Sejenak Ibu sepuh itu mengusap mukanya.
Entah air mata atau tetesan hujan yang disekanya, tidak kuperhatikan benar. Hp ku bunyi soalnya, dari anakku.
"Neng tahu referendum ?" tanyanya.
"Iya, Bu," jawabku sambil membaca deretan kata dari sms yang dikirim anakku.
"Saya memilih setia kepada Republik Indonesia. Negara saya, Neng. Walau resikonya saya harus kehilangan semuanya," kata Ibu sepuh itu.
Aku tertegun.
Seperti ada yang menohok dadaku.
Rasanya sakit sekali di perut kanan bawah igaku.
Jawaban Ibu itu dan penekanan pada kata saya yang dia ucapkan, membuat hatiku seperti disayat-sayat.
"Ibu dulu guru SD, Neng. Kita punya toko besar. Tapi hancur diserang orang. Ibu dengan suami mengungsi ke Atambua. Terus ke Jakarta ikut anak. Tak ada kerja bagus di Jakarta. Kita pindah ke sini. Susah payah beli rumah kecil dengan sisa uang. Suami Ibu kena stroke sudah lima tahun. Jadi Ibu harus kerja keras. Asuh anak orang, cuci baju orang dan ojek payung," paparnya lagi.
Payung yang kupakai, aku miringkan bersandar di bahu kiriku. Jadi aku bisa merengkuh bahu wanita ringkih berambut hampir semua putih yang tak sampai tinggi bahuku posturnya dengan tangan kananku dan menariknya mepet ke dinding Trans Studio yang tidak terkena tetesan hujan.
"Ibu menyesal ikut Indonesia ?" tanyaku dengan perasaan melayang.
Jujur, saat itu aku tidak siap bila dia mengeluarkan sesalannya.
Entah kenapa....
Tapi,
"Tidak, Neng. Saya tidak menyesal. Ini negara saya. Hidup mati saya, bersama Allah Bapa dan Indonesia,"
Cepat-cepat kututup payung yang kupakai dan kuberikan padanya. Dengan tangan kanan kurengkuh bahunya dan kami pun jalan sepayung berdua ke depan TSM sampai angkot merah tiba. Kuberikan beberapa lembar. Dia memandang seakan tak percaya. Aku cepat-cepat masuk angkot duduk di sudut belakang angkot untuk menyembunyikan air mata. Wanita sepuh itu, masih berdiri di sana, sampai hilang dari pandanganku karena angkutan kota merah yang membawaku, berlalu.