Mydearly," ucap Rahayu dengan lembut, mengutip kata-kata dari surah yang mereka bicarakan. "Tak ada luka yang tak bisa sembuh. Kita hanya perlu bersabar."
Mydearly menatap Rahayu dengan penuh kekaguman. "Maafkan saya jika aku terlalu tertutup," katanya ragu. "Aku selalu berpikir bahwa penulis harus jujur dalam mengekspresikan perasaannya. Tapi mungkin aku memang terlalu pesimis."