Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban tetapi merupakan hak dari setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Untuk sampai pada pemahaman ini dibutuhkan tingkat kesadaran pajak yang tinggi, karena pada umumnya orang cenderung menuntut hak dari pada menunaikan kewajiban, sedangkan pada pemahaman tersebut membayar pajak dimaknai sebagai hak Wajib Pajak.
Ketentuan pelaksanaan hak dan kewajiban mempunyai dasar hukum yang jelas, bahwa sesuai konsideran UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, disebutkan bahwa warga negara merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok dari suatu negara yang memiliki hak dan kewajiban yang perlu dilindungi dan dijamin pelaksanaannya. Sejalan dengan ketentuan tersebut untuk memberikan keadilan dibidang perpajakan yaitu keseimbangan antara hak negara dan hak warga negara pembayar pajak, maka Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan telah mengakomodir mengenai hak dan kewajiban Wajib Pajak.
Pada artikel sebelumnya dengan judul "Hak dan Kewajiban Wajib Pajak", telah djelaskan tentang kewajiban Wajib Pajak, selanjutnya kali ini akan diuraikan tentang Hak Wajib Pajak. Adapun hak Wajib Pajak meliputi : hak atas kelebihan pembayaran pajak; hak dalam hal dilakukan pemeriksaan pajak; hak untuk mengajukan keberatan, banding dan peninjauan kembali, dan hak-hak Wajib Pajak lainnya.
Dalam hal pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak, atau dengan penjelasan lain yaitu jika pajak yang telah dibayarkan atau dipotong atau dipungut lebih besar dari yang seharusnya terutang, maka Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapatkan kembali kelebihan tersebut. Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat dilakukan dengan cara melalui Surat Pemberitahuan (SPT) atau dengan mengirimkan surat permohonan yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan pajak dengan tujuan untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dan tujuan lain yang ditetapkan. Dalam hal dilakukan pemeriksaan, Wajib Pajak berhak :
- meminta Surat Perintah Pemeriksaan;
- melihat Tanda Pengenal Pemeriksa;
- mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan pemeriksaan;
- meminta rincian perbedaan antara hasil pemeriksaan dan SPT;
- hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, maka akan diterbitkan suatu surat ketetapan pajak yang dapat mengakibatkan pajak terutang menjadi kurang bayar, lebih bayar, atau nihil. Jika Wajib Pajak tidak sependapat atau tidak setuju dengan hasil pemeriksaan maka Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak tersebut. Selanjutnya apabila masih belum puas dengan keputusan keberatan maka dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Langkah terakhir yang dapat dilakukan dalam sengketa pajak ini adalah mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Proses penyelesaian sengketa pajak sejak keberatan, banding sampai peninjauan kembali memerlukan waktu yang sangat lama. Sementara dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan maka pelunasan pajak tertangguh sampai dengan satu bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan, dan dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding maka pelunasan pajak tertangguh sampai dengan satu bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. Agar proses penyelesaian yang lama ini tidak disalahgunakan oleh Wajib Pajak untuk menghindar atau menunda pelunasan tagihan pajak dalam surat ketetapan pajak, maka ada konsekuensi sanksi administrasi berupa denda apabila keberatan atau banding yang diajukan ternyata ditolak atau dikabulkan sebagian.
Dalam hal keberatan ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Dan dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dilakukan sebelum mengajukan banding.
Hak Wajib Pajak berikutnya yaitu tentang kerahasiaan Wajib Pajak. Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan antara lain:
- Surat Pemberitahuan, laporan keuangan dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak;
- data yang diperoleh dalama rangka pelaksanaan pemeriksaan;
- dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
- dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Â
Namun demikian dalam rangka penyidikan, penuntutan, atau  dalam rangka mengadakan kerja sama dengan instansi pemerintah lain, keterangan atau bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Hak-hak Wajib Pajak lainnya berupa : hak untuk penundaan pembayaran; hak untuk mengajukan angsuran pembayaran;  hak untuk penundaan pelaporan SPT Tahunan; hak untuk pengurangan PPh Pasal 25; hak untuk mendapatkan pajak ditangung pemerintah; dan hak untuk mendapatkan insentif perpajakan. Dibidang PPN untuk Barang Kena Pajak tertentu atau kegiatan tertentu diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN Tidak Dipungut. Perusahaan yang melakukan kegiatan di kawasan tertentu seperti Kawasan Berikat mendapat fasilitas PPN Tidak Dipungut antara lain atas impor dan perolehan bahan baku.
(Disampaikan oleh: Tim Penyuluhan Kanwil DJP Jakarta Selatan I)