Mohon tunggu...
Muhammad Quranul Kariem
Muhammad Quranul Kariem Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Indo Global Mandiri

Dosen | Penulis, Pengamat, dan Analis Politik & Pemerintahan | Koordinator Politics and Public Policy Institute | Alumni Program Magister, Jusuf Kalla School of Government

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hubungan "Patronage Client" Pejabat Politik dan Masyarakat di Sumatera Selatan

8 Juli 2019   15:03 Diperbarui: 8 Juli 2019   15:11 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pejabat politik merupakan individu yang berpengaruh dan mempunyai kuasa baik dalam bidang sumber daya dan anggaran. Pejabat politik terpilih melalui kontestasi pemilu/pilkada oleh masyarakat. Namun, menjadi peserta kontestasi politik dan kampanye, cenderung membutuhkan biaya yang sangat tinggi (high cost politics). Hanya para pemilik modal dan penguasan 'resources' yang bisa 'membayar' kebutuhan-kebutuhan politik tersebut.

Hal itu menciptakan fungsi demokrasi sebagai 'tulang punggung' kedaulatan rakyat menjadi tidak dapat tercapai. Demokrasi sejatinya merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pada praktiknya, demokrasi adalah kekuasaan para pemodal untuk membeli suara rakyat. Kontestasi politik yang berbiaya tinggi menjadi 'borok' dalam pelaksanaan demokrasi berdasarkan kedaulatan rakyat.

Politisi yang memenangkan kontetasi pemilu/pilkada berubah menjadi pejabat politik yang berorientasi dilayani. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kultur feodalisme yang melekat kuat dalam diri penguasa dan masyarakat. Sejarah feodalisme, kekuasaan monarki pada raja-raja di masa lalu menciptakan nuansa feodalisme dirasa begitu menjadi hal yang wajar bagi kehidupan masyarakat. Penguasa yang senantiasa ditakuti, dilayani, dan dibiayai oleh masyarakat menjadi paradigma yang tidak tepat dalam demokrasi.

Demokrasi sesungguhnya dapat menggeser paradigma-paradigma tersebut, dan mampu menempatkan kedaulatan rakyat pada posisi yang seharusnya. Kedaulatan rakyat harusnya dimurnikan dari pengaruh penguasa yang tidak berorientasi pada kehidupan demokrasi yang sesungguhnya. Hubungan yang tidak setara antara penguasa politik dan masyarakat disebut dengan istilah 'patronage client'

Hubungan yang tidak setara ini akan menciptakan bahwa kekuasaan yang sedang dikelola oleh pejabat politik digunakan secara sewenang-wenang dan tidak berorientasi kepada kebutuhan rakyat yang sesungguhnya. Nuansa politik di Sumatera Selatan mayoritas dikuasi oleh pemodal dan mempunyai kecenderungan terdapat pembangunan dinasti politik di dalam eksekutif maupun legislatif. Hal ini bukan tidak berdasar, namun didasarkan pada proporsi tempat eksekutif dan legislatif yang diisi oleh beberapa aktor-aktor politik yang kriterianya secara telah disebutkan diatas.

Kultur Patronage Client dapat ditemukan secara tidak langsung dalam beberapa surat-surat kabar baik cetak ataupun elektronik yang cukup tendensius dalam hal memberitakan gerak-gerik pejabat politik. Sebuah kritik menjadi hal yang tabu dalam kerja para pejabat politik yang sedang berkuasa. 

Kebijakan-kebijakan yang hanya mengutungkan beberapa pihak, dan tidak berfokus pada orientasi pembangunan masyarakat. Sebagai contoh adalah infrastruktur jalan-jalan di Sumatera Selatan yang kondisinya mayoritas masih sangat buruk. Padahal anggaran yang dimiliki pemerintah provinsi/kab/kota cukup besar. Pemeliharaan sarana dan prasarana yang ada juga cukup kurang karena orientasi pembangunan yang lemah. Tidak hanya itu, pembangunan sosial masyarakat juga menjadi persoalan yang upaya penyelesaiannya masih lemah.

Tata kelola pemerintahan, baik dalam hubungan eksekutif dan legislatif harusnya benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan proses demokrasi. Artinya bahwa pemerintah harus banyak melibatkan masyarakat dan berbagai sektor dalam melaksanakan pembangunan. Pejabat politik harus mampu menjadikan mesin birokrasi sebagai katalisator untuk menggerakkan elemen masyarakat.

Artinya bahwa pemerintah cukup menjadi regulator dan budget sharing dalam upaya melakukan pembangunan di berbagai bidang. 'Exclusivisme' pejabat politik menjadi persoalan yang harus pertama kali diuraikan untuk memperbaiki kualitas demokrasi dan hubungan dengan masyarakat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi.  Masyarakat harus mendapatkan seluruh sumber daya yang ada, dan pejabat politik harus merubah mindset bahwa mereka merupakan pelayan publik, bukan penguasa publik.

Penulis: M. Qur'anul Kariem, S.IP., M.I.P. (Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Indo Global Mandiri)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun