Mohon tunggu...
Muhammad Quranul Kariem
Muhammad Quranul Kariem Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Indo Global Mandiri

Dosen | Penulis, Pengamat, dan Analis Politik & Pemerintahan | Koordinator Politics and Public Policy Institute | Alumni Program Magister, Jusuf Kalla School of Government

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Reshufle ‘Ala’ Kompromi

3 Agustus 2016   21:19 Diperbarui: 3 Agustus 2016   21:35 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Presiden Joko Widodo mengumumkan perombakan kabinet yang kedua atau lazim disebut dengan reshuffle kabinet, pada 27 Juli 2016, di Istana Negara. Pembahasan dalam artikel ini bukan pada profil menteri – menteri yang masuk atau keluar dalam kabinet, namun dari sudut pandang kekuasaan politik presiden. Jelaslah bahwa di dalam Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 17 Ayat 2 menyatakan bahwa Menteri – Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, secara tidak langsung tersirat bahwa Presiden sebagai Kepala Pemerintahan mempunyai hak khusus untuk mengangkat dan memberhentikan menteri – menteri sesuai kehendaknya. Jelaslah, bahwa konstitusi (Undang – Undang Dasar 1945) memberikan kekuasaan yang sangat kuat bagi Presiden untuk menentukan siapa yang menjadi pembantu – pembantu nya dalam rangka mengemban amanah yang diberikan oleh rakyat. Namun, faktanya kekuatan (power) atau kewenangan (authority) yang diberikan oleh konstitusi secara tekstual tidak mampu ‘dikontekstualkan’ oleh Presiden Joko Widodo. Terdapat beberapa nama menteri yang mempunyai posisi ‘tawar’ yang kuat karena adanya ‘invisible hand’ atau dapat disebut ‘the second actor’ selain Presiden yang mampu mendapatkan aliran kekuasaan dari Pasal 17 Ayat 2 tersebut. Hal ini menjadi permasalahan penting, mengingat hal ini dapat berada dalam ranah pelanggaran konstitusi, walaupun mungkin termasuk dalam skala kecil. Dalam tatanan hukum, dapat diartikan dalam bahasa yang lebih sederhana, jikalau seseorang selain daripada Presiden yang dapat mempengaruhi atau mengatur mengenai pengangkatan dan pemberhentian menteri – menteri, itu merupakan potensi pelanggaran konstitusi, dan telah masuk wilayah hukum.

Sebenarnya sudah jelas, bahwa Presiden Joko Widodo dalam kampanye nya sewaktu Pemilihan Presiden 2014, menegaskan bahwa ia hanya akan tunduk dan patuh kepada konstitusi. Ketegasan Presiden hanya sebatas ‘gertak sambal’ semata, karena komposisi perubahan kabinet yang pertama dan kedua sebenarnya dapat dibaca, dibalik karena motif focus pada persoalan ekonomi dan kinerja, nuansa politik cenderung lebih kental di dalamnya. Rakyat yang semakin cerdas, dapat membaca bahwa ada sebuah kompromi yang menjadi topic yang lebih besar daripada persoalan kinerja. Memang, beberapa kementerian yang diresufle dapat dikatakan buruk kinerja nya dalam beberapa waktu terakhir, namun paket politik juga dicampuradukkan di dalamnya, sehingga seolah – olah resufle kali ini murni pertimbangan nya karena kinerja para menteri terkait. Ketika Sang Presiden beralasan mengenai pembentukan stabilitas politik, hal itu dapat dikatakan ‘konyol’ mengingat ia pernah berjanji bahwa kekuatan rakyat ada dibelakangnya, dengan landasan kontitusional yang ada pada Pasal 1 Ayat 2 Undang – Undang Dasar 1945, dimana kedaulatan berada di tangan rakyat, yang dijalankan berdasarkan Undang – Undang Dasar.

Akomodasi terhadap partai politik yang mulai mendukungnya tidak harus dengan memberikan slot atau posisi menteri kepada partai terkait, kerjasama tanpa syarat yang pernah diungkapkan Sang Presiden, sekarang sesungguhnya hanyalah omong kosong belaka, pada akhirnya rakyat hanya bisa melihat drama politik para elite untuk saling bertukar kepentingan dan berbagi kekuasaan. Stabilitas politik yang diidamkan sang presiden pasti hanya bersifat temporer (jangka pendek), karena pasti beberapa partai politik akan melakukan manuver satu hingga dua tahun kedepan, dan maneuver itu hal ilmiah dalam dunia politik. Di Era Presiden yang sebelumnya, stabilitas yang digantungkan pada sebuah ‘Koalisi Gemuk’ yang dimotori oleh Partai Demokrat, pada akhirnya tidak dapat menjamin terwujudnya stabilitas politik yang benar – benar nyata. Kesimpulannya, bahwa kekuasaan politik mutlak Presiden Republik Indonesia sebagai Kepala Pemerintahan dalam sistem presidensil multipartai ‘ekstrem’ pada hakekatnya hanyalah sebuah tulisan di atas kertas, dimana kekuasaan diatas kertas itu sama dengan janji Negara dalam konstitusi yang tertuang pada pasal 34 ayat 1, fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara, keduanya sama – sama hanya diatas kertas.

Reshufle ‘Ala’ Kompromi

Penulis : Muhammad Qur’anul Karim, S.IP.

Mahasiswa S2. Magister Ilmu Pemerintahan, UMY

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun