Mohon tunggu...
Mozes Adiguna Setiyono
Mozes Adiguna Setiyono Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang keturunan Tionghoa tetapi hati tetap Merah Putih.

Lahir di Semarang, 2 Maret 1995

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Integrasi Papua ke Indonesia Adalah Sah

28 Maret 2013   13:47 Diperbarui: 2 Juli 2019   08:18 3563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kurang lebih 50 tahun silam, Papua Barat secara resmi bergabung ke dalam NKRI setelah lama berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Sayangnya masih ada banyak orang Papua yang memermasalahkan integrasi Papua ke dalam NKRI dan menuntut pemisahan Papua dari NKRI. Belum lagi ditambah adanya provokasi-provokasi dari pihak OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang terkadang memutarbalikkan fakta. Integrasi Papua ke wilayah Indonesia adalah sah karena telah disetujui oleh rakyat Papua sendiri dan juga oleh PBB.

Papua dalam Kongres Pemuda

Kongres Pemuda adalah kongres yang diadakan dan dihadiri oleh para pemuda dari berbagai penjuru Hindia Belanda. Kongres Pemuda I diadakan di Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1926 sedangkan Kongres Pemuda II diadakan pada tahun 1928 tepatnya tanggal 27-28 Oktober 1928. Kongres Pemuda II diselenggarakan dengan tujuan mendorong seluruh pemuda Indonesia bersatu padu mewujudkan Indonesia merdeka sehingga dihasilkanlah Sumpah Pemuda. Dalam kongres kedua inilah untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya diperkenalkan oleh Wage Rudolph Soepratman yang kelak menjadi lagu kebangsaan Indonesia.

Ada banyak orang Indonesia, terutama mereka yang berasal dari masyarakat asli Papua sendiri, yang tidak mengetahui bahwa ada beberapa pemuda Papua ikut hadir dan menjadi saksi peristiwa bersejarah tersebut. Hal ini disebabkan oleh kurangnya penelusuran sejarah yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Akibatnya banyak orang Indonesia tidak dapat mengetahui secara rinci siapa saja yang hadir dalam kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda tersebut. Maka dari itu, hal ini dapat dipakai oleh OPM untuk menyebarkan kebohongan bahwa tidak ada wakil dari Papua dalam peristiwa Sumpah Pemuda.

Ramses Ohee, ketua adat Tobati-Enggros sekaligus ketua Barisan Merah Putih, pernah mengakui bahwa orangtuanya, Poreu Abner Ohee dan Pouw Orpa Pallo, pernah turut menjadi wakil Papua dalam Kongres Pemuda tahun 1928 walau mereka tergabung dalam organisasi Jong Ambon. Berarti dapat disimpulkan bahwa dahulu orang-orang Papua pernah sepakat untuk berikrar bertumpah darah satu, tanah air Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan yakni bahasa Indonesia. Masyarakat Papua telah lama menggunakan bahasa Melayu yang kelak menjadi bahasa Indonesia, bukan sejak resmi bergabung dengan Indonesia.

Para Pahlawan Indonesia asal Papua

Bagi sebagian besar warga negara Indonesia tentu tidak asing dengan nama-nama Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Jenderal Soedirman, dll. Di satu sisi, masih ada banyak dari antara kita yang tidak mengetahui para pahlawan Indonesia asal Papua. Pemerintah seharusnya memasukkan kisah-kisah kepahlawanan para pejuang kemerdekaan dari Papua ke dalam buku-buku pelajaran sejarah. Selain itu, nama-nama mereka juga seharusnya diabadikan lebih banyak lagi untuk nama jalan, gedung, dan lain sebagainya sehingga dengan begitu perjuangan mereka dapat diketahui dan terus dikenang oleh masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Papua.

Salah satunya adalah Marthen Indey. Marthen Indey adalah mantan anggota polisi Belanda. Putra Papua kelahiran 14 Maret 1912 di Doromena, Hollandia (sekarang Jayapura), ini pernah ditugaskan untuk mengawasi para pejuang kemerdekaan Indonesia yang dibuang ke Digul. Dari sanalah muncul rasa nasionalisme Marthen Indey. Bersama 30 orang temannya, ia merencanakan penangkapan aparat keamanan Belanda. Sayangnya rencana ini tercium oleh pemerintah kolonial Belanda. Akibatnya ia pun dipindahtugaskan ke daerah terpencil di hulu Sungai Digul. Ketika tentara Jepang berhasil menduduki Hindia Belanda saat Perang Dunia II, Marthen Indey ikut pergi bersama pemerintahan pengasingan Hindia Belanda menuju Australia. Pada tahun 1944, ia kembali ke tanah air bersamaan dengan datangnya pasukan Sekutu. Bulan Oktober 1946, Marthen Indey menghubungi para tokoh Maluku yang pro kemerdekaan. Karena sering berkomunikasi dengan kelompok pro republik di Ambon, ia ditangkap dan dipenjara oleh pemerintah kolonial Belanda. Semangatnya tak pernah padam. Bulan Januari 1962 ketika Operasi TRIKORA dilancarkan, Marthen Indey menyusun kekuatan gerilya serta membantu penyelamatan anggota-anggota RPKAD (Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat) yang diterjunkan untuk membebaskan Papua Barat. Ia pernah membantu menyembunyikan sembilan orang anggota RPKAD yang selamat dari patroli Belanda di rumahnya. Ia kemudian diangkat sebagai anggota MPRS terhitung dari tahun 1963 hingga 1968 setelah Papua Barat resmi bergabung ke dalam wilayah Indonesia. Marthen Indey meninggal dunia pada tanggal 17 Juli 1986 di usia 74 tahun.

Silas Ayari Donrai Papare, seorang mantan pegawai pemerintah kolonial Belanda asal Serui, Kepulauan Yapen, ikut memerjuangkan kemerdekaan Papua dengan gigih hingga ia dipenjara di Hollandia karena memengaruhi Batalyon Papua untuk memberontak. Di dalam penjara, pria kelahiran 18 Desember 1918 ini bertemu Dr. Sam Ratulangi dan dari sana ia berkeyakinan bahwa Papua adalah bagian dari bangsa Indonesia. Setelah dibebaskan dari penjara di Hollandia, ia bersama seorang putra Papua berdarah Tionghoa, Thung Tjing Ek, membentuk PKII (Partai Kemerdekaan Indonesia Irian) pada tahun 1946. Setahun kemudian, Silas Papare bersama beberapa rekannya ditahan karena mengibarkan bendera Merah Putih tetapi ia berhasil melarikan diri dari penjara. Ketika dikejar oleh aparat keamanan Belanda, ia bersama keluarganya meninggalkan Serui, kota kelahirannya, menuju Yogyakarta. Di Yogyakarta, Silas Papare tetap aktif memerjuangkan pembebasan Papua dengan mendirikan Badan Perjuangan Irian. Indonesia dan Belanda akhirnya sepakat untuk bertemu di New York untuk mengakhiri masalah Papua Barat. Putra asli Papua ini ditunjuk sebagai salah satu delegasi Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan Papua Barat ke Indonesia, ia diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi anggota MPRS. Di depan sidang MPRS bulan Maret 1967, Silas Papare berpidato : "Kami orang-orang Papua hanya menghendaki kehidupan yang lebih baik." Hal ini menunjukkan keyakinan kuat Silas Papare bahwa Papua adalah bagian sah dari Republik Indonesia. Silas Papare menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 7 Maret 1978. Kutipannya yang terkenal adalah "Jangan sanjung aku tetapi teruskanlah perjuanganku."

