Mohon tunggu...
Anto Mohsin
Anto Mohsin Mohon Tunggu... Dosen -

Sebelumnya kuliah dan bekerja di AS. Sekarang mengajar di Qatar.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Hakteknas dan Kebangkitan Iptek Indonesia

31 Agustus 2015   21:09 Diperbarui: 31 Agustus 2015   21:09 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Tujuh hari sebelum Republik Indonesia merayakan HUT-nya yang kelima puluh di tahun 1995, prototipe pesawat terbang berbaling-baling buatan IPTN N-250 melakukan terbang perdananya dengan sukses. Dua organisasi keteknikan nasional Perhimpunan Ahli Teknik Indonesia (PATI) dan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) lantas mengusulkan ke pemerintah supaya tanggal uji coba pesawat tersebut ditentukan sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas). Presiden Soeharto kemudian menerbitkan Keppres No. 71 bulan Oktober 1995 untuk mengesahkannya.

 

Dua puluh tahun sesudah penerbangan Gatotkaca, bagaimana kondisi ilmu pengetahuan dan teknologi Indonesia saat ini?

 

Kalau kita mengambil kelistrikan nasional sebagai tolak ukur, di akhir Maret 1995, PLN melaporkan 57,74 persen desa yang sudah terlistriki. Di akhir tahun 2014, BPS mencatat bahwa desa yang sudah dapat listrik 84,6 persen. Ini berarti 15,4 persen atau sekitar 12 ribu desa di Indonesia belum berlistrik. Walau persentasenya naik, masih banyak kantong-kantong gelap di Nusantara.

 

Tentu saja jumlah desa berlistrik bukan tolak ukur satu-satunya (atau bahkan yang memadai) untuk menilai perkembangan teknologi di Indonesia. Kehadiran listrik di suatu daerah belum tentu berarti daerah tersebut lantas akan menjadi makmur. Ketersediaan infrastruktur lainnya seperti pendidikan dan transportasi penting untuk mendorong pertumbuhan daerah tersebut.

 

Sayangnya selain kelistrikan pencapaian teknologi di bidang lainnya juga tidak banyak yang bisa dibanggakan. Ketika Indonesia dihantam krisis moneter, produksi N-250 dihentikan dan sampai sekarang PT Dirgantara Indonesia belum membuatnya kembali. Satelit komunikasi Palapa masih merupakan buatan perusahaan luar negeri. Jangankan untuk meluncurkannya untuk membuatnya sendiri pun kita masih belum mampu.

 

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, industri perkapalan kita belum mampu memasok kebutuhan nasional. Kita masih membeli banyak kapal laut angkut penumpang dan militer dari luar. Bahkan untuk menggantikan kapal layar latih Dewaruci pun kita memesannya dari suatu perusahaan galangan kapal di Spanyol. Barang-barang yang kita ekspor masih didominasi oleh hasil bumi mentah, yang walau jumlahnya besar nilai tambahnya kecil.

 

Memang di era SBY program modernisasi alutsista TNI sempat menaikkan pamor PT Pindad yang berhasil membuat produk unggulan seperti panser Anoa. Tapi di sektor-sektor lain seperti transportasi, energi, dan telekomunikasi kita lebih banyak membeli, mengimpor, atau merakit produk-produk buatan luar ketimbang mengembangkan dan memproduksinya sendiri.

 

Prestasi Indonesia di bidang teknologi kurang lebih tercermin oleh indeks pencapaian teknologi (Technology Achievement Index) Program Pembangunan PBB (UNDP). Indeks ini dikembangkan untuk mengukur hasil karya-karya dan pemakaian teknologi suatu negara, terutama untuk pembangunan manusianya. Di tahun 2013, indeks pencapaian teknologi Indonesia (yang diukur antara lain berdasarkan jumlah hak paten, lisensi, dan royalti per kapita; pengguna internet; jumlah telepon dan listrik terpasang; dan tingkat keahlian dan keterampilan warga negara) berada di peringkat ke-60 dari 72 negara.

 

Di bidang sains kita juga tidak menggema di dunia. Jumlah artikel-artikel ilmiah di jurnal-jurnal iptek prestisius yang ditulis oleh orang Indonesia atau oleh ilmuwan yang tinggal di Indonesia mungkin bisa dihitung dengan jari per tahunnya. Untuk bidang yang ramai jumlah penelitinya pun seperti ilmu politik, karya para ilmuwan kita tidak banyak diketahui ilmuwan-ilmuwan luar karena kebanyakan ditulis dalam Bahasa Indonesia.

 

Kenapa kondisi iptek Indonesia setelah 20 tahun "bangkit" tetap terpuruk? Salah satu masalah utamanya adalah karena tradisi ilmiah bangsa Indonesia rendah. Kita memang punya banyak doktor di beragam ilmu pengetahuan, tetapi hasil karya ilmiah mereka di kancah ilmu pengetahuan dunia minim. Kebanyakan lulusan S3 ini terserap bekerja menjadi birokrat yang disibukkan oleh banyak tugas non-ilmiah baik di lembaga pemerintah maupun non-pemerintah. Sehingga produksi karya ilmiah mereka biasanya berhenti di disertasi yang dihasilkan. Jumlah perguruan tinggi Indonesia cukup banyak, tetapi strukturnya yang condong kaku dan tertutup kurang mampu mencetak sarjana-sarjana yang cakap memproduksi ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan yang baru.

 

Bagaimana caranya supaya bangsa Indonesia benar-benar dapat bangkit dari tidurnya dan mengembangkan tradisi ilmiah yang baik untuk menghasilkan produk-produk intelektual yang handal? Menelaah dari karya-karya sejarah sains dan teknologi serta pengalaman pribadi saya tinggal, kuliah dan bekerja selama dua puluh tahun lebih di Amerika Serikat, ada tiga cara yang bisa kita terapkan.

