Kemarin pagi, lepas shalat shubuh, seperti biasa saya ke warung kelontongan yang juga menjual sayur mayur, ayam, daging dan kebutuhan masak – memasak yang tak jauh dari rumah saya. Sampai di warung, sudah ada ibu – ibu yang lain. Ada yang menyapa, ada juga yang menyalami saya, bahkan ada seorang Ibu Sepuh yang saya panggil Oma Manado yang seketika mencubit kedua pipi saya dan menawarkan agar saya ke rumahnya karena Oma Manado itu baru saja membuat banyak kue cucur. Di warung, saya hanya membeli seekor ikan salem ukuran besar dan sepuluh ribu rupiah sayuran mentah bahan sup. Ketika saya akan membayar ke kasir, Ibu Pemilik Warung berbisik kepada saya, bahwa Ibu XYZ - tetangga baru kami - menitip pesan agar saya mau ke rumahnya. Penasaran, saya pun ke rumah Ibu XYZ yang konon suaminya adalah seorang bankir.
Begitu pintu rumahnya yang mewah itu terbuka, saya melihat wanita paruh baya yang mukanya pucat, matanya cekung dan rambut acak – acakan. Saya dipersilahkan duduk di dinning chair-nya yang tampak mahal dan mewah. Ibu XYZ duduk di depan saya dan mengeluh bahwa seluruh tubuhnya gatal – gatal hebat, panas, pedih dan makin parah kondisi itu ketika malam hari. Itulah sebabnya dia kurang tidur sudah dua bulan terakhir ini.
“Sudah ke dokter, Bu ?” tanya saya sambil memegang tangannya ketika wanita itu mengeluh dengan mata berkaca – kaca.
Dia menjawab sudah ke dokter ketika gatal – gatal baru timbul di awal – awal terjadinya masalah yang dia alami. Katanya, Ibu XYZ dapat salep yang harus dioleskan dan dia dilarang mandi minimal 24 jam serta dapat obat pereda gatal, tapi begitu salep dan obat habis, gatal – gatalnya timbul lagi. Malah makin parah dia rasakan.
Selama bercerita, Ibu XYZ tak henti menggaruk kepalanya, lehernya, ketiaknya, sela – sela jarinya, lipatan – lipatan timbunan lemak di perutnya dan ( maaf ) daerah selangkanya. Sering kali dia menepuk – nepuk daerah yang tadi digaruknya.Tak salah lagi, itu pasti kelakuan “si nyonya cantik” yang menyerang Ibu XYZ tersebut.
“Kemarin saya ketemu Nak Gung*, kata Nak Gung saya disuruh ngobrol sama Jeng, makanya saya nitip pesan sama yang punya warung. Saya harus bagaimana dong, Jeng ?” tanyanya dengan nada putus asa. “Ndak kuat sama gatelnya ini lhooo,” kata Ibu XYZ lagi sambil tak henti menggaruk – garuk dan menepuk – nepuk daerah yang barusan digaruknya.
Saat itu saya hanya bawa hp jadul dan segera kirim sms kepada suami saya untuk memberitahukan bahwa saya ada di rumah Ibu XYZ sambil minta tolong agar suami saya mengantarkan tablet saya. Untung suami saya segera ke rumah bu XYZ sambil mengantarkan barang yang saya minta dan mengambil belanjaan saya. Suami saya mengerti, kalau saya sampai ke rumah tetangga, pasti ada yang penting sekali, jadi dia menggantikan tugas saya menyiapkan sarapan pagi kemarin.
Dengan tablet di tangan, saya jelaskan kepada Ibu XYZ bahwa dia menderita INFEKSI SCABIES yang penyebabnya adalah sejenis kutu/tungau bernama Sarcoptei Scabiei var Felis et Canis, alias kutu/tungau parasit yang biasa hidup di tubuh kucing atau anjing liar atau yang tak terawat dan pindah ke tubuh manusia dan "ngontrak gak bayar di tubuh manusia yang dihinggapinya".
Sarcoptei Scabiei itu menggali terowongan di lapisan epidermal kulit manusia. Para “nyonya” kutu/tungau juga mengeluarkan liur dan "ngebom" dengan pup nya di dalam terowongan yang dibuatnya di dalam kulit manusia yang direaksi oleh kulit sehingga timbul rasa yang sangat - sangat gatal sekali. Oleh karenanya penderita akan terus menggaruk, menggaruk, menggaruk dan menggaruk terus, tak peduli kulitnya sampai lecet dan luka serta meninggalkan bekas kehitaman.
Ibu XYZ makin antusias mendengarkan penjelasan saya. Terlebih ketika tangan saya membuka dan menunjukkan foto kutu/tungau yang menyebabkan penderitaannya di layar tablet saya. Tentu saja foto kutu itu saya peroleh dari buku – buku kesehatan dan telah mengalami pembesaran sekian kali lipat ketika dilihat melalui mikroskop.