Kedua pahlawan Indonesia di atas bersama dengan Frans Kaisiepo dan Johannes Abraham Dimara yang juga merupakan putra asli Papua memeroleh penghargaan gelar Pahlawan Nasional. Marthen Indey, Silas Papare, dan Frans Kaisiepo ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 14 September 1993 oleh Presiden Soeharto sedangkan J. A. Dimara baru ditetapkan pada tanggal 11 November 2010 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tidak hanya mereka berempat, masih ada banyak pejuang asal bumi Cendrawasih yang memerjuangkan penyatuan Papua ke dalam NKRI seperti Lukas Rumkorem, Stevanus Rumbewas, Petrus Wattebossy, Petero Jandi yang dihukum mati oleh pemerintah kolonial, dan lain sebagainya. Beberapa di antara mereka patut menyusul ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Penentuan Pendapat Rakyat

Setelah sekian lama berjuang, Indonesia berhasil membebaskan Papua Barat dari tangan kolonial Belanda. Amerika Serikat sebagai negara pendonor bantuan ekonomi negara-negara Eropa setelah Perang Dunia II termasuk Belanda kini berbalik mendorong Belanda untuk segera melepaskan Papua Barat. Untuk memenuhi isi New York Agreement tahun 1962 dan mendapatkan persetujuan dari PBB, pemerintah Indonesia harus mengadakan PEPERA (penentuan pendapat rakyat) untuk mengetahui keinginan masyarakat di sana apakah ingin bergabung dengan Indonesia atau berdiri sendiri. OPM juga menuduh penyelenggaraan PEPERA tidak demokratis dan tidak sah. Berikut adalah yang sebenarnya terjadi.

Pada tahun 1969, diadakanlah PEPERA yang dilakukan oleh Panitia Sembilan yang telah dilantik oleh DPRD setempat. Panitia ini segera menghubungi para tokoh masyarakat Papua untuk segera bergabung dalam DMP (Dewan Musyawarah PEPERA). PEPERA diikuti oleh 1.026 anggota DMP yang menjadi wakil dari rakyat Papua Barat dari delapan kabupaten. PEPERA dimulai dari Merauke, ujung timur Indonesia, tanggal 14 Juli 1969 hingga terakhir diadakan di Jayapura pada tanggal 4 Agustus 1969. Sebagian besar wakil yang hadir memilih bersatu dengan NKRI. Pelaksanaan PEPERA turut disaksikan utusan dari PBB, utusan dari Australia, serta utusan dari Belanda. Pemerintah Indonesia dengan PBB telah sepakat untuk menggunakan sistem perwakilan bukan sistem one man one vote saat PEPERA mengingat adanya kendala secara geografis dan demografis. Sistem perwakilan itu sendiri juga merupakan wujud dari demokrasi. Dalam budaya Papua sendiri, apabila tokoh adat setempat memilih pilihannya maka pilihan ketua adat akan diikuti oleh masyarakatnya.

Hasil PEPERA kemudian diserahkan kepada Dr. Fernando Ortiz Sanz (wakil PBB untuk mengawasi PEPERA) untuk dilaporkan pada saat Sidang PBB ke-24 pada tanggal 19 November 1969. Sebanyak 84 negara anggota PBB menyetujui penggabungan Papua Barat ke wilayah Indonesia, hanya 30 negara yang abstain, dan tidak ada satu negara pun yang tidak setuju. Pihak Belanda sendiri menunjukkan sikap menghormati keputusan rakyat Papua Barat. PBB menyatakan bahwa Papua Barat menjadi bagian dari Republik Indonesia dan dihapus dari daftar dekolonisasi PBB dengan disahkannya Resolusi Majelis Umum PBB no 2504.

Sekarang kedua provinsi di Papua yakni Papua dan Papua Barat telah memeroleh otonomi khusus. Bantuan dana otonomi khusus yang telah diberikan oleh pemerintah pusat tidaklah kecil. Sudah bukan waktunya lagi untuk memermasalahkan integrasi Papua ke Indonesia. Orang-orang Papua yang tergabung dalam OPM sudah seharusnya menurunkan senjata dan kembali bersama-sama mengerahkan segala potensi untuk membangun Tanah Papua menuju masa depan yang cerah. Integrasi Papua sudah final. Saat ini sudah ada beberapa tokoh OPM yang telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi dan memeroleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia, antara lain Nicolaas Jouwe dan Franzalbert Joku. Biarlah sebutan "Tanah Surga" tetap terus melekat dengan Tanah Papua di mana setiap orang dari berbagai suku bangsa dan agama hidup dalam damai dan hidup berdampingan.

Baca di blog saya : mozesadiguna95.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun