Beberapa waktu yang lalu, Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla secara tidak langsung memberikan kritik terhadap pembangunan Light Rail Transit (LRT) Palembang di Sumatera Selatan. LRT Palembang dianggap tidak efisien secara ekonomi, karena tidak langsung memberikan dampak. Kritik itu sesungguhnya dapat dikaji ulang dengan kacamata kebijakan publik yang lebih mendalam.
LRT adalah moda transportasi masa depan, dimana negara -- negara maju cenderung telah memilikinya sesuai dengan pemanfaatannya masing-masing. Palembang adalah salah satu kota diluar jawa yang beruntung, dimana proyek infrastruktur ini menggunakan biaya dari APBN langsung yaitu Rp. 10,9 Triliun (detik.com, 2018). JK menyinggung bahwa user LRT Palembang hanya 'turis lokal' yang hanya ingin mencoba menaiki LRT.
LRT memang merupakan proyek infrastruktur yang sangat mahal, namun sesungguhnya hal tersebut dapat menjadi refleksi untuk menproyeksikan politik pembangunan yang lebih baik. Palembang adalah salah satu kota strategis di luar jawa yang memiliki beberapa venue olahraga internasional pasca perhelatan Asian Games 2018. Pemerintah tidak boleh hanya memandang pembangunan di pulau jawa semata, namun harus melakukan politik desentralisasi pembangunan keluar jawa, untuk menciptakan sumber -- sumber perekonomian baru dan bahkan juga pusat pembangunan manusia.
Palembang atau bahkan Sumatera Selatan memiliki berbagai potensi yang sangat baik untuk menjadi daerah maju yang strategis di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kebijakan pembangunan memang harus diproyeksikan untuk jangka panjang, terlebih pemerintah juga masih mempunyai peranan penting untuk bersinergi dengan pemerintah daerah dalam menciptakan pemanfaatan infrastruktur tersebut agar dapat lebih maksimal. Secara de facto, LRT telah dibangun, maka dari itu seyogyanya pemerintah tidak menyalahkan apa yang telah ada, namun dapat merancang kebijakan -- kebijakan strategis pemanfaatan sarana dan prasarana tersebut.
Menurut Bromley dikutip dari Mulyadi (2016:39-41), terdapat tiga hierarki kebijakan publik yaitu Policy Level, Organizational Level, dan Operational Level. Ketika kebijakan publik sudah ada pada tataran Operational Level, maka pola interasi antara pelaksana di tingkat paling bawah (street level burecucrat) dengan kelompok sasaran dapat menunjukkan pola pelaksanaan kebijakan yang dapat menentukan dampak dari kebijakan tersebut. Namun, dampak tersebut baru dapat dinilai (assessment) dengan kurun waktu tertentu, agar dapat menjadi umpan balik (feedback) untuk digunakan sebagai perbaikan atau peningkatan kebijakan.
Berpijak pada teori Bromley tersebut, pembangunan LRT di Palembang (Sumatera Selatan) tidak dapat begitu saja di judgement secara subjektif sebagai pembangunan yang tidak bermafaat hanya beberapa bulan pasca kegiatan operasinya. Proses penilaian tersebut setidaknya harus dikaji secara imiah, dengan memberi jangka waktu yang relevan. Palembang dan Sumatera Selatan pada umumnya bisa menjadi daerah pembangunan manusia dan ekonomi yang dapat diandalkan secara nasional, dengan memberikan alternative untuk menunjang kebijakan tersebut.
Infrastruktur yang mampu dikomparasikan dengan kebijakan pemerintah yang tepat dapat menarik investasi baik dari dalam maupun luar negeri, menjadikan pusat aktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang menciptakan banyak peluang kerja, meningkatnya kesejahteraan masyarakat dengan merata, sehingga menarik minat masyarakat luar Sumatera Selatan (terutama di pulau jawa) untuk melakukan transmigrasi secara alami dalam rangka menciptakan pemerataan penduduk. Oleh karena itu, Sumatera Selatan harus optimis serta mampu menunjukkan kepada pemerintah pusat, bahkan menjadi role model keberhasilan pembangunan daerah di luar jawa.
Penulis:
Muhammad Qur'anul Kariem, S.IP., M.I.P
Dosen Ilmu Pemerintahan
Universitas Indo Global Mandiri Palembang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H