“Jadi saya harus gimana, Jeng ? Mosok ke dokter lagi ? Yang waktu itu juga enggak sembuh lho, Jeng,” katanya putus asa.
“Waktu Ibu berobat itu, pasien dokternya rame gak ?” tanya saya.
“Walah Jeng, rame banget. Wong dia dokter spesialis kulit di Klinik Na***** yang itu lho….klinik kecantikan. Pasiennya yang antri buanyak, Jeng. Cantik – cantik. Mungkin yo para artis, Jeng. Lha ayu – ayu,” jawab Ibu XYZ sambil menggaruk - garuk perutnya.
Saya hanya bisa senyum dan menjelaskan bahwa dokter tersebut sudah benar memberikan terapi salep untuk dioleskan ke seluruh tubuh dan didiamkan selama kurang lebih dari 24 jam agar semua tungau dan telurnya mati. Namun karena antrian pasien yang banyak, Ibu XYZ luput mendapatkan haknya berupa penjelasan bahwa penanganan SCABIES tidak hanya selesai dengan pemakaian salep dari dokter yang meresepkannya. Karena untuk menuntaskan pengobatan SCABIES, dokter sebaiknya menyarankan agar penderita merendam semua barang – barang yang berbahan kain dengan desinfektan atau air panas mendidih terutama yang pernah bersentuhan dengan pasien. Bantal – bantal, guling dan kasur harus diseka dengan lap yang dibasahi desinfektan dan diperas hingga lembab; kemudian bantal, guling dan kasurnya dijemur. Spring bed juga harus diseka dengan lap yang dibasahi desinfectan kemudian dijemur, aneka boneka yang pernah dipakai pasien harus dicuci dan juga dijemur. Intinya, memutus mata rantai serangan kutu – kutu ini adalah dengan cuci desinfeksi dan jemur, karena kutu/tungau itu akan mati dengan tiga langkah tersebut.
Dari tangga yang menghubungkan lantai satu dan lantai dua rumah Ibu XYZ, saya lihat Din** anak bungsunya turun. Umurnya baru 6 tahun. Sang Ibu melambai kepada anaknya. Sang anak mendekat. Sang Ibu berbisik di telinga sang anak. Sang anak mengangguk dan melepas kaos yang dikenakannya.
Benar saja, sang anak mengalami hal yang sama dengan Ibunya.
Saya minta senter kepada sang ibu dan mulai memeriksa tubuh sang anak yang membuat saya bergidik dengan apa yang saya lihat di tubuh sang anak. Sekujur tubuh, tak terkecuali tangan dan kaki penuh kudis, luka - luka koreng yang penyebarannya khas seperti sela - sela jari tangan dan kaki, leher, ( maaf ) selangkangan dan ketiaknya.
Akhirnya saya meminta selembar kertas kepada Ibu XYZ untuk menulis apa saja yang harus di lakukannya. Jelas, nomor pertama yang saya tulis di sana adalah Ibu XYZ dan suami serta ke empat anaknya harus berobat kembali ke dokter untuk diperiksa dan bilamana mereka semua terjangkiti infeksi parasit SCABIES, maka mereka semua harus mendapat salep untuk membunuh tungau dan kutu – kutunya. Langkah kedua harus dilakukan pembersihan massal atas benda – benda yang pernah kontak langsung dengan tubuh penderita. Rendam desinfectan dan atau rendam di air panas dan jemur – jemur adalah caya yang cukup efektif untuk memutus penularan dan perkembangbiakan kutu Sarcoptes Scabiei ini. Pemberian cahaya matahari yang cukup kepada ruangan yang dihuni seperti pembuatan dan penambahan jendela, ventilasi dan atau mengganti beberapa genteng dengan genteng kaca agar cahaya matahari masuk optimal dari atap serta yang tak kalah pentingnya adalah kebersihan lantai yang harus senantiasa di pel secara teratur dengan disinfectant pula.
Tak lupa saya menuliskan merek cairan karbol dan obat disinfectant yang harus dibeli oleh Ibu XYZ untuk tindakan bersih – bersihnya. Alhamdulillah, Ibu XYZ dan suaminya yang ikut nimbrung, mau menerima saran saya.
Kemarin siang ketika saya berangkat ke kampus bersama suami yang berangkat dinas dan tadi pagi saat saya berangkat ke rumah sakit untuk kontrol, saya melihat ada kesibukan di rumah tetangga baru saya itu. Saya lihat karpet - karpet dicuci dan dijemur di sepanjang pagar rumahnya. Saya lihat juga Ibu XYZ bersama suaminya mengeluarkan dan menggosok serta menjemur spring bed yang ada di rumah mereka. Dua jemuran portable ukuran besar pun sudah penuh dengan pakaian yang nampaknya baru saja dicuci. Aroma karbol desinfektan menyeruak kemana - mana. Hmmm…..jadi ingat rumah sakit milik pemerintah, yang disinfectant nya masih menggunakan karbol konvensional.
Sang Ibu mengajak saya masuk ke rumahnya ketika saya bersama suami lewat sepulang dari sekolah anak kami siang tadi. Saya diajak melihat lantai rumahnya yang sudah di pel dengan disinfectant. Ibu XYZ juga menunjukkan 1 jerigen kemasan isi 1000 ml disinfectant yang sudah kosong dan 1 jerigen lagi tinggal setengah isinya serta 2 jerigen karbol lainnya masih disegel.
"Saya rendam semua baju – baju ke dalam larutan karbol selama 1 jam dan kemudian saya bilas sesuai saran Jeng," demikian kata Ibu XYZ dengan senyum sumringah. "Lantai sudah dipel Jeng, meja kursi, bed, meja belajar, kusen - kusen jendela dan pintu, pegangan pintu sampai saklar listrik saya lap semua dengan karbol lho," lanjut Ibu itu.
Saya, tentu saja sangat bersyukur ketika tetangga saya itu demikian kooperatif ketika mengetahui bahwa kondisinya dan kondisi putranya harus ditanggulangi dengan tindakan "bersih - bersih" yang cukup repot dan menyita waktu.
Sempat ketar - ketir juga saya, mengingat beberapa kasus serupa yang saya alami ketika saya masih bekerja di rumah sakit yang cukup besar di mana beberapa pasien ada yang meninggi kondisi emosionalnya dan begitu mudah marah dan melabrak dokter kulit yang meminta sang pasien untuk melakukan tindakan bersih – bersih, desinfeksi dan jemur – jemur seperti yang saya anjurkan kepada Ibu XYZ atas kondisi infeksi SCABIES yang mereka derita. Persepsi pasien yang berujung penolakan atas penjelasan dokter umumnya karena pasien merasa rumahnya mewah, bersih dan mustahil ada kutu/tungau yang bisa menyerang manusia akibat kurang “sehat” nya kondisi hunian yang ditempatinya. Padahal, SCABIES bisa menyerang siapa saja, tak peduli mereka yang tinggal di rumah mewah atau rumah biasa.
Tahun 2000, saya sempat mengalami di mana keluarga seorang penderita infeksi SCABIES yang seorang pejabat, menolak mentah - mentah bahkan melempar dokter kulit yang memeriksa istrinya dengan kursi ketika dokter menjelaskan bahwa SCABIES atau GUDIG/GUDIK yang diderita istrinya hanya dapat ditanggulangi secara total dengan melakukan bersih - bersih massal seisi rumah, terutama barang - barang yang pernah bersentuhan dengan penderita.
Sang suami pasien sedemikian marahnya kepada dokter dan juga saya, karena dia merasa dokter meragukan kebersihan rumahnya. Sedemikian marahnya suami pasien tersebut sampai - sampai dia mengacungkan jari tengah kepada dokter dan saya, kemudian pergi begitu saja sambil membanting pintu klinik dengan keras setelah kursi chitose yang dia lemparkan ke arah dokter kulit sepuh yang menangani istrinya bisa saya tangkis dengan tangan kiri saya yang mengakibatkan tangan kiri saya mengalami retak dan harus mendapat fiksasi gips beberapa bulan lamanya.
Jangan salah, SCABIES pun bisa menyerang mereka yang tinggal secara bersama – sama dalam sebuah asrama, barak tentara, penjara, rumah sakit jiwa yang masih menganut system barak dalam perawatan untuk pasien – pasiennya, pondok pesantren dan wisma – wisma tinggal yang dihuni bersama – sama oleh beberapa orang dalam satu tempat. Itulah sebabnya SCABIES pun disebut pula sebagai Communal Diseases, atau penyakit yang dapat berjangkit pada banyak orang di suatu tempat yang sama.
Duluuuu…..sebelum ada perubahan system pendidikan di pesantren yang terkenal dengan sebutan Pondok Pesantren Modern, saya mengenal istilah “santri budugen” yang artinya “santri kudisan”. Dan celakanya, “kudisan” nya sang santri yang baru memasuki pondok pesantren tertentu, dianggap biasa sebagai semacam “wisuda” atas resminya yang bersangkutan masuk ke dalam pondok pesantren tersebut.
Untunglah, dengan bergulirnya waktu, kerja sama yang baik antara petugas kesehatan dan manajemen pesantren dan fihak – fihak terkait, fenomena “santri budugen” bisa dikikis menjadi nyaris hilang sama sekali dengan cara memutus mata rantai penyebaran penyakit ini, yakni orang yang tinggal bersama - sama dengan penderita harus diperiksa secara menyeluruh untuk mengetahui apakah sudah terkena serangan NYONYA SCABIES ini atau tidak dan menyediakan hunian yang memenuhi syarat – syarat kesehatan.