“Sudah kuputuskan untuk mengirimkan surat pada Bunda, meskipun aku tak tahu dimana ia berada.” Ujar Kanaya pada dirinya sendiri. Ia bertekad untuk menyampaikan seluruh isi hatinya pada seorang ibu yang selama ini meninggalkannya begitu saja.
Bunda, yang entah berada di mana.
Bunda, masih ingatkah kau pada seorang anak yang dengan sepenuh hati kau benci? Masih ingatkah kau pada aku yang sepuluh tahun lalu kau lahirkan ke dunia yang katamu akan membenciku? Masih ingatkah kau padaku, yang sepuluh tahun lalu kau tinggalkan di depan pintu rumah asuh itu? Dan hingga kini tidak sekalipun kau datang untuk sekedar memberikan sebuah senyuman padaku. Aku rindu Bunda. Tapi dimana kini aku harus mencari bunda? Jangankan tempat tinggal Bunda, kabar tentang Bunda pun aku tak tahu.
Masih jelas tersimpan jelas dalam ingatanku kalimat-kalimat yang Bunda lontarkan padaku sebelum Bunda meninggalkanku di depan pintu rumah itu. “Kamu tahu mengapa aku selalu membencimu?” Tanya Bunda padaku waktu itu dengan nada galak seperti yang sudah terlalu sering aku dengar sejak aku masih kecil. Ketika itu aku hanya menggeleng takut-takut menjawab pertanyaan Bunda.
“Aku membencimu karena aku pernah melahirkanmu!” Sergah Bunda dengan penekanan di setiap kata yang Bunda ucapkan tepat di depan wajahku. Waktu itu aku tidak mengerti apa yang Bunda maksud. Namun aku selalu memikirkan kalimat itu hingga sekarang. Sekarang aku mulai bisa mencerna apa yang Bunda ucapkan padaku dulu. Aku mulai memahaminya.
Aku sungguh tidak menyangka bahwa Bunda membenciku karena Bunda pernah melahirkan aku. Begitu burukkah aku hingga Bunda harus membenciku seperti itu? Padahal yang aku tahu, begitu banyak bunda-bunda di luar sana yang menginginkan seorang anak tapi belum dikasih sama Allah. Mengapa Bunda sia-siakan aku begitu saja? Aku butuh Bunda. Aku ingin Bunda ada di sini sekarang.
Ibu Rasmi yang mengasuhku selama ini di panti asuhan pernah bercerita padaku bahwa rasanya melahirkan seorang anak itu begitu sakit. Melahirkan itu sama saja dengan berjuang diantara hidup dan mati. Benarkah seperti itu, Bunda? Karena hal itukah Bunda membenciku? Karena rasa sakit yang pernah Bunda derita ketika meahirkan aku kah bunda membenciku? Kalau memang benar begitu, maafkan aku karena pernah memberikan rasa sakit itu. Maafkan aku, Bunda.
Bunda, jika saja surat ini sampai di tangan Bunda. Aku hanya ingin Bunda tahu bahwa aku tidak pernah membenci Bunda walaupun sepuluh tahun sudah Bunda tinggalkan aku sendiri di sini. Aku tidak mengharapkan apapun dari Bunda kecuali satu impianku tercapai, yaitu cinta dari Bunda untukku. Izinkan aku sejenak merengkuh hatimu, Bunda. Terimakasih Bunda sudah memperjuangkan hidup Bunda demi melahirkan aku, walaupun pada akhirnya kau membenciku karena itu. Aku sayang Bunda selalu.
Yang menanti cintamu,
Kanaya.
Kanaya melipat surat kecilnya menjadi sebuah perahu kecil. Kemudian diletakkannya di atas air sungai yang mengalir tidak begitu deras, berharap air akan menyampaikan surat kecilnya pada seseorang yang sampai kini membencinya. Bundanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H