Mohon tunggu...
Eky
Eky Mohon Tunggu... -

Ingin Bermanfaat bagi Ummat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kurban; Antara Cinta dan Pengabdian

2 September 2017   13:44 Diperbarui: 2 September 2017   13:56 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap tanggal 10 Dzulhijjah, semua umat muslim di dunia merayakan hari Idul Adha atau juga disebut Hari Raya Kurban, di mana pada hari tersebut umat muslim disunahkan untuk menyembelihkan hewan seperti kambing, domba, kerbau, maupun sapi. Kegiatan ini dilaksanakan hampir semua umat muslim tiap tahunnya.

Sebagian orang ada yang memaknai ini sebagai rutinitas tahunan belaka, dan ada juga yang benar memahami maksud dan tujuan dari Hari Raya Kurban. Semua bisa dilihat dari berbagai sudut pandang masing-masing.

Penulis tidak mau terjerumus kepada pembahasan seremonial atau kesakralan hari raya tersebut yaitu dengan memahami kurban sebagai upacara penyembelihan hewan kemudian dilanjutkan dengan membagikan daging hewan kepada orang-orang yang tidak beruang alias miskin, namun kita perlu memahami dari sudut yang lebih sempit tentang keberadaan hubungan secara vertikal yaitu dengan Tuhan dan horizontal yaitu antar sesama.

Ibrahim dan anaknya Ismail

Orang-orang orientalis mengatakan Hari Raya Kurban meniru dari kelaziman orang-orang masa Ibrahim di mana mereka menyembelih binatang sebagai alat persembahan kepada Tuhan demi terhindarnya malapetaka pada diri dan keluarganya. Dan Nabi Ibrahim salah satu korban dari kebiasaan masyarakat pada waktu itu.

Namun dari umat muslim sendiri bertolak belakang dengan tesis yang diajukan kelompok orientalis. Umat muslim memaknai Hari Raya Kurban untuk mengenang bagaimana perjuangan Nabi Ibrahim dalam menghadapi ujian dari Tuhan dan bagaimana cara Nabi Ibrahim melewati tantangan tersebut sebagai bentuk ketaatannya kepada Tuhan.

Sejarah singkat Hari Raya Kurban dimulai dengan penantian Nabi Ibrahim yang menginginkan seorang anak. Banyak para ulama menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim sampai usia 86 tahun ia belum dikarunia seorang anak. Nabi Ibrahim selalu berdoa kepada Tuhan untuk dianugerahi seorang anak yang sholeh sebagaimana termaktub dalam al-Quran surah 37 ayat 100.

Menurut para ahli sejarah setelah usia Ibrahim 86 tahun ia diberi kabar gembira dengan lahir seorang anak dari istrinya yang bernama Siti Hajar kemudian anak tersebut ia beri nama Ismail yang berarti "Allah telah mendengar" permintaan yang telah ia nanti-nantikan dengan penuh kesabaran.

Nabi Ibrahim sangat bahagia sekali dengan kelahiran anaknya dan ia sangat mencintai Ismail dengan  kecintaan yang luar biasa. Kebahagiaan Nabi Ibrahim tidak begitu lama, ketika Ismail memasuki usia delapan tahun, Tuhan mewahyukan Nabi Ibrahim untuk menyembelihkan anak tercintanya yang selama ini dinanti-nantikan dengan sabar akan kelahirannya. Perintah Tuhan tersebut membuat Nabi Ibrahim gegana (gelisah galau merana) karena keimanan seorang Nabi Ibrahim sedang diuji. Nabi Ibrahim harus memilih antara cinta dan pengabdian, apakah kecintaannya kepada Ismail harus dilepaskan demi pengabdian atau mengutamakan pengabdian kepada Tuhan dengan mengorban cintanya kepada Ibrahim. Ini merupakan pilihan yang sulit bagi Nabi Ibrahim.

Muncullah perasaan ragu-ragu Ibrahim terhadap perintah Tuhan tersebut atau disebut dengan istilah tarwiyah(merenung dengan keragu-raguan). Ibrahim adalah kekasih Tuhan yang pada akhirnya ia meyakini bahwa itu benar-benar perintah Tuhan dan ia harus melaksanakan perintah tersebut meskipun mengorbankan perasaan cinta yang begitu besar kepada Ismail.

