Mohon tunggu...
Mozes Christian Budiono
Mozes Christian Budiono Mohon Tunggu... Foto/Videografer - History Enthusiast

Mendalami cerita sejarah yang mungkin belum diketahui masyarakat Indonesia khususnya di daerah Semarang dan sekitarnya. Fokus di tahun 1942-1945. Sering buat konten sejarah juga di Instagram dan Tiktok.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

'Jugun Ianfu' Eropa di Semarang

16 Januari 2024   12:08 Diperbarui: 16 Januari 2024   12:34 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jugun ianfu, istilah yang tidak asing di telinga kita ketika membahas masa penjajahan Jepang di Indonesia. Istilah yang mengacu kepada para wanita yang dipaksa menjadi budak seks oleh bala tentara Jepang di seluruh daerah jajahannya. Sampai sekarang, lembaran hitam dalam sejarah ini, belum menemui titik temu seiring belum dipulihkannya hak-hak para korban. Kota Semarang sendiri juga tidak luput dari tragedi ini, dimana sekitar 35 wanita Eropa dari empat kamp interniran di Semarang dan dua kamp di Ambarawa menjadi korban.

Awal Mula

Pada awal tahun 1944, Kolonel Okubo Torno dan Kolonel Ikeda Shozo, perwira sekolah kadet di Semarang, mengusulkan kepada atasannya Jendral Nozaki Seiji, untuk merekrut beberapa wanita dari kamp interniran terdekat untuk dipekerjakan sebagai pekerja seks. Mereka beralasan hal ini dilakukan untuk mencegah penyakit menular seksual dikalangan para kadet. Usulnya pun disetujui oleh Jendral Nozaki dan markas besar di Batavia. Asal para wanita tersebut melakukannya dengan sukarela.  Tidak lama kemudian, dibukalah empat rumah bordil yang melayani orang-orang Jepang di Semarang secara efektif mulai 1 Maret 1944. Kolonel Okubo menyerahkan proses perekrutan kepada seorang kapten bernama Ishida yang memimpin tim perekrutan. 

Setelah mendapat persetujuan, proses perekrutan dimulai. Para perekrut meminta kepada para pemimpin kamp - wakil dari interniran, untuk mendaftar wanita yang berumur dibawah tiga puluh tahun, beserta status perkawinannya dan apakah mereka mempunyai anak atau tidak. Margot Pilz, seorang seniman asal Austria, dalam biografinya menceritakan situasi di kamp Lampersari Semarang, ketika persyaratan tersebut diberikan.

‘Suatu hari Ottilie (Ibu Margot) harus mengumpulkan semua wanita dari "wijk"-nya (lingkungan tempat ia tinggal) yang berusia di bawah 30 tahun dan memiliki tidak lebih dari satu anak. Ketika dia mendengar persyaratan ini, dia  tahu apa maksudnya. Faktanya, seorang perwira Jepang sedang menunggu para wanita tersebut. Ottilie menyuruh rekan-rekannya sesama tahanan untuk berbaris membentuk lingkaran dan saling bergandengan satu sama lain dengan erat. Perwira Jepang tersebut berdiri di tengah-tengah lingkaran dan tidak bisa keluar.’


Memang di kamp Lampersari Semarang terjadi perlawanan dari para interniran yang ditahan disana, sehingga para perekrut mencari kamp lain yang mudah untuk ‘ditaklukan’. Di kamp Gedangan Semarang, wanita yang lebih tua secara sukarela mengajukan diri, dengan alasan untuk melindungi mereka yang lebih muda atau berharap kondisi yang lebih baik ketika berada di luar kamp. Namun, karena tidak puas dengan apa yang mereka dapatkan para perekrut mencoba mencari wanita lain dengan jalan kekerasan. Secara spontan para interniran melawan dengan bambu atau pipa besi. Akhirnya, para perekrut meninggalkan Gedangan dengan para sukarelawan yang mengajukan diri sebelumnya. 

Walaupun ada perlawanan di beberapa kamp yang dikunjungi oleh para perekrut, di sisi lain terdapat pemimpin kamp yang menuruti para perekrut tanpa mengetahui maksud terselubung dari perintah tersebut, sehingga proses perekrutan berjalan dengan lancar tanpa perlawanan. Setelah mengunjungi enam kamp di Semarang dan Ambarawa, para perekrut mendapatkan 35 orang wanita yang nantinya dipekerjakan di keempat rumah bordil di Semarang.

Kamp Lampersari Semarang (Sumber : Museon)
Kamp Lampersari Semarang (Sumber : Museon)

Trauma

Menurut Jan Ruff O’Herne seorang penyintas yang turut dibawa ke Semarang, sesampainya di Semarang mereka dibawa ke sebuah rumah besar yang ia kenal dengan nama ‘Rumah Tujuh Samudra’. Dari deskripsi yang ia berikan rumah yang dimaksud mungkin adalah Shoko Club, salah satu rumah bordil untuk perwira di Semarang. Keesokannya mereka dipaksa menandatangani surat kesediaan, kemudian difoto dan diberi nama Jepang. Ketakutan menyelimuti mereka ketika mengetahui bahwa keberadaan mereka disana adalah untuk memuaskan nafsu tentara Jepang. Dalam biografinya Jan Ruff menerangkan situasi tersebut.

‘Karena kami perawan, kami diberi harga yang tinggi di malam pembukaan. Ketika hari mulai malam kami berkumpul bersama di ruang makan, ketakutan. Gerda yang baru berumur delapan belas tahun, histeris karena ketakutan. Akupun memeluknya dengan erat … Ketika itu ketakutan menyelimuti tubuhku. Sampai sekarang pun, aku tidak melupakannya dan entah bagaimana hal itu sudah melekat padaku seumur hidupku.’

Hari-hari tersebut merupakan pengalaman yang traumatik bagi wanita yang mengalaminya hingga detik ini. Salah satu wanita bersaksi ketika ia sampai di rumah bordil Futabaso, ia langsung diperkosa oleh seorang perwira yang mabuk, kemudian diikuti lima orang lainnya. Setiap hari pola itu berulang dan akhirnya ia menderita nervous breakdown yang mengharuskannya masuk ke rumah sakit jiwa. Banyak dari mereka yang berusaha melarikan diri bahkan beberapa mengakhiri hidupnya.

Namun, terdapat cerita dimana ‘klien’ menolak untuk berhubungan seks malah melindungi mereka. Ketika berada di Shoko Club, Jan Ruff menceritakan mengenai Yodi seorang Jepang, yang ‘membeli’-nya setiap malam guna menjaga Jan dari orang lain yang menggunakan jasanya. Yodi sendiri merasa malu dan meminta maaf kepada Jan atas perlakuan bangsanya terhadap Jan. Beberapa wanita bahkan secara sukarela melayani tamu, demi melindungi wanita lain yang lebih muda

Hotel Singapore Semarang (sekarang terletak di Jalan Imam Bonjol) dahulunya merupakan rumah bordil Hinomaru (Sumber : Utsumi Eiko)
Hotel Singapore Semarang (sekarang terletak di Jalan Imam Bonjol) dahulunya merupakan rumah bordil Hinomaru (Sumber : Utsumi Eiko)

Penutupan Rumah Bordil

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun