Jadi meskipun dengan cara berbeda yakni dengan adanya tindakan afirmatif khusus wanita, hal tersebut merupakan esensi dari kesetaraan gender.Â
Kok Nilai Kemampuan Bekerja dari Identitas Gender?
Sesungguhnya bias gender ini masih ada. Pria atau bahkan sesama wanita sendiri yang beranggapan wanita itu manja, lemah, tidak dapat melakukan sesuatu dengan tepat; Hal ini membuat banyaknya pandangan sebelah mata terhadap wanita. Bahkan menganggap wanita tidak dapat "menyetir" kendaraan.
Masih banyak stigma masyarakat yang menganggap pria itu lebih rasional, tegas, dan selalu dianggap lebih memumpuni dibandingkan wanita, padahal jika dilihat secara kualitas dan kemampuan mereka itu sebanding dan bahkan sama saja.Â
Dengan image wanita yang dianggap manja dan lemah, membangun stigma masyarakat yang menempatkan wanita hanya cocok untuk bekerja di ranah yang sesuai dengan anggapan tersebut---menjadi guru TK, sektretaris, babysitter, pekerjaan yang berbau feminim. Padahal, identitas gender tidak mengukur kemampuan bekerja dalam bidang apapun. Hal ini harusnya diterapkan untuk kedua pria dan wanita.
Sudah seharusnya wanita mendapatkan hak yang sama dengan pria, dan mendapatkan tempat yang setara dengan pria. Wanita juga memiliki hak untuk kenaikan pangkat sesuai dengan usaha yang dilakukannya selama bekerja; Gaji dibayar semestinya, tidak ada lagi perbedaan gaji antara pria dengan wanita, di mana gaji wanita selalu lebih rendah dibanding pria.
Budaya Patriarki yang "Langgeng"
Perlu ditekankan bahwa feminisme tidak bertujuan untuk membenci ataupun merendahkan pria, melainkan melawan budaya patriarki yang berstigma; Wanita terhadap pekerjaan domestik - "Pekerjaan" wanita yang hanya dalam lingkup rumah tangga saja seperti memasak, menjaga kebersihan lingkungan rumah, merawat anak. Sedangkan untuk pria, mereka hanya dituntut untuk bekerja mencari nafkah; merasa bukanlah kewajibannya melakukan pekerjaan rumah.
Dapat kita lihat, konstruksi patriarki ini pun tidak hanya menindas kaum perempuan, melainkan kaum pria itu sendiri. Bahkan hingga saat ini masih tertanam "toxic masculinity" yang mengharuskan pria selalu tampil maskulin dan kuat. Kondisi ini menghasilkan banyak atau bahkan hampir semua skenario dimana pria susah dalam menyampaikan pengalaman mereka dan mencari tempat perlindungan saat mereka terkena pelecehan seksual.
Dalam konteks rumah tangga pun, dengan adanya patriarki di lingkungannya dapat membuat pria merasa satu-satunya kewajiban mereka dalam berumah tangga ialah menafkahi keluarga; yang padahal, tanggung jawab finansial juga dapat dipikul bersama dengan wanita. Â
Maka sesungguhnya, wanita dapat berperan menjadi "kepala keluarga" yang menafkahi, pria pun juga dapat berperan sebagai "pekerja" rumah tangga. Atau bahkan keduanya; sama-sama bekerja sama dan melakukan kedua tanggung jawab di kedua lingkup rumah tangga serta pekerjaan agar mudah tercapai pengertian terhadap sesama dan kenyamanan masing-masing.