 

Pertama, menanamkan dan memupuk budaya rasa ingin tahu masyarakat sejak kecil. Biasanya anak-anak balita dan usia sekolah rasa ingin tahunya sangat besar. Mereka banyak bertanya selagi mengenal dunia sekelilingnya. Banyak studi pendidikan awal anak menyarankan supaya rasa ingin tahu ini jangan diredam tapi justru harus didorong sehingga ketika mereka tumbuh besar memiliki keinginan kuat untuk menelusuri banyak hal. Di sini peran orang tua serta guru pra-TK, TK, dan Sekolah Dasar amat sangat penting. Ada banyak cara melakukan ini. Di antaranya memperkenalkan mereka pada buku-buku, alam sekeliling, dan beragam museum. Pada saat yang bersamaan mereka juga perlu dilatih mengekspresikan apa saja yang mereka telah pelajari dengan cara menuliskannya dalam bentuk karangan. Setiap anak punya ketertarikannya sendiri sehingga satu topik tertentu (contohnya samudra) bisa ditelaah dan ditulis dalam berbagai perspektif menarik.

 

Kedua, menumbuhkankembangkan tradisi menjelajah baik secara fisik menelusuri lingkungan sekelilingnya maupun secara intelektual mengeksplorasi dunia melalui bermacam bacaan. Salah satu organisasi ilmiah kondang dunia National Geographic Society ketika didirikan di tahun 1888 memiliki misi untuk menumbuhkan dan menyebarkan ilmu geografi ("to increase and diffuse geographic knowledge"). Dengan misi ini, organisasi ini telah menjelajah banyak tempat dan memberikan dana penelitian bagi banyak ilmuwan ternama dunia seperti ahli primatologi Jane Goodal dan antropolog Louis and Mary Leakey. Majalah National Geographic telah banyak memuat artikel-artikel hasil penjelajahan dan penelitian yang dilakukan dan didanai oleh organisasi ini.

 

Dalam sejarah nusantara, kita pernah memiliki sosok Karaeng Pattinggaloang, penguasa Kerajaan Tallo' di abad ke-17 yang punya rasa ingin tahu yang besar sehingga beliau menguasai berbagai bahasa asing dan lihai bercakap dengan bangsa-bangsa Eropa yang datang ke Makassar. Ketika berkuasa Karaeng Pattinggaloang menerjermahkan banyak buku mengenai teknologi terbitan Eropa kala itu. Usahanya mirip dengan Pergerakan Terjemahan yang dilakukan dinasti Abbasiyah di Baghdad untuk menerjemahkan banyak buku-buku Yunani, Persia, dan Sansekerta ke dalam Bahasa Arab.

 

Seperti halnya yang pernah dilakukan Karaeng Pattinggaloang dan dinasti Abbasiyah, kita juga harus punya koleksi buku-buku yang lebih banyak lagi baik yang terbitan dalam negeri maupun terjemahan buku-buku luar negeri. Buku-buku ini harus tersedia dengan murah dan mudah. Internet banyak menyediakan informasi tapi informasi yang tersaji tidak terstruktur rapi layaknya buku yang dikarang dan disunting dengan baik. Memberikan akses internet saja tanpa menyediakan buku-buku tidak efektif.

 

Kalau dua cara pertama penekanannya ada pada anak-anak usia sekolah sehingga ketika mereka tumbuh besar memiliki kedua sifat ini, strategi ketiga fokusnya ada pada mahasiswa di tingkat S1 ke atas, yaitu memberikan pendidikan interdisipliner di perguruan tinggi. Pada dasarnya para mahasiswa dan mahasiswi di perguruan tinggi harus memiliki kesempatan untuk menelusuri lebih lanjut minat dan bakatnya tanpa harus terkukung oleh disiplin ilmu yang dipilihnya ketika mulai kuliah. Pendidikan interdisipliner juga diperlukan untuk menciptakan situasi kondusif untuk persilangan ide-ide. Dengan begini mereka bisa lebih terbuka menerima ide-ide baru yang bisa membentuk pemikiran-pemikiran baru juga. Pendidikan interdisipliner memungkinkan seorang mahasiswi mengambil sikap kritis dan skeptis terhadap ilmu pengetahuan yang diperolehnya sehingga terpacu untuk mencari jawaban sendiri. Slogan Royal Society of London, organisasi keilmuwan tertua di dunia, adalah "Nullius in Verba" Bahasa Latin yang arti harfiahnya "Jangan Percaya Kata Orang". Slogan ini membentuk sikap para ilmuwan Royal Society yang selalu ingin mencari tahu atau membuktikan sendiri jawaban atas berbagai permasalahan ilmiah. Sikap ini pula yang memacu salah satu anggota Royal Society Michael Faraday untuk meneliti lebih lanjut hubungan antara arus listrik, magnet, dan gerak sehingga dia berhasil mendesain dan membuat motor listrik.

 

Baik di jaman peradaban Islam di abad pertengahan atau di era sekarang di negara-negara Belahan Utara, ketiga strategi di atas secara berkesinambungan selalu ditanam, dipupuk, dan dikembangkan. Semoga perayaan Hakteknas ke-20 tahun ini benar-benar bisa dijadikan titik awal kebangkitan ilmu pengetahuan di Indonesia.

 

Penulis adalah dosen Kajian Sains dan Teknologi di Fakultas Liberal Arts di Northwestern University in Qatar (NU-Q).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun