Mohon tunggu...
Melli Permata
Melli Permata Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Lampung

Saat ini sedang menempuh pendidikan magister ilmu hukum di Universitas Lampung dengan konsentrasi minat hukum pidana.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

MA Cabut Pergub Lampung tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu: Kemenangan Lingkungan atau Hambatan Ekonomi?

13 Juni 2024   04:41 Diperbarui: 13 Juni 2024   05:13 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti memotong duri dari bunga, Pencabutan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu sebagaimana diubah dalam Peraturan Gubernur Nomor 19 Tahun 2023 oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 1P/HUM/2024, telah membuka jalan kemenangan lingkungan hidup sekaligus membawa serta potensi masalah pada sektor perekonomian.

Pencabutan Peraturan Gubernur (Pergub) Lampung ini diinisiasi oleh Pengawas Lingkungan Hidup Gakkum Kementrian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (KLHK) dan masyarakat sebagai Pemohon pada uji materiil ke Mahkamah Agung melawan Termohon yaitu Gubernur Provinsi Lampung untuk mencabut Pergub Lampung Nomor 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu yang dinilai melanggar komitmen dan usaha Indonesia mewujudkan politik lingkungan hidup di Indonesia.

Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 dan Kontroversinya

Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu secara sah diberlakukan mulai tanggal 18 Mei 2020 hingga akhirnya dicabut secara resmi oleh Mahkamah Agung pada tanggal 19 Maret 2024 melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 1P/HUM/2024.

Farid Wajdi, dalam bukunya yang berjudul "Hukum dan Kebijakan Publik", menyebutkan bahwa kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh pemerintah atau lembaga pemerintahan untuk mengatasi permasalahan tertentu, untuk melakukan kegiatan tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu yang berkenaan dengan kepentingan dan manfaat orang banyak. Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 sebagai aturan hukum daerah yang berisi kebijakan publik di Provinsi Lampung dalam formulasi pembuatannya juga membawa visi dan misi serta tujuan khusus yang mendasari pengesahannya.

Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah produsen penghasil tebu terbesar di Indonesia. Tanaman tebu memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian daerah, terutama dalam sektor pertanian dan industri gula lokal. Seperti pedang bermata dua, produksi tebu yang cukup besar di Provinsi Lampung juga membawa berbagai tantangan yang menghambat optimalisasi hasil panen dan produktivitas tanaman tebu. Berbagai permasalahan muncul seperti teknik budidaya daya dan panen yang masih tradisional hingga ketiadaan regulasi dan kebijakan tata kelola hasil panen dan produktivitas tebu yang mengakibatkan rendahnya produktivitas dan kualitas hasil panen yang kurang terarah. Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 disahkan untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut dengan tujuan utama untuk mempercepat terwujudnya swasembada gula sebagai komoditas bahan pangan strategis, bahan baku industri dan peningkatan produksi gula di Provinsi Lampung, serta memberikan regulasi atau aturan hukum yang komprehensif mengenai strategi peningkatan produksi dan produktivitas tanaman tebu.

Resmi disahkan pada tanggal tanggal 18 Mei 2020, Pergub Lampung tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat. Tanggapan pro dan kontra yang timbul di masyarakat pun beragam, dari sisi pro terhadap Pergub ini adalah apresiasi usaha pemerintah untuk memberikan regulasi dan kepastian hukum yang sah dalam kegiatan industrial gula tebu di Lampung. Di lain sisi, kontroversi pergub ini tidak kalah menggemparkan publik, seperti aturan kebijakan yang memperbolehkan teknik pembakaran pada saat panen tebu yang berujung pada isu dugaan "peraturan hukum pesanan" karena dinilai terdapat beberapa aturan yang sarat kepentingan dan menguntungkan pihak-pihak tertentu serta secara terang-terangan mengabaikan prinsip pembangunan berwawasan lingkungan.

Penegakan Hukum Progresif dan Komitmen Perlindungan Lingkungan Hidup Melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 1P/HUM/2024

Pasal 24A ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945 menyebutkan Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Ketentuan ini ditegaskan kembali dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sehingga langkah Mahkamah Agung dalam hal ini menerima, memproses dan memutuskan putusan terkait permohonan uji materiil oleh Pemohon (KLHK) dan Termohon (Gubernur Provinsi Lampung) terkait Pergub Lampung Nomor 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu telah sesuai dengan hukum positif Indonesia.

Dalam konteks dicabutnya Peraturan Gubernur Lampung tentang tata kelola hasil panen dan produktivitas tanaman tebu oleh Mahkamah Agung, landasan hukum putusan Mahkamah Agung ini ialah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menetapkan prinsip-prinsip perlindungan lingkungan hidup yang meliputi larangan terhadap praktik-praktik yang merusak lingkungan, seperti pembakaran lahan untuk teknik panen tanaman. Ketika Peraturan Gubernur Lampung mengizinkan metode panen tebu dengan cara dibakar, hal ini dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan lingkungan hidup yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menetapkan asas lex superiori derogat legi inferiori, yang berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang dibuat di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang atau aturan hukum di atasnya. Karena Peraturan Gubernur Lampung tersebut bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Mahkamah Agung memutuskan untuk mencabutnya.

Dengan demikian, cabutnya Peraturan Gubernur Lampung tersebut oleh Mahkamah Agung didasarkan pada pertimbangan bahwa peraturan tersebut melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta prinsip asas lex superiori derogat legi inferiori yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Satjipto Rahardjo, dalam bukunya yang berjudul "Membedah Hukum Progresif",  menjelaskan bahwa gagasan hukum progresif berawal dari kata "progres" yang berarti kemajuan. Suatu hukum seyogianya dapat mengikuti perubahan zaman, harus mengikuti problematika yang berkembang dalam masyarakat dan bisa memenuhi kepentingan hukum masyarakat dengan melandaskan diri pada nilai moral dari sumber daya aparat yang dimiliki. Dengan demikian hukum yang baik harus memotret fenomena sosial secara utuh, transendental dan substantif sebagai acuan untuk menyelesaikan masalah sosial dengan menegakkan hukum dan tidak lepas dari tuntunan agama, etika sosial yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat. Oleh karena itu, jika hukum tertulis sudah tidak mampu lagi mewadahi keadilan, maka hakim harus berani berpikir progresif untuk menerobos norma-norma tertulis tersebut.

Putusan Mahkamah Agung nomor 1P/HUM/2024 yang mencabut Peraturan Gubernur Lampung tentang tata kelola hasil panen dan produktivitas tanaman tebu yang dinilai tidak ramah lingkungan adalah contoh konkret dari penegakan hukum progresif dalam konteks perlindungan lingkungan hidup di Indonesia.

Penegakan hukum progresif merujuk pada pendekatan hukum yang tidak hanya mematuhi peraturan yang ada, tetapi juga mengembangkan interpretasi hukum untuk mempromosikan nilai-nilai sosial yang lebih tinggi, seperti perlindungan lingkungan hidup. Dalam hal ini, Mahkamah Agung melakukan interpretasi hukum yang berani dan inovatif dengan mencabut peraturan yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip lingkungan hidup yang berkelanjutan.

Adanya putusan ini menunjukkan komitmen Mahkamah Agung dalam menjaga keberlanjutan lingkungan hidup sebagai bagian dari keadilan sosial yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap orang berhak hidup dalam lingkungan yang baik dan sehat serta memiliki kewajiban untuk melestarikan lingkungan hidup.

Meskipun putusan ini dapat membawa dampak ekonomi negatif, khususnya bagi industri gula tebu di Lampung, penegakan hukum progresif menegaskan bahwa kepentingan jangka panjang dalam menjaga keberlanjutan lingkungan harus diberikan prioritas. Pemerintah dan stakeholder terkait diharapkan dapat bekerja sama untuk menemukan solusi-solusi yang berkelanjutan secara ekonomi dan lingkungan.

Achmad Ali, dalam bukunya yang berjudul "Menguak Tabir Hukum", menyebutkan bahwa tujuan dari hukum dapat diklasifikasi ke dalam tiga tujuan hukum yaitu:

  • Aliran etis memandang bahwa tujuan utama dari hukum adalah untuk menciptakan keadilan.
  • Aliran utilitas memiliki tujuan utama dari hukum untuk memberikan kebahagian dan kemanfaatan bagi sebesar-besarnya masyarakat.
  • Aliran normatif memandang bahwa tujuan utama hukum adalah memberikan kepastian.

Sejalan dengan itu, Gustav Redbruch mengemukakan bahwa terdapat tiga pilar utama dari hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Redbruch mengajarkan penerapan asas prioritas dari ketiga asas tersebut, di mana prioritas utama adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Putusan Mahkamah Agung nomor 1P/HUM/2024 yang mencabut Peraturan Gubernur Lampung tentang tata kelola hasil panen dan produktivitas tanaman tebu yang tidak ramah lingkungan merupakan implementasi dari penegakan hukum progresif dengan mempertimbangkan tiga asas tujuan hukum: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

Keadilan, putusan ini menunjukkan komitmen untuk mewujudkan keadilan lingkungan, di mana kepentingan lingkungan hidup yang lebih besar diprioritaskan daripada keuntungan ekonomi sementara. Keadilan lingkungan di sini mengacu pada perlindungan hak-hak masyarakat untuk hidup dalam lingkungan yang bersih dan sehat, sesuai dengan amanat konstitusi.

Kemanfaatan, penegakan hukum progresif melalui putusan ini juga mengejar kemanfaatan yang jangka panjang bagi masyarakat dan lingkungan. Meskipun keputusan ini dapat membawa dampak ekonomi negatif bagi industri gula tebu di Lampung, keputusan ini diharapkan akan memberikan manfaat jangka panjang dalam menjaga keberlanjutan lingkungan hidup, yang pada gilirannya akan mendukung kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Kepastian Hukum, meskipun putusan ini membatalkan peraturan yang ada, hal ini memberikan kepastian hukum dalam arti bahwa aturan yang melindungi lingkungan hidup harus ditegakkan tanpa kompromi. Kejelasan dalam perlindungan lingkungan melalui putusan ini memberikan panduan bagi pemerintah, industri, dan masyarakat untuk beroperasi dengan mematuhi standar lingkungan yang lebih tinggi.

Dalam konteks ini, hakim dalam memutuskan perkara telah mempertimbangkan secara seimbang antara keadilan sosial, kemanfaatan jangka panjang, dan kepastian hukum dalam rangka menjaga integritas lingkungan hidup. Hal ini menegaskan bahwa penegakan hukum progresif bukan hanya tentang kepatuhan terhadap hukum yang ada, tetapi juga tentang mengembangkan hukum untuk mencapai tujuan-tujuan sosial yang lebih luas, seperti perlindungan lingkungan hidup.

Kemenangan Bagi Lingkungan Hidup

Putusan Mahkamah Agung yang mencabut Peraturan Gubernur (Pergub) Lampung tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu yang tidak ramah lingkungan merupakan sebuah kemenangan besar bagi upaya perlindungan lingkungan hidup di Indonesia khusunya di Provinsi Lampung. Langkah ini tidak hanya menegaskan pentingnya keberlanjutan dalam kebijakan publik, tetapi juga menunjukkan peran penting lembaga peradilan dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan, yang dalam kasus ini diwakilkan oleh Mahkamah Agung sebagai lembaga yang menjalankan amanat konstitusi sebagai pemegang kewenangan menguji peraturan di bawah undang-undang dengan undang-undang.

Putusan Nomor 1P/HUM/2024 juga menegaskan precautionary principle atau prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan lingkungan hidup. Mahkamah Agung, sebagai penjaga konstitusi dan penegak keadilan, telah menunjukkan bahwa kebijakan yang berpotensi merusak lingkungan harus diuji dengan standar yang ketat. Dengan mencabut peraturan tersebut, Mahkamah Agung mengirim pesan kuat bahwa kebijakan pembangunan harus memperhatikan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan kesehatan serta kesejahteraan masyarakat.

Putusan ini memperkuat perlindungan hukum terhadap lingkungan hidup di Indonesia. Pergub yang dicabut tersebut, apabila dibiarkan, dapat menyebabkan degradasi lingkungan yang signifikan, termasuk kerusakan tanah, pencemaran air dan udara, dan hilangnya keanekaragaman hayati sebagai akibat legalisasi teknik panen tanaman tebu dengan cara dibakar. Keputusan Mahkamah Agung menunjukkan bahwa regulasi yang tidak ramah lingkungan tidak dapat bertahan dari uji materiil terkait legalitas dan kepentingan publik. Putusan ini dapat menjadi preseden penting bagi daerah lain di Indonesia. Kebijakan yang tidak ramah lingkungan kini dapat lebih mudah ditantang dan diuji di pengadilan, mendorong pemerintah daerah untuk lebih berhati-hati dalam merumuskan kebijakan. Hal ini diharapkan mendorong adopsi praktik-praktik pertanian yang lebih berkelanjutan di seluruh Indonesia.

Potensi Permasalahan Ekonomi yang Ditimbulkan

Pencabutan Peraturan Gubernur (Pergub) Lampung tentang Tata Kelola Hasil Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu yang dinilai tidak ramah lingkungan, meskipun merupakan langkah positif untuk lingkungan, juga memiliki potensi menimbulkan sejumlah permasalahan ekonomi. Berikut adalah beberapa potensi permasalahan yang mungkin muncul:

  • Penurunan Produktivitas dan Pendapatan Petani

Perubahan mendadak dalam tata kelola pertanian bisa mengakibatkan penurunan produktivitas jangka pendek karena petani harus beradaptasi dengan praktik baru yang lebih ramah lingkungan. Hal ini bisa berdampak pada pendapatan petani yang bergantung pada hasil tebu, terutama jika mereka tidak memiliki akses ke teknologi atau metode pertanian yang sesuai.

  • Biaya Transisi yang Tinggi

Masa transisi atau perubahan dari praktik pertanian yang tidak ramah lingkungan ke praktik yang lebih berkelanjutan sering kali memerlukan investasi tambahan. Petani mungkin perlu membeli peralatan baru, benih, atau pupuk organik yang lebih mahal. Petani dan pelaku usaha industri gula juga harus mengubah teknik panen tebu yang semula dibakar harus dipanen dengan cara baru yang ramah lingkungan. Tanpa dukungan finansial atau subsidi dari pemerintah, biaya ini bisa menjadi beban berat bagi petani kecil.

  • Ketidakstabilan Pasokan Bahan Baku

Apabila produktivitas tebu menurun, pabrik gula dan industri terkait lainnya mungkin menghadapi kesulitan dalam memperoleh bahan baku yang cukup. Hal ini bisa mengganggu rantai pasokan, mengurangi efisiensi produksi, dan berpotensi menyebabkan kenaikan harga produk akhir.

  • Penurunan Pendapatan Daerah

Sektor pertanian, khususnya tebu, merupakan kontributor signifikan bagi perekonomian daerah Lampung. Penurunan produktivitas dan gangguan dalam rantai pasokan dapat berdampak pada pendapatan daerah melalui pajak dan kontribusi ekonomi lainnya.

  • Resistensi dari Petani dan Pelaku Industri

Ada kemungkinan munculnya resistensi dari petani dan pelaku industri yang merasa dirugikan oleh perubahan kebijakan ini. Mereka mungkin melobi untuk mengembalikan atau mengubah kebijakan, yang dapat menciptakan ketidakpastian dan ketegangan dalam pelaksanaan kebijakan lingkungan.

  • Ketergantungan pada Subsidi dan Bantuan Pemerintah

Untuk mendukung transisi ke praktik yang lebih ramah lingkungan, pemerintah mungkin perlu memberikan subsidi atau bantuan kepada petani. Ketergantungan pada subsidi ini dapat menimbulkan masalah ekonomi jangka panjang jika tidak dikelola dengan baik atau jika anggaran pemerintah terbatas.

  • Pergeseran Pekerjaan dan Keahlian

Petani tebu mungkin perlu mengembangkan keahlian baru untuk menerapkan praktik pertanian yang berkelanjutan. Ini memerlukan pelatihan dan pendidikan yang memadai. Pergeseran ini bisa menimbulkan tantangan dalam jangka pendek karena petani tebu perlu waktu untuk beradaptasi dengannya.

Solusi Potensial Pasca Putusan Mahkamah Agung Nomor 1P/HUM/2024

Pasca putusan Mahkamah Agung yang mencabut Peraturan Gubernur Lampung terkait tata kelola hasil panen tanaman tebu yang tidak ramah lingkungan, solusi potensial untuk mengatasi dampak negatif pada bidang ekonomi dan tetap mempertahankan kemenangan dalam penegakan lingkungan hidup dapat meliputi beberapa langkah strategis berikut:

  • Pengembangan Teknologi dan Inovasi

Investasi dalam penelitian dan pengembangan untuk menciptakan teknologi panen tebu yang lebih ramah lingkungan. Ini termasuk penggunaan metode panen tanpa membakar yang efisien dan mengurangi emisi karbon serta polusi udara. Seperti inovasi pemanfaatan limbah hasil panen tebu melalui cara-cara yang ramah lingkungan dan menghasilkan produk baru yang bernilai jual.

  • Pendidikan dan Pelatihan

Memberikan pendidikan dan pelatihan kepada petani dan industri gula tebu tentang praktik-praktik pertanian berkelanjutan dan teknik panen yang ramah lingkungan. Ini dapat meningkatkan kesadaran mereka akan pentingnya perlindungan lingkungan dan mempromosikan praktik yang lebih berkelanjutan.

  • Regulasi yang Mendukung

Pemerintah Provinsi Lampung perlu mengeluarkan regulasi atau aturan hukum baru yang jelas dan mendukung terkait tata kelola hasil panen dan produktivitas tanaman tebu. Regulasi ini harus mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan lingkungan dan keberlanjutan ekonomi, serta memberikan insentif bagi praktik-praktik yang ramah lingkungan.

  • Diversifikasi Ekonomi

Mendorong diversifikasi ekonomi di Provinsi Lampung agar tidak terlalu tergantung pada industri gula tebu saja. Ini dapat dilakukan dengan mengembangkan sektor-sektor lain seperti pariwisata, pertanian organik, atau industri lain yang tidak hanya berkelanjutan secara ekonomi tetapi juga lingkungan.

  • Kemitraan dan Kolaborasi

Membangun kemitraan antara pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat sipil untuk menciptakan solusi berkelanjutan bagi tantangan lingkungan dan ekonomi di Lampung. Kolaborasi ini penting untuk mencapai tujuan bersama dalam menjaga lingkungan dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Melalui langkah-langkah ini, diharapkan Provinsi Lampung dapat mengatasi dampak negatif ekonomi dari larangan teknik panen dengan dibakar sambil tetap mempertahankan komitmen dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup, sesuai dengan amanat putusan Mahkamah Agung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun