Bursa calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta diramaikan dengan berita pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahja Purnama yang mendaftar naik Kopaja ke KPUD DKI kemarin. Alasan Jokowi dan Ahok naik Kopaja? "Ini bukan cari sensasi. Saya hanya ingin membuktikan apakah Kopaja masih layak dipakai atau tidak. Ternyata sudah saatnya diganti," kata Jokowi. Mungkin Jokowi mengatakan yang sebenarnya. Mungkin juga dia ingin diliput media. Alasan sebenarnya kita tidak akan pernah tahu. Tapi kalau Jokowi memang peduli dengan transportasi publik di ibukota dan dia ingin membenahinya jika terpilih jadi Gubernur DKI nanti, ini merupakan nilai tambah sang kandidat. Sudah banyak yang tahu Jakarta itu kota amburadul penuh kontradiksi. Amburadul terlihat dari semrawutnya tata ruang kota yang berkembang tanpa aturan. Seperti “telor ceplok” yang jadi “telor dadar”, kata manifesto gerakan “Save Jakarta”. Penuh kontradiksi karena di kota ini terdapat infrastruktur dua kutub yang sangat timpang. Di satu pihak ada apartemen-apartemen papan atas menjulang tinggi, di lain pihak pemukiman rakyat ala kadarnya memenuhi bantaran sungai-sungai. Pasar becek dan pasar gembrong berdampingan dengan lusinan mal dan pusat berlanjaan mewah. Penjaja kaki lima bertaburan di tengah berbagai jenis restoran bagi pelanggan berkocek tebal. Keadaan ini memang karena kebanyakan warga Jakarta terpolarisasi menjadi dua kelas yang semakin hari semakin lebar jurang di antara keduanya. Bukan itu saja. Jakarta juga punya segudang masalah. Bukan hanya macet dan banjir. Tapi juga kualitas udara yang sangat buruk, sampah padat dan cair yang tidak tertangani dengan baik, permukaan tanah yang terus menurun, ketersediaan air yang kurang, saluran drainase yang ngga bagus, tempat pejalan kaki dan taman yang sedikit, dan banyak lagi. Singkat kata, Jakarta sudah menjadi kota yang sangat tidak nyaman untuk dihuni. Masih membludaknya penduduk Jakarta dari tahun ke tahun karena sentra pemerintahan dan bisnis negeri ini masih terletak di ibukota. Perputaran orang, uang, dan ide masih banyak terjadi di sini. Mau tidak mau banyak orang harus tinggal di Jakarta untuk mencari penghidupan yang lebih “layak”. Bagaimana caranya membenahi Jakarta? Saya punya satu usul. Calon gubenur dan wakil gubernur Jakarta harus main My Town 2! Permainan ini sayangnya memang hanya dibuat untuk telepon genggam atau tablet buatan Apple, Inc. Jadi saat ini hanya bisa diunduh dan dimainkan di iPod Touch, iPhone, atau iPad. Yang terpenting sebenarnya bukan mainannya atau peralatan elektronik yang diperlukan untuk memainkannya. Aspek yang paling menarik dan relevan dari permainan ini adalah peraturan main yang direkayasa oleh para desainernya. Dan kalau saja calon gubernur dan wagub Jakarta paham atas filosofi permainan ini, ada kemungkinan Jakarta tidak akan terus berkembang seperti sekarang ini: pengembangan kota yang dimonopoli “tata uang” ketimbang “tata ruang” yang baik. Aturan main My Town 2 sebenarnya tidak rumit. Tapi ini “memaksa” siapa saja yang memainkannya untuk membangun kota idamannya secara lebih baik dan merata. Maksudnya begini. Awalnya kita hanya mendapat sepetak tanah kosong dan beberapa rumah. Dari rumah-rumah ini kita bisa mendapat uang sewa. Uang ini kita bisa kumpulkan untuk membeli rumah, bangunan, toko, atau tanah untuk mengembangkan kota. Nah, sepertinya desainer My Town 2 tahu kalau dorongan alami setiap orang adalah untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya untuk mengembangkan kotanya. Duit yang terkumpul bisa untuk membeli tanah dan membangun bisnis-bisnis baru. Ada sebelas jenis bisnis yang bisa kita bangun: rumah makan, kedai kopi, perkantoran, pasar, toko ritel, toko baju, salon, tempat