Mohon tunggu...
Mozes Adiguna Setiyono
Mozes Adiguna Setiyono Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang keturunan Tionghoa tetapi hati tetap Merah Putih.

Lahir di Semarang, 2 Maret 1995

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aliansi Mahasiswa Papua Bukan Organisasi Terpelajar

14 Agustus 2014   06:27 Diperbarui: 10 Mei 2020   20:51 1205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Massa GEMPAR berusaha menghadang massa AMP yang menuju Bundaran Gladag

AMP (Aliansi Mahasiswa Papua) adalah organisasi yang dibentuk oleh sejumlah mahasiswa asal Papua yang menempuh kuliah di berbagai daerah di luar Papua. Keberadaan organisasi ini sangat meresahkan warga sekitar. AMP sering berdemo tanpa izin dan menyebabkan kemacetan di sejumlah ruas jalan akibat aksi demonstrasi mereka. Mereka selalu berdemo dengan membawa bendera Bintang Kejora dan poster-poster yang bersifat makar. Dalam artikel ini, saya akan memakai dua contoh kasus demo yang pernah dilakukan AMP. Yang pertama mengenai demo di Surakarta tahun lalu, yang satunya lagi mengenai demo di Yogyakarta baru-baru ini.

Demo AMP di Surakarta tanggal 19 Desember 2013

Warga Surakarta sudah muak menyaksikan aksi para mahasiswa asal Papua yang kerap berdemo dengan membawa simbol-simbol separatisme seperti bendera Bintang Kejora dan menuntut Papua merdeka. Kekesalan warga ditunjukan dengan mengadakan demo tandingan menghadapi demo mahasiswa Papua di Bundaran Gladag yang bertepatan dengan peringatan 52 tahun kampanye TRIKORA. Aksi unjuk rasa yang digelar Aliansi Mahasiswa Papua se-Jawa dan Bali di Surakarta nyaris bentrok dengan warga Surakarta.

Massa AMP di Surakarta berdemo dengan memakai simbol separatis Bintang Kejora (Sumber gambar : ampmalangraya.blogspot.com)
Massa AMP di Surakarta berdemo dengan memakai simbol separatis Bintang Kejora (Sumber gambar : ampmalangraya.blogspot.com)
Pada tanggal 19 Desember 2013, sekitar seratus mahasiswa Papua dari berbagai perguruan tinggi di Jawa dan Bali menggelar aksi unjuk rasa di Surakarta untuk menuntut pemisahan Papua dari NKRI. Namun aksi demonstrasi mereka mendapat tandingan dari sekelompok warga Surakarta yang menamakan diri sebagai GEMPAR (Gerakan Masyarakat Peduli Rakyat) yang pro NKRI. Dua kelompok massa yang saling berlawanan ini sempat bersitegang dan nyaris baku hantam.

Dengan mengenakan kaos bergambar Bintang Kejora dan pakaian adat Papua, para mahasiswa ini berdemo dari depan Solo Grand Mall menuju Bundaran Gladag. Sepanjang jalan mereka berorasi dan membagikan selebaran terkait tuntutan untuk kemerdekaan Papua. Mereka seharusnya bersyukur jika bisa pulang dalam keadaan sehat wal afiat sebab bisa saja mereka dijotos warga yang melintas saat membagikan selebaran. Sebagai seseorang yang memiliki rasa nasionalisme, saya sendiri pasti naik pitam ketika melihat mereka membagikan selebaran yang berisi ajakan untuk memecah belah bangsa Indonesia.

Massa yang menamakan dirinya GEMPAR ini sejak pagi sudah lebih dahulu menduduki Bundaran Gladag. Guna menghindari bentrokan, polisi mempertemukan perwakilan dari kedua belah pihak. Dalam pertemuan itu, koordinator lapangan GEMPAR Nusa A. D. meminta supaya AMP tidak mengibarkan bendera Bintang Kejora selama aksi berlangsung. "Kami dan Anda itu satu bumi pertiwi dan NKRI. Marilah kita jaga persatuan dan kedaulatan NKRI ini," ujarnya. Pihak GEMPAR juga meminta agar para mahasiswa Papua mengibarkan bendera Merah Putih.

Massa GEMPAR berusaha menghadang massa AMP yang menuju Bundaran Gladag
Massa GEMPAR berusaha menghadang massa AMP yang menuju Bundaran Gladag
Lalu apa jawaban AMP? Mereka menolak mentah-mentah untuk mengibarkan Merah Putih. Namun koordinator lapangan AMP Jefrison Wenda (ketua AMP Yogyakarta) berjanji bahwa AMP tidak akan mengibarkan bendera Bintang Kejora dalam aksi tersebut. Namun janji tinggal janji. Walaupun tidak mengibarkan bendera Bintang Kejora, beberapa peserta aksi terlihat mengenakan kaos bergambar Bintang Kejora dan beberapa lainnya mengecat wajahnya dengan gambar Bintang Kejora.

Dalam aksinya, AMP menuntut kepada pemerintahan SBY untuk segera memberi kebebasan dan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua. Mereka juga meminta supaya TNI dan POLRI baik yang organik maupun non organik ditarik dari Papua. Selain itu, para mahasiswa ini juga menuntut supaya tambang Freeport, British Petroleum, LNG, Tangguh, dan lainnya ditutup. Apakah setelah mereka berdemo pemerintah akan menuruti kemauan mereka? Tuntutan yang menurut saya lucu adalah tuntutan untuk menarik semua personel TNI dan POLRI dari Papua. Kalau ditarik, nanti siapa yang menjaga keamanan dan kedaulatan bangsa di sana? Apakah AMP mau menggantikan tugas mereka? Sungguh aneh dan lucu tuntutan yang satu ini!

Tidak hanya menyampaikan tuntutan, sejumlah peserta demo asal Papua ini juga mencaci maki anggota-anggota TNI yang ikut mengamankan aksi demo tersebut. Mendengar caci maki dari para mahasiswa Papua, hampir saja salah seorang personel TNI naik pitam. Untung saja, rekan-rekan personel TNI lainnya mampu meredam kemarahan anggota TNI tersebut. Kalau sampai dipukul, para mahasiswa pengecut ini mungkin hanya bisa menangis dan menulis di media sosial seperti Facebook tentang pelanggaran HAM yang dilakukan TNI.

Selesai menggelar aksi unjuk rasa, mahasiswa Papua meninggalkan Bundaran Gladag dengan diangkut bus dan mobil bak terbuka. Iring-iringan rombongan ini mendapat pengawalan ketat dari polisi. Hal ini dilakukan polisi guna menghindari terjadinya bentrokan dan saling serang antara dua kelompok massa tersebut. Kalau tidak segera dievakuasi, bisa-bisa sudah almarhum mereka semua karena dihajar warga Surakarta yang sudah marah terhadap mereka.

Demo AMP di Yogyakarta tanggal 1 Juli 2014

Sama seperti warga Surakarta, warga Yogyakarta juga sudah muak dengan demo-demo yang dilakukan oleh AMP. Pada tanggal 1 Juli 2014, ratusan personel dari kepolisian bersama organisasi masyarakat yang bernama Paksi Katon yang merupakan utusan Sultan Hamengkubuwono X berusaha menghadang massa AMP (Aliansi Mahasiswa Papua) di Jalan Kusuma Negara, Yogyakarta, ketika massa AMP berjalan kaki menuju Titik Nol KM dalam rangka peringati HUT ke-43 Proklamasi Kemerdekaan Papua.

Beberapa warga berpakaian hitam berikat kepala khas Yogyakarta datang dalam jumlah seratusan lebih menghadang massa AMP yang awalnya ditahan polisi. Kelompok berseragam hitam ini adalah anggota Paksi Katon yang merupakan utusan sultan. "Kami utusan dari sultan. Di Jogja tidak boleh ada separatis," teriak Muhammad Suhud, pimpinan Paksi Katon, melalui pengeras suara tepat di depan massa pendemo AMP yang dihentikan paksa polisi ketika berjalan kaki menuju titik aksi.

Paksi Katon bersama polisi menghadang massa AMP di Yogyakarta (Sumber gambar : jogja.tribunnews.com)
Paksi Katon bersama polisi menghadang massa AMP di Yogyakarta (Sumber gambar : jogja.tribunnews.com)
Paksi Katon terlihat membentangkan spanduk besar bertuliskan "Yogyakarta Anti Anarkisme" berhadap-hadapan dengan massa aksi AMP. Berkaitan dengan ini, Abbi sebagai koordinator lapangan aksi berteriak : "Kami ini Aliansi Mahasiswa Papua yang menuntut Papua merdeka, bukan kelompok anarkis! Kami demo dengan damai! Jangan halangi kami! Jangan labeli kami!" AMP mengaku telah mendapat izin dari Sultan Hamengkubuwono X untuk melakukan aksinya. Mereka dengan sembarangan bawa-bawa nama sultan untuk melegalkan aksi mereka. Pengakuan tersebut bisa dikatakan sudah bersifat kurang ajar di Yogyakarta.

Dari tempat penghadangan, Suhud meminta massa untuk menyerahkan gambar bendera Bintang Kejora kepadanya. Ia juga mendesak massa untuk membubarkan diri dan tidak lagi melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat separatis. Suhud pun berusaha untuk merebut atribut aksi. Para polisi bersama Paksi Katon kemudian mendesak massa aksi untuk tidak melanjutkan aksi hingga ke Titik Nol KM. Massa aksi tetap bersikeras sehingga anggota Paksi Katon mulai kehilangan kesabaran menghadapi massa AMP yang sok jagoan tersebut.

Agustinus Dogomo sebagai koordinator umum aksi memertanyakan status kota Yogyakarta yang dikenal di Nusantara dan dunia sebagai kota pluralisme yang menghargai perbedaan dan menjunjung demokrasi. "Suara kami dibungkam utusan sultan di Yogyakarta, ratusan personel kepolisian, dan BRIMOB. Saya pikir mereka ratusan. Suara kami dibungkam di kota yang katanya kota dengan masyarakatnya yang menghargai perbedaan dan menjunjung demokasi," tegas pria yang biasa disapa Agus ini. Pernyataan Agus ini memerlihatkan ia adalah sosok yang sok pintar. Ia berani berkata "pluralisme" tetapi ia sendiri tidak mengerti. Pluralisme adalah paham yang menghargai perbedaan suku, budaya, agama, dan ras dalam sebuah negara. Separatisme bukan bagian dari pluralisme. Apalagi salah satu alasan mereka mengapa Papua harus merdeka adalah menurut mereka orang Papua adalah ras Melanesia sedangkan mayoritas orang Indonesia adalah ras Melayu. Jelas dari alasan ini mereka sendiri tidak mengerti apa itu pluralisme.

"Kami tidak mau ada separatis di kota ini. Semua separatis harus angkat kaki dari kota Yogyakarta," kata Sonny, anggota AMP yang turut serta dalam aksi demo, meniru kata-kata anggota Paksi Katon kepada para mahasiswa Papua. Menurut Sonny, tindakan ini jelas-jelas sudah bertentangan dengan prinsip pokok demokrasi dan HAM untuk menyampaikan pendapat di muka umum tanpa ada diskriminasi. Sonny tidak berbeda dengan Agus. Mereka masih belum mengerti batasan dari demokrasi. Perbuatan makar bukan bagian dari demokrasi. Semua negara yang menjunjung tinggi demokrasi tentu saja juga menolak adanya separatisme di negaranya. Amerika Serikat yang mengaku sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi dan HAM juga tidak akan membiarkan Hawai'i dan Alaska lepas.

Dalam demo ini, massa aksi menuntut kepada Indonesia dan PBB untuk memberikan kebebasan kepada rakyat Papua Barat untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai solusi demokratis. AMP juga minta hentikan semua aktivitas eksploitasi melalui perusahaan-perusahaan asing seperti Freeport, LNG, British Petroleum, Tangguh, Mecdo, Corindo, dan yang lainnya. Kemudian mereka juga menyerukan pemerintah untuk menarik semua pasukan organik dan non organik. Intinya adalah demo yang diulang-ulang oleh mereka tanpa bosan. Jangan-jangan mereka demo dengan maksud supaya bisa bolos kuliah?

Ketua IPMA Papua Aris Yeimo usai aksi menjelaskan bahwa dalam waktu dekat ia akan mengusahakan audensi dengan pihak kesultanan terkait isu-isu yang berkembang akhir-akhir ini, salah satunya mengenai kebebasan menyampaikan pendapat yang menurutnya "dibungkam" dan keamanan mahasiswa Papua di Yogyakarta. Katanya tadi sudah dapat izin dari sultan? Berarti itu tadi hanya izin bohongan? Pada kenyataannya mereka belum bertemu dengan sultan.

Air susu dibalas air tuba adalah sebuah peribahasa yang sangat tidak asing di telinga kita. Itulah peribahasa yang menjadi gambaran dari AMP, segerombolan mahasiswa yang tidak tahu rasa terima kasih kepada pemerintah Indonesia. Ada banyak mahasiswa asal Papua yang dibiayai pendidikan mereka oleh pemerintah melalui program UP4B. Saya yakin ada banyak anggota AMP yang sering berdemo menyuarakan "Papua merdeka!" tersebut mendapat beasiswa dari pemerintah. Jadi pemerintah perlu mengambil tindakan tegas dengan mencabut beasiswa semua mahasiswa Papua yang terlibat aksi makar. Mereka harus disadarkan bahwa mereka masih butuh Indonesia. Alangkah lebih baik jika mereka membentuk organisasi belajar bersama atau organisasi untuk mencari dana bagi rekan-rekan mereka yang tidak mampu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun