8 unit KRL INKA pengadaan 2001 bahkan pensiun dini pada tahun 2016 lalu, hanya 15 tahun setelah keluar dari pabrik. Padahal selama beroperasi pun tidak pernah beroperasi secara berat. Awalnya sebagai KRL ekspres, lalu kemudian sebagai KRL Lingkar Ciliwung. Sedangkan 40 unit pengadaan 2011 masih lebih beruntung, walau kini beroperasi di Yogyakarta bukan di Jakarta.
Di tahun 2020-2021, jumlah KRL yang beroperasi sempat menyentuh hampir 1.200 unit. Jumlah ini merupakan jumlah tertinggi selama dua dekade lamanya. Namun kemudian pandemi terjadi, dan jumlah itu berangsur-angsur berkurang hingga hanya 1.114 unit di hari ini. Jumlah ini bisa saja masih akan turun kembali jika tidak ada mitigasi, terlebih dengan pemberitaan bahwa terdapat 29 rangkaian yang akan pensiun sepanjang 2023-2024, dengan 9 rangkaian di antaranya bahkan telah tidak beroperasi sehingga hanya bersisa 20 rangkaian lagi yang akan pensiun.
Atas dasar tersebut, KAI Commuter berniat mengimpor 29 rangkaian KRL dalam keadaan bukan baru untuk keperluan tahun 2023-2024, yang kemudian terjegal oleh Kementerian Perindustrian walau sudah didukung Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan. Akibatnya, niat KAI Commuter ini menjadi polemik, dan berpotensi terjadi penurunan kualitas transportasi umum yang dapat mengakibatkan jalan raya semakin macet dan ekonomi terhenti.
Lewat rapat yang dipimpin oleh Kementeriaan Koordinator Maritim dan Investasi, muncul usulan retrofit sebagai opsi substitusi impor agar terdapat penyerapan tenaga kerja dan kandungan komponen lokal. Namun sayang, usulan ini sama sekali hanya melihat dari sisi "cinta produk lokal" yang kebablasan, tanpa memperhatikan faktor teknis maupun faktor demand dari pengguna KRL.
Seperti penulis pernah utarakan sebelumnya dalam kesempatan lain, 20 rangkaian KRL yang ada dalam armada KAI Commuter saat ini sudah berusia di atas 41 tahun. Bahkan, 11 rangkaian di antaranya usianya sudah di atas 50 tahun. Tidak mungkin jika pengusul retrofit tidak mengetahui data ini, namun usia KRL yang setua ini justru luput dan dianggap bahwa KRL bisa beroperasi hingga 60 bahkan 70 tahun lamanya.
Padahal, kereta setua itu tentu riskan untuk dioperasikan, dan ini kompromi terhadap keselamatan penumpang. Di tahun 2006 saja di Kebayoran pernah terjadi kejadian rangka kereta patah akibat padatnya pengguna kereta yang menaikinya, sedangkan usia kereta sudah cukup tua. Masih yakin mau retrofit? Atau pengusul retrofit ini sebenarnya tidak mengerti sama sekali terhadap hal-hal teknis di transportasi?
Soal masalah demand dari pengguna, pengguna KRL jelas tidak lagi menginginkan KRL dengan stamformasi (SF) 8 gerbong. Bahkan saat ini KRL SF10 itu sudah dianggap KRL dengan kapasitas terkecil yang cukup masuk akal untuk pengguna. Pengguna, di sisi lain, juga tidak mau jadwal KRL berkurang karena harus ada KRL yang pensiun. Selain itu, pengguna pun tidak peduli dari mana KRL pengganti akan dibeli. Pengguna tidak peduli TKDN atau semacamnya, hanya peduli KRL ada untuk mengantar mereka menggerakkan perekonomian negara.
Kini, polemik impor KRL memasuki babak baru di mana hasil review BPKP tidak merekomendasikan impor KRL bukan baru. Walaupun hasil review ini tidak langsung menentukan batal atau tidaknya impor KRL, namun harapan pengguna KRL yang sehari-hari mengalami chaos di KRL maupun di stasiun untuk KRL yang lebih baik seolah semakin tipis dan sirna.
Dalam hal ini, negara seperti masih belum hadir dan berpihak pada pengguna KRL, dan masih kontradiktif atas pernyataan jika pembangunan transportasi umum terlambat 30 tahun. Padahal pengguna KRL pada saat ini justru membutuhkan kehadiran negara sebagai juru selamat mereka. Setidaknya agar keadaan berkomuter dengan KRL yang sudah buruk tidak semakin memburuk dan semakin chaos.
Seperti kata beberapa pengamat dan banyak pihak lain, semestinya hal seperti impor KRL ini tidak perlu sampai berpolemik dan tidak perlu mengedepankan ego sektoral. Terlebih karena ini merupakan hajat rakyat banyak, kepentingan publik. Lagipula, KAI Commuter sendiri juga sudah berkomitmen untuk memesan KRL baru dari INKA yang akan dipenuhi pada 2025 mendatang. Komitmen ini sudah ada sejak 2019, walaupun harus ditunda dulu pada 2020 dan 2021 akibat pandemi "menampar" seluruh sektor perekonomian sehingga seolah "menghentikan perputaran dunia".