olah raga, tempat rekreasi, tempat hiburan malam, dan tempat penginapan. Dari berbagai bisnis inilah kita bisa mendapatkan uang pajak masuk untuk membuka lahan dan mendirikan bisnis baru. Walaupun ada keinginan kuat untuk mendirikan bermacam-macam bisnis, My Town 2 tidak memerbolehkan begitu saja pemain untuk membangun toko baru tanpa menambah jumlah penduduk kota sampai mencapai jumlah tertentu. Untuk itu, kita diberikan pilihan untuk mendirikan community buildings atau hunian penduduk. Contoh community buildings atau bangunan publik yang tersedia adalah tempat bermain anak-anak, kantor pos, sekolah, taman, kantor polisi, lapangan sepak bola, kolam renang, perpustakaan, rumah sakit, kantor pengadilan, stasiun kereta api cepat, halte bus, pusat pembangkit listrik, kebun, rumah kaca, dan bahkan observatorium. Seperti layaknya permainan lain, masing-masing bangunan memiliki nilainya tersendiri. Semakin mahal harga bangunan semakin besar juga jumlah populasi yang kita bisa tambah dan lebih cepat juga kita bisa memenuhi syarat kependudukan untuk membangun bisnis baru. Jenis bangunan yang dipilih sepenuhnya bergantung pada kondisi keuangan dan lahan yang tersedia. Kita juga bisa menambahkan jumlah penduduk kota dengan cara membangun berbagai jenis rumah baik itu rumah biasa, rumah dempet, rumah susun tiga tingkat, apartemen super mewah, vila, rumah pondok, kondominium, rumah besar, rumah modern, rumah jenis tudor, rumah jenis Victorian, dan banyak lagi. Seperti community buildings, lebih mahal harga rumah, lebih banyak warga kota yang bisa ditampung dan lebih besar uang sewa yang bisa kita dapatkan. Dengan adanya “aturan main” seperti ini, uang yang terkumpulkan mau tidak mau harus digunakan untuk membangun hunian warga atau tempat-tempat yang memberikan layanan ke masyarakat luas seperti perpustakaan, kantor pos polisi, dan taman. Hasilnya kota yang terbangun akan lebih merata, tidak hanya dipenuhi oleh tempat-tempat bisnis atau pusat-pusat perbelanjaan saja seperti yang terdapat di Jakarta sekarang. Saya tahu pendapatan pemda DKI dari pajak sentra-sentra bisnis di Jakarta bisa mencapai triliunan rupiah setiap tahun. Tapi berapa banyak perpustakaan umum, tempat rekreasi publik yang murah, gelanggang olah raga, perumahan untuk warga-warga kelas menengah kebawah, dan transportasi publik yang nyaman dan handal? Dibandingkan dengan lusinan mal dan pusat-pusat belanja kelas atas, jumlah tempat-tempat tersebut sangat sedikit. Sangat disayangkan Jakarta yang punya garis pantai hanya bisa dinikmati kebanyakan warganya dengan cara pergi ke Ancol. Itu pun harganya sangat mahal bagi sebagian besar warga Jakarta. Ibukota juga tidak nyaman bagi pejalan kaki karena infrastrukturnya tidak terbangun untuk kami. Sungai-sungai Jakarta terlantar dan dibiarkan jadi saluran kotoran dan sampah ketimbang dijadikan tempat rekreasi warga yang nyaman, murah, dan dapat diakses oleh siapa saja. Tidak seluruh sampah pun terangkut oleh pemda DKI. Pembangunan taman publik pun hanya bagian dari usaha untuk mencapai 13 persen daerah ibukota yang “hijau”. Jumlah mobil dan motor tiap yang tiap tahun kian bertambah mencekik jalan-jalan Jakarta yang terbatas. Asap kendaraan bermotor ini juga menyesakkan paru-paru. Ibukota yang lahannya sudah banyak dilapisi beton, semen, dan aspal tidak memiliki sistem drainaise yang handal untuk menampung curahan air hujan. Genangan air pun muncul di berbagai tempat setelah hujan sebentar. Jakarta adalah milik seluruh warga Jakarta tanpa terkecuali. Sudah seharusnya kita menuntut pembangunan ibukota untuk semua! Caranya? Bilang ke calon gubernur dan wagub kalau Jakarta perlu dibangun dengan “aturan main” yang lebih baik!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H