Ratapan empat belas September duaribu sebelas. Malam kamis yang mengharukan bagiku, terjadi sekitar pukul setengah Sembilan lewat duapuluh menit. Aku begitu menyesali setiap perbuatan yang telah aku lakukan. Sepi, sunyi, senyap mengiringi jejak jemariku menulis. Aku tak tahu apa yang kupikirkan, aku juga tak mau menyiksa ba’tin sebenarnya. Tapi, sesak yang kurasa tak mampu jua aku menahannya. Air mataku bercucuran bagai rintik hujan yang sedang turun dimalam ini;mengharukan sekali.
Segala bayangan tiba-tiba muncul. Bayangan bapak dan ibu, bayangan masa kecilku yang terdahulu, masa dikala aku berkumpul dengan sahabat-sahabatku, dan bayangan ketika banyak dosa telah aku lakukan dengan bangga;sungguh menyiksa. Inilah masa disaat aku menyendiri jauh dari orang-orang yang kucinta. Sedari tadi siang aku sudah mencoba menghubungi mereka sebenarnya, namun rasa rindu yang menggelora didada belum mampu jua berubah menjadi tawa.
Melamun dan merenung sudah menjadi kebiasaanku ketika hati ini terasa mendung. Secangkir minuman, sebatang rokok yang mengepul secara perlahan, dan duduk diteras depan sambil memperhatikan suasana malam seolah menjadi obat penawar demi mengurangi rasa bosan. Hmmm…, dan terkadang senyum penuh kebimbangan mengiringiku dalam kesendirian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H