Setelah didiskusikan dengan Ismail akan wahyu Tuhan tersebut maka Ismail meng-iyakan untuk disembelihkan oleh ayah kandungnya sendiri. Namun ketaatan Nabi Ibrahim dan Ismail yang begitu besar kepada Tuhan, pada akhirnya Tuhan mengutus malaikat Jibril untuk menggantikan Ismail dengan seekor kibas untuk disembelihkan.

Pelajaran yang Bijaksana

Memaknai hari raya kurban bukan hanya sekedar aktivitas menyembelihkan hewan semata kemudian dibagikan kepada orang-orang fakir dan miskin. Namun kita perlu memaknai hal-hal kecil dibalik proses seremonial tersebut. Dari sepenggal kisah Nabi Ibrahim dan Ismail di atas, kita mengambil beberapa pelajaran yang bijaksana.

Pertama, bahwa setiap kehidupan manusia akan selalu diuji dengan dua hal yaitu cinta dan pengabdian. Setiap orang akan memiliki cinta baik cinta yang positif maupun cinta yang negatif, begitu pula dengan sebuah pengabdian. Pengabdian seorang karyawan akan selalu diuji loyalitasnya kepada tuannya, begitu pula pengabdian seorang hamba akan selalu diuji kepatuhan dan ketaatannya.

Banyak orang mengatakan bahwa "cinta butuh pengorbanan". Itulah yang terjadi pada kisah Nabi Ibrahim bahwa cintanya kepada Ismail yang begitu tinggi harus dikorbankan demi kepatuhan. Begitu juga dengan pengabdian, harus ada yang dikorbankan demi menunjukkan sebuah kesetiaan seperti yang terjadi pada Nabi Ibrahim.

Selain itu, kesabaran merupakan kunci terbesar demi terlaksananya sebuah cinta dan pengabdian. Nabi Ibrahim memiliki dua fase kesabaran yang begitu hebat. Pertama, sabar menantikan kelahiran seorang anak dengan waktu yang begitu lama dan berpuluhan tahun. Kedua, sabar ketika anak yang telah dinanti-nantikan harus disembelih demi mengabdikan diri kepada Tuhan. Kesabaran-kesabaran seperti ini patut dicontoh dan diterapkan untuk umat manusia sekarang ini, yang di mana para pemuda-pemuda milenial penuh dengan pragmatisme dalam kehidupannya dan mudah tersulut dengan emosi.

Kedua, pelajaran yang perlu kita petik dari kisah Nabi Ibrahim dan Ismail yaitu perasaan yang selalu merasa untung atau bersyukur. Mengutip firman Tuhan dalam al-Qur'an surah 14 ayat 7 yang artinya "Sungguhjika kamu bersyukur, Kami pasti akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku maka sesungguhnya azab-Ku amat pedih" bahwa kenikmatan tertinggi seorang manusia adalah selalu bersyukur atas apa yang ia miliki sehingga yang demikian akan menjadi pintu keluar (solution) dari segala kesempitan dan kesulitan. Sebagaimana Nabi Ibrahim yang mengalami problematika yang begitu besar dan itu sangat sulit baginya yaitu menyembelih anak tercinta, dengan sendiri muncul sebuah jalan keluar dari permasalahannya yaitu dengan Tuhan mengganti Ismail dengan seekor kibas sebagai hewan sembelihan.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penulis ingin menyampaikan tentang kecintaan kepada Tuhan lebih diutamakan dari pada kecintaan sesama manusia baik istri dan anak, sebagaimana kaum sufi memaknai bahwa Tuhan cemburu karena Nabi Ibrahim sangat besar dalam mencintai anaknya, sehingga pesan yang ingin disampaikan jangan berlebihan dalam mencintai makhluk Tuhan. Selanjutnya bahwa cinta akan selalu diuji dengan kesabaran yang tiada batas, dan terakhir segala kesulitan dan kesempitan akan  ada penyelesaian yaitu dengan selalu bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan.

Semoga Idul Adha 1438 Hijriah ini akan menjadikan kita hamba yang penuh cinta terhadap Tuhan dan cinta terhadap sesama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun