Mohon tunggu...
Mozes Adiguna Setiyono
Mozes Adiguna Setiyono Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang keturunan Tionghoa tetapi hati tetap Merah Putih.

Lahir di Semarang, 2 Maret 1995

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aliansi Mahasiswa Papua Bukan Organisasi Terpelajar

14 Agustus 2014   06:27 Diperbarui: 10 Mei 2020   20:51 1205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari tempat penghadangan, Suhud meminta massa untuk menyerahkan gambar bendera Bintang Kejora kepadanya. Ia juga mendesak massa untuk membubarkan diri dan tidak lagi melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat separatis. Suhud pun berusaha untuk merebut atribut aksi. Para polisi bersama Paksi Katon kemudian mendesak massa aksi untuk tidak melanjutkan aksi hingga ke Titik Nol KM. Massa aksi tetap bersikeras sehingga anggota Paksi Katon mulai kehilangan kesabaran menghadapi massa AMP yang sok jagoan tersebut.

Agustinus Dogomo sebagai koordinator umum aksi memertanyakan status kota Yogyakarta yang dikenal di Nusantara dan dunia sebagai kota pluralisme yang menghargai perbedaan dan menjunjung demokrasi. "Suara kami dibungkam utusan sultan di Yogyakarta, ratusan personel kepolisian, dan BRIMOB. Saya pikir mereka ratusan. Suara kami dibungkam di kota yang katanya kota dengan masyarakatnya yang menghargai perbedaan dan menjunjung demokasi," tegas pria yang biasa disapa Agus ini. Pernyataan Agus ini memerlihatkan ia adalah sosok yang sok pintar. Ia berani berkata "pluralisme" tetapi ia sendiri tidak mengerti. Pluralisme adalah paham yang menghargai perbedaan suku, budaya, agama, dan ras dalam sebuah negara. Separatisme bukan bagian dari pluralisme. Apalagi salah satu alasan mereka mengapa Papua harus merdeka adalah menurut mereka orang Papua adalah ras Melanesia sedangkan mayoritas orang Indonesia adalah ras Melayu. Jelas dari alasan ini mereka sendiri tidak mengerti apa itu pluralisme.

"Kami tidak mau ada separatis di kota ini. Semua separatis harus angkat kaki dari kota Yogyakarta," kata Sonny, anggota AMP yang turut serta dalam aksi demo, meniru kata-kata anggota Paksi Katon kepada para mahasiswa Papua. Menurut Sonny, tindakan ini jelas-jelas sudah bertentangan dengan prinsip pokok demokrasi dan HAM untuk menyampaikan pendapat di muka umum tanpa ada diskriminasi. Sonny tidak berbeda dengan Agus. Mereka masih belum mengerti batasan dari demokrasi. Perbuatan makar bukan bagian dari demokrasi. Semua negara yang menjunjung tinggi demokrasi tentu saja juga menolak adanya separatisme di negaranya. Amerika Serikat yang mengaku sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi dan HAM juga tidak akan membiarkan Hawai'i dan Alaska lepas.

Dalam demo ini, massa aksi menuntut kepada Indonesia dan PBB untuk memberikan kebebasan kepada rakyat Papua Barat untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai solusi demokratis. AMP juga minta hentikan semua aktivitas eksploitasi melalui perusahaan-perusahaan asing seperti Freeport, LNG, British Petroleum, Tangguh, Mecdo, Corindo, dan yang lainnya. Kemudian mereka juga menyerukan pemerintah untuk menarik semua pasukan organik dan non organik. Intinya adalah demo yang diulang-ulang oleh mereka tanpa bosan. Jangan-jangan mereka demo dengan maksud supaya bisa bolos kuliah?

Ketua IPMA Papua Aris Yeimo usai aksi menjelaskan bahwa dalam waktu dekat ia akan mengusahakan audensi dengan pihak kesultanan terkait isu-isu yang berkembang akhir-akhir ini, salah satunya mengenai kebebasan menyampaikan pendapat yang menurutnya "dibungkam" dan keamanan mahasiswa Papua di Yogyakarta. Katanya tadi sudah dapat izin dari sultan? Berarti itu tadi hanya izin bohongan? Pada kenyataannya mereka belum bertemu dengan sultan.

Air susu dibalas air tuba adalah sebuah peribahasa yang sangat tidak asing di telinga kita. Itulah peribahasa yang menjadi gambaran dari AMP, segerombolan mahasiswa yang tidak tahu rasa terima kasih kepada pemerintah Indonesia. Ada banyak mahasiswa asal Papua yang dibiayai pendidikan mereka oleh pemerintah melalui program UP4B. Saya yakin ada banyak anggota AMP yang sering berdemo menyuarakan "Papua merdeka!" tersebut mendapat beasiswa dari pemerintah. Jadi pemerintah perlu mengambil tindakan tegas dengan mencabut beasiswa semua mahasiswa Papua yang terlibat aksi makar. Mereka harus disadarkan bahwa mereka masih butuh Indonesia. Alangkah lebih baik jika mereka membentuk organisasi belajar bersama atau organisasi untuk mencari dana bagi rekan-rekan mereka yang tidak mampu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun