(The Photograph taken from www.deviantart.com) Oleh: Yandi Hermawandi (Genre: Bisnis dan Politik). Berita terakhir yang penulis ikuti mengenai International Monetary Fund (IMF) adalah mengenai "rencana Indonesia memberikan bantuan kepada IMF." Berita itu sekilas sepertinya ada kesalahan, karena harusnya berita itu berbunyi "IMF berencana memberikan bantuan kepada Indonesia". Berita itu muncul pada pertengahan Juli 2012 lalu. Berita itu memunculkan beragam komentar dari dalam negeri, tidak terkecuali dari Tokoh Nasional, Jusuf Kalla. Ketika itu Kalla setuju dengan rencana pemerintah Indonesia untuk memberikan pinjaman sebesar 1 miliar dolar AS kepada IMF. Menurut Kalla, jika Indonesia bisa memberikan pinjaman kepada IMF, maka hal itu akan menunjukan citra yang baik bagi Indonesia di panggung internasional. Dengan memberikan pinjaman kepada IMF, Indonesia akan memiliki citra sebagai negara yang ikut membantu dan berperan dalam memperbaiki dan memulihkan perekonomian global. Tulisan ini tidak akan membahas mengenai perdebatan penting atau tidaknya Indonesia memberikan pinjaman kepada IMF tersebut lebih jauh. Tulisan ini akan membahas sejarah keberadaan IMF di Indonesia pada masa Orde Lama. Tujuan tulisan ini, paling tidak, bisa dijadikan perspektif dalam menilai apakah pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan SBY-Boediono saat ini masih perlu berhubungan dengan institusi dana moneter internasional tersebut atau tidak. IMF Pada Masa Soekarno Pada masa Orde Lama, International Monetary Fund (IMF) sudah mulai memiliki peran signifikan di Indonesia. Meskipun Pemerintah Orde Lama di bawah kepemimpinan presiden Soekarno ini tidak pernah menjadi anggota IMF. Keanggotaan Indonesia di IMF hanya merupakan proses secara tidak langsung dari keanggotaan Indonesia di Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak 28 September 1950. Ketika itu, negara yang menjadi anggota PBB secara otomatis akan mendapatkan keanggotan di IMF dan Bank Dunia. Kenggotaan Indonesia di PBB sendiri merupakan hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949-1950, dimana kemerdekaan Indonesia diakui untuk pertama kalinya oleh pemerintah kolonial Belanda. Pengakuan kemerdekaan Indonesia ini didapat setelah pemerintah Indonesia mau menanggung beban utang luar negeri yang dibuat oleh Hindia Belanda. Praktis sejak tahun 1950, pemerintah Indonesia serta merta memiliki utang yang terdiri dari utang luar negeri warisan Hindia Belanda senilai 4 miliar dollar AS dan utang luar negeri baru senilai 3,8 miliar dollar AS.[1] Seiring terjadinya Perang Dingin antara dua blok kekuatan ekonomi dan politik internasional, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet, Presiden Soekarno sebagai penggagas utama bersama pemimpin negara-negara bekas jajahan lainnya mendirikan Gerakan Non Blok (Non Alignment Movement) pada 16 September 1961. Gerakan ini kemudian menjadi kekuatan politik tersendiri di antara dua blok besar AS dan Uni Soviet, dan menyatakan sikap netralitas atas kedua tersebut.[2] Peran Indonesia dengan Gerakan Non Blok yang berada di tengah dua blok besar itu membuat AS berkeinginan untuk mendekati Indonesia melalui IMF. AS menggunakan IMF sebagai alat untuk melobi Indonesia agar bisa bergabung dengan kekuatan blok AS. Dengan alasan politis seperti itu, AS yang melihat buruknya performa ekonomi Indonesia ketika itu sejak kemerdekaannya pada 1945 dengan terus melakukan lobi kepada pemerintah Indonesia melalui sejumlah bantuan atau utang luar negeri. Potret buram performa ekonomi Indonesia tergambar dalam tabel 6 yang menunjukan Produk Domestik Bruto (PDB) antara 1958 sampai 1965 hanya meningkat rata-rata 1,4 persen per tahun. Lebih parahnya lagi, dalam tahun 1960 dan 1963 pertumbuhan rata-rata jatuh di bawah nol persen.[3]
Tabel 2.2.
Produk Domestik Bruto Indonesia 1958-1966
(miliar rupiah dengan harga konstan 1960)[4]
Tahun Rupiah Tingkat Pertumbuhan 1958 389,6 - 1959 391,4 0,4% 1960 390,2 -0,3% 1961 412,6 5,7% 1962 420,2 1,8% 1963 410,8 -2,2% 1964 425,3 3,5% 1965 429,9 0,9% 1966 441,9 2,9% Pada 1962, IMF mengirimkan delegasinya ke Indonesia untuk menawarkan proposal bantuan finansial dan kerjasama. Pemerintah Indonesia ketika itu menyetujui proposal program stabilitasi IMF, kemudian AS menyediakan utang sebesar 17 juta dollar AS.[5] Pada Mei 1963, Pemerintah bersama tim dari IMF menyusun program stabilitas ekonomi dan lalu diikuti dengan Deklarasi Ekonomi (Dekon) oleh Presiden Soekarno dengan tujuan untuk membangun kembali ekonomi Indonesia dengan jalan kapitalis-liberal.[6] Sayangnya, perhatian presiden Soekarno terhadap pemulihan keadaan ekonomi tidak sampai pada kenyataan ketika Pemerintah Inggris menyatakan bahwa Malaysia merupakan bagian federasi Inggris pada September 1963, Presiden Soekarno menilai bahwa tindakan pemerintah Inggris telah mengganggu stabilitas kawasan Asia Tenggara. Soekarno juga memandang bahwa tindakan pemerintah Inggris merupakan reaksi dari kebijakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, termasuk perusahaan Inggris, yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sejak akhir tahun 1950-an.[7] Soekarno kemudian memperjuangkan agar Malaysia tidak diakui oleh PBB. Sayangnya, PBB justru mengakui eksistensi negara Malaysia dan menjadikannya sebagai salah satu anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Pada 7 Januari 1965, Indonesia menyatakan menarik diri dari keanggotaan PBB karena ketidakpuasan Soekarno atas keputusan PBB mengenai Malaysia tersebut. Sejak adanya pengakuan Inggris terhadap kemerdekaan Malaysia pada 1963, hubungan Indonesia dengan Barat (AS dan Inggris) mengalami ketegangan. Pada 1964, Soekarno mulai melirik kerjasama dengan seteru aliansi Barat, yaitu Uni Soviet dan China. Soekarno bersama menlu Dr. Soebandiro kemudian lebih memilih China ketimbang Uni Soviet dan menjajaki aliansi baru dengan membuat poros Jakarta-Peking-Phom Penh-Pyongyang (Indonesia-China-Vietnam-Korea Utara).[8] Aliansi ini pada intinya mendukung Indonesia dalam melakukan "Ganyang Malaysia". Aliansi inipun secara formal diinformasikan ke Washington oleh menlu Soebandrio. Selain melakukan aliansi strategis dengan China, yang merupakan seteru AS dalam perang dingin, Soekarno juga terus menjalankan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Inggris. AS yang menjadi mitra strategis Inggris tidak tinggal diam. AS kemudian mengaitkan pencairan pinjaman berikutnya dengan tuntutan agar Indonesia segera mengakhir konfrontasi dengan Inggris dan Malaysia. Ditengah-tengah maraknya demonstrasi menentang pelaksanaan program stabilisasi IMF di tanah air, campur tangan AS ditanggapi Soekarno dengan mengecam utang luar negeri dan AS.[9] Puncaknya, Soekarno memutuskan untuk menasionalisasi beberapa perusahaan AS yang beroperasi di Indonesia (kecuali perusahaan minyak). Dengan semangat Soekarno menyampaikan kemarahannya kepada AS melalui ungkapan yang terkenal dalam sebuah pidato, "go to hell with your aid", dan menjadi akhir dari kerjasama Indonesia dengan IMF (termasuk dengan Bank Dunia).[10] [1] David Ransom, Mafia Barkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia, (Jakarta: Penerbit KAU, 2006), hal. 3 [2] "Mengulas Jejak IMF di Indonesia, Intervensi tanpa Henti", diakses dari website Koalisi Anti Uang http://kau.or.id/content/view/48/2/, pada 2 Januari 2012 [3] Mohtar Mas'oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, LP3ES, Jakarta, 1989, hal. 48 [4] Ibid., hal. 221 [5] "Mengulas Jejak IMF di Indonesia, Intervensi tanpa Henti", Loc. Cit [6] Mohtar Mas'oed, Op. Cit., hal. 46 [7]."Mengulas Jejak IMF di Indonesia, Intervensi tanpa Henti", Loc. Cit. [8] Victor M. Fic, Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Studi Tentang Konspirasi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hal. 91-97 [9] Revrisond Baswir, Utang Luar Negeri dan Neokolonialisme Indonesia, Makalah, 26 Maret 2006, diakses dari http://khilafah1924.org/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=196, pada 11 Januari 2012, pk. 20.44 WIB. [10] "Mengulas Jejak IMF di Indonesia, Intervensi tanpa Henti", Loc. Cit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H