Saat ini kita telah memasuki era globalisasi di mana kehidupan modern telah sedikit banyak menggeser gaya hidup lokal pada sebagian besar masyarakat dunia. Namun apakah Anda menyadari bahwa setiap negara kini tidak hanya berlomba-lomba mengembangkan teknologi tetapi juga berlomba-lomba menggali masa lalu mereka? Berkat kemajuan teknologi informasi, kini kita dapat belajar sejarah hanya dari sebuah layar monitor. Secara tidak langsung romantisme masa lalu pun mulai tumbuh di sejumlah negara. Orang-orang Korea membanggakan masa pemerintahan Raja Sejong, orang-orang Makedonia membanggakan masa pemerintahan Raja Alexander III, orang-orang Italia membanggakan Kekaisaran Roma-nya, dan orang-orang Meksiko membanggakan Kekaisaran Aztek-nya. Bagaimana dengan orang-orang Indonesia? Orang-orang Indonesia membanggakan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit yang pernah menjadi kekuatan maritim di Asia. Selain faktor ekonomis untuk meningkatkan industri pariwisata, alasan pemerintah berbagai negara menggali masa lalu mereka adalah faktor psikologis yaitu menunjukkan kepada bangsa-bangsa lain di dunia bahwa bangsanya telah mengenal peradaban sejak lama dan patut dikagumi oleh bangsa-bangsa lain.
Bagaimana dengan romantisme masa lalu OPM? Mereka sangat membanggakan masa kolonial Belanda-nya. Hal ini dapat dibuktikan dengan gambar-gambar masa kolonial Belanda yang sering mereka tampilkan di media sosial. Sungguh miris ketika sebuah bangsa sangat bangga dengan masa kolonialnya. Ketika bangsa-bangsa lain menganggap masa kolonial sebagai masa kegelapan, OPM justru menganggapnya sebagai masa keemasan. Menurut Fabiano de Fouw, orang-orang Papua zaman dulu adalah orang-orang yang jahat dan suka memakan manusia tetapi mereka berubah menjadi baik setelah menerima Injil. Ia sendiri justru tanpa merasa malu menganggap nenek moyangnya adalah manusia-manusia yang primitif dan tidak mengenal peradaban. Muncul sebuah pertanyaan di benak saya : "Andaikata Papua berhasil lepas dari Republik Indonesia, bagaimana mereka nanti menyusun kurikulum mata pelajaran sejarah Papua Barat?" Maka akan terjadi apa yang saya sebut sebagai "kekosongan sejarah" yang sangat besar dari masa prasejarah hingga abad ke-19. Suatu hari nanti cepat atau lambat akan ada siswa yang bertanya : "Apa yang terjadi di Papua pada abad ke-1 hingga abad ke-18?"Â Guru-guru sejarah yang sudah dicuciotak oleh OPM tidak akan bisa menjawab kecuali kata "tidak tahu".
Hal ini berbeda dengan sejarah versi NKRI yang menganggap orang-orang Papua telah mengenal peradaban jauh sebelum masuknya Injil. Orang-orang Papua telah mengenal perdagangan, militer, dan pemerintahan sebelum orang-orang Belanda datang. Ini dibuktikan dengan adanya catatan seorang musafir asal Tiongkok yang bernama Chau Yu-kua dan penemuan keramik-keramik kuno asal Tiongkok di dasar laut di sekitar Papua yang menunjukkan telah ada hubungan dagang antara Papua dengan Tiongkok sejak ratusan tahun sebelum masuknya Injil di Tanah Papua. Pulau Papua dikenal oleh para saudagar Tionghoa dengan nama "Tung-ki". Kemudian Antonio de Abreu dan Francisco Serrao asal AL Portugal juga mencatat adanya pasukan asal Papua dalam tentara Kesultanan Tidore pada saat perang antara Kesultanan Tidore yang dibantu bangsa Spanyol melawan Kesultanan Ternate yang dibantu bangsa Portugis. Papua tidak menjadi bagian dari sejarah Indonesia semenjak penyerahan Papua Barat tahun 1963 tetapi sudah menjadi bagian dari sejarah Indonesia sejak masa Kerajaan Sriwijaya. Gap atau "kekosongan sejarah" Papua versi NKRI jauh lebih kecil dibandingkan versi OPM. Dari sini kita dapat melihat bahwa sejarah Papua versi NKRI lebih berisi dan lebih beradab tanpa menafikan perlunya bukti-bukti sejarah yang mendukung.
Menurut OPM, orang-orang Papua mengenal peradaban berkat kedatangan orang-orang Belanda. Apakah bangsa Tionghoa membutuhkan bangsa lain untuk membangun Tembok Raksasa? Apakah bangsa Mesir membutuhkan bangsa lain untuk membangun piramida? Apakah bangsa Maya membutuhkan bangsa lain untuk mengenal ilmu perbintangan? Apakah bangsa Yunani membutuhkan bangsa lain untuk mengenal ilmu filsafat? Mereka tidak butuh bangsa lain! Akan tetapi, ini tidak berlaku bagi OPM. Jangankan membangun struktur-struktur bangunan yang setara Koloseum atau Angkor Wat, bendera dan lagu kebangsaan saja mereka dibikinkan bangsa Belanda! Dalam salah satu video presentasi Benny Wenda di Youtube terlihat tulisan di slide-nya "Dutch gave Papuans flag and national anthem". Ini sebenarnya yang punya niat untuk bikin negara orang Papua atau orang Belanda? Kalau mereka memang niat untuk bikin negara sendiri, mengapa mereka tidak bikin bendera dan lagu kebangsaan sendiri?
"Keharmonisan yang terjadi selama pemerintahan Belanda akhirnya sirna akibat kedatangan Jepang. Akibatnya banyak penduduk asli Papua sangat tidak senang dengan kehadiran bangsa Jepang ini. Walaupun tidak disambut baik oleh warga Papua, Jepang tetap memaksakan rakyat bekerja secara paksa untuk kepentingan mereka sehingga banyak penduduk asli Papua yang dipotong tangannya akibat tidak mau bekerja untuk kepentingan Jepang.
Kenyataan ini sangat berbeda dengan di Jawa yaitu di mana banyak warga Jawa menyambut baik kedatangan Jepang karena mereka sangat anti Belanda akibat penjajahan yang dilakukannya.
Dari hal tersebut di atas, maka jelaslah bahwa bangsa Belanda tidak menjajah bangsa Papua seperti yang dialami bangsa Indonesia."
Benarkah demikian? Pendapat John Anari secara tidak langsung dibantah oleh A. Ibrahim Peyon dengan bukunya yang berjudul "Kolonialisme dan Cahaya Dekolonisasi di Papua Barat". Meskipun saya memiliki sejumlah kritik atas bukunya, bagi saya Ibrahim Peyon adalah pendukung Papua merdeka yang paling pintar yang pernah saya kenal. Pria lulusan Universitas Cenderawasih Jurusan Antropologi tahun 2002 ini berbeda dari sebagian besar simpatisan maupun pemimpin OPM. Dia menganggap bangsa Belanda adalah bangsa penjajah. Pengajar tetap di Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih ini mencatat banyak pemberontakan rakyat Papua melawan penjajahan Belanda : pemberontakan Saumira di Pulau Yapen (1925), pemberontakan Wasyari Faidan di Kepulauan Raja Ampat (1931), pemberontakan Wasbesren di Pulau Batanta (1934), pemberontakan Pamai Yakadewa di Hollandia, pemberontakan Angganita Manufandu dan Stevanus Simopiaref di Biak (1938-1943), pemberontakan Zakeus Pakage di Paniai (1954), pemberontakan Marindi di Pulau Kolepom (1959), dll. Jadi tidak benar pernyataan John Anari bahwa hubungan antara pemerintah kolonial Belanda dengan rakyat Papua terjalin harmonis. Selain itu, dari sini kita juga dapat menyimpulkan bahwa ternyata seorang pembicara di tingkat PBB mampu dikalahkan oleh seorang antropolog lulusan Universitas Cenderawasih.
"Perbudakan yang paling mengerikan bukanlah ketika tangan dan kaki kita telah dirantai melainkan ketika pikiran dan hati kita telah dirantai."
- Mozes Adiguna Setiyono -