Setiap tanggal 10 Dzulhijjah, semua umat muslim di dunia merayakan hari Idul Adha atau juga disebut Hari Raya Kurban, di mana pada hari tersebut umat muslim disunahkan untuk menyembelihkan hewan seperti kambing, domba, kerbau, maupun sapi. Kegiatan ini dilaksanakan hampir semua umat muslim tiap tahunnya.
Sebagian orang ada yang memaknai ini sebagai rutinitas tahunan belaka, dan ada juga yang benar memahami maksud dan tujuan dari Hari Raya Kurban. Semua bisa dilihat dari berbagai sudut pandang masing-masing.
Penulis tidak mau terjerumus kepada pembahasan seremonial atau kesakralan hari raya tersebut yaitu dengan memahami kurban sebagai upacara penyembelihan hewan kemudian dilanjutkan dengan membagikan daging hewan kepada orang-orang yang tidak beruang alias miskin, namun kita perlu memahami dari sudut yang lebih sempit tentang keberadaan hubungan secara vertikal yaitu dengan Tuhan dan horizontal yaitu antar sesama.
Ibrahim dan anaknya Ismail
Orang-orang orientalis mengatakan Hari Raya Kurban meniru dari kelaziman orang-orang masa Ibrahim di mana mereka menyembelih binatang sebagai alat persembahan kepada Tuhan demi terhindarnya malapetaka pada diri dan keluarganya. Dan Nabi Ibrahim salah satu korban dari kebiasaan masyarakat pada waktu itu.
Namun dari umat muslim sendiri bertolak belakang dengan tesis yang diajukan kelompok orientalis. Umat muslim memaknai Hari Raya Kurban untuk mengenang bagaimana perjuangan Nabi Ibrahim dalam menghadapi ujian dari Tuhan dan bagaimana cara Nabi Ibrahim melewati tantangan tersebut sebagai bentuk ketaatannya kepada Tuhan.
Sejarah singkat Hari Raya Kurban dimulai dengan penantian Nabi Ibrahim yang menginginkan seorang anak. Banyak para ulama menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim sampai usia 86 tahun ia belum dikarunia seorang anak. Nabi Ibrahim selalu berdoa kepada Tuhan untuk dianugerahi seorang anak yang sholeh sebagaimana termaktub dalam al-Quran surah 37 ayat 100.
Menurut para ahli sejarah setelah usia Ibrahim 86 tahun ia diberi kabar gembira dengan lahir seorang anak dari istrinya yang bernama Siti Hajar kemudian anak tersebut ia beri nama Ismail yang berarti "Allah telah mendengar" permintaan yang telah ia nanti-nantikan dengan penuh kesabaran.
Nabi Ibrahim sangat bahagia sekali dengan kelahiran anaknya dan ia sangat mencintai Ismail dengan  kecintaan yang luar biasa. Kebahagiaan Nabi Ibrahim tidak begitu lama, ketika Ismail memasuki usia delapan tahun, Tuhan mewahyukan Nabi Ibrahim untuk menyembelihkan anak tercintanya yang selama ini dinanti-nantikan dengan sabar akan kelahirannya. Perintah Tuhan tersebut membuat Nabi Ibrahim gegana (gelisah galau merana) karena keimanan seorang Nabi Ibrahim sedang diuji. Nabi Ibrahim harus memilih antara cinta dan pengabdian, apakah kecintaannya kepada Ismail harus dilepaskan demi pengabdian atau mengutamakan pengabdian kepada Tuhan dengan mengorban cintanya kepada Ibrahim. Ini merupakan pilihan yang sulit bagi Nabi Ibrahim.
Muncullah perasaan ragu-ragu Ibrahim terhadap perintah Tuhan tersebut atau disebut dengan istilah tarwiyah(merenung dengan keragu-raguan). Ibrahim adalah kekasih Tuhan yang pada akhirnya ia meyakini bahwa itu benar-benar perintah Tuhan dan ia harus melaksanakan perintah tersebut meskipun mengorbankan perasaan cinta yang begitu besar kepada Ismail.
Setelah didiskusikan dengan Ismail akan wahyu Tuhan tersebut maka Ismail meng-iyakan untuk disembelihkan oleh ayah kandungnya sendiri. Namun ketaatan Nabi Ibrahim dan Ismail yang begitu besar kepada Tuhan, pada akhirnya Tuhan mengutus malaikat Jibril untuk menggantikan Ismail dengan seekor kibas untuk disembelihkan.