[caption id="attachment_371078" align="aligncenter" width="284" caption="Image from Google"][/caption]
Aku (bukan) perempuanmu
Tak berpikir bisa mencintai, namun kau ukir keyakinan untuk kau temui ditiap pagimu, meniti hari dengan kebersamaan yang kau sebut indah, sebagaimana bongkah cinta di kedua mata mu juga terselip teguh pada ucap mu.
Aku (bukan) perempuanmu
Tersabar diantara hiruk pikuk kehidupan yang kau kenal, ujarmu. Yang terus kau rengkuh meski tahu lelah itu kita, lelah itu aku, namun terus kau pintakan senyumku sebagai bentuk kebahagiaanmu sedang tanpamu berarti kedukaan untukku.
Aku (bukan) perempuanmu
Yang tak kau biarkan mengemas rasa sayang penuh luka, meski merutuki pilihanku jika menetap pada ikrar berada disampingmu. Kaupun tetap akan disini, menjagaku hingga waktu menuntun kita merapat pada alur takdir yang tak pasti seperti awal mempertemukan kita.
Ikhlaskah, cinta yang terus kurapal dalam doa dengan begitu banyak pedih, menyusuri pusat ketabahanku, mengoyak kewarasanku, menghakimi diri dengan segala rasa bersalah? Aku (bukan) perempuanmu, yang tak terlepas dari doa di tiap penghujung sujudmu, pun menyayangimu seperti itu, juga sepertinya, meski kelak tidak menjadi satu.
------
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H