Mohon tunggu...
Motulz Anto
Motulz Anto Mohon Tunggu... Freelancer - Creative advisor

Pemerhati Kebijakan | Wacana Sosial | Pengamat dan Penikmat Kreativitas, Pelaku Kreatif | Ekonomi Kreatif | motulz.com | geospotter.org | motulz@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Pentingnya Citra Jakarta sebagai Miniatur Keberagaman Indonesia

14 Februari 2017   12:00 Diperbarui: 14 Februari 2017   13:37 946
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertokoan yang sepi penjual dan pengunjung. Motulz

Pusat pertokoan juga butuh dikelola., ada kepala pertokoan atau kepala pasar sebagai pemimpinnya. Ada satpam yang menjaga keamanan pertokoan dan sekitarnya, ada cleaning service, ada tukang perbaiki listrik dan seterusnya. Untuk pengelolaan pertokoan ini maka semua pemilik toko ditarik pajak berupa retribusi. 

Retribusi yang ditarik rutin untuk kemudian dikelola oleh pengelola pusat pertokoan. Tarikan pajak retribusi antar pedagang tidaklah sama, tergantung dari ukuran toko dan seterusnya. Ada yang mahal ada yang murah, bahkan tidak sedikit kita melihat ada pedagang liar yang dagang ngemper di pelataran pusat pertokoan. 

Dari perbedaan angka retribusi tadi, apakah tarif masuk WC juga dibedakan? Ternyata tidak, mau itu pemilik toko besar, toko kecil, kios besar, kios kecil, bahkan pedagang liar tadi sekali pun, saat masuk WC mereka bayar dengan tarif yang sama yaitu Rp.2000,- Bagaimana bisa? itulah yang disebut subsidi silang, pembayar retribusi yang besar “ikut menalangi” pembayar yang kecil. Salahkah? atau adilkah? Nah disitulah yang kita kenal dengan istilah mengadministrasi keadilan sosial. Tugas pengelola pertokoanlah yang harus pandai mengadministrasi keadilan penggunaan retribusi pajaknya.

Pusat pertokoan yang bagus adalah yang pedagangnya bisa menjalankan usaha dagangnya dengan aman, nyaman, baik, dan banyak transaksi. Pedagang akan senang jika tempat dagangannya dikelola dengan baik, air tidak mampet, sirkulasi udara baik, sampah dibersihkan dan tidak bau, sampai misalnya perihal penerangan gedung. 

Akan tetapi, tidak sedikit pula pusat pertokoan yang dikelola dengan sembarangan dan asal-asalan oleh pengelolanya. Pedagang rutin ditarik retribusi namun air keran WC mati, lampu diparkiran mati, sampah-sampah bukan saja berserakan namun tidak rutin diangkut yang akhirnya membau. Akhirnya kios makanan mengeluh karena sepi pembeli namun tidak digubris oleh pengelola, kesal rasanya bukan? Pajak terus ditarik tapi dikelola sembarangan dan tanpa ada fasilitas yang ia dapatkan. Ingin rasanya pindah dari pertokoan tersebut ke pusat pertokoan lain tapi biayanya dan aset tidaklah murah dan mudah, akhirnya hanya bisa pasrah.

Pertokoan yang sepi penjual dan pengunjung. Motulz
Pertokoan yang sepi penjual dan pengunjung. Motulz
Semua itu kembali dari sang pengelola pusat pertokoan. Pengelola yang baik tentu tidak akan mencampakan, mengabaikan, dan membiarkan warga pemilik tokonya susah. Pengelola yang baik akan cakap dan jujur dalam mengelola pajaknya. Sebagai pemilik toko tentu akan terbantu usahanya jika pembeli yang datang pun jadi nyaman dibuatnya. Yang akhirnya semua diuntungkan dan saling menguntungkan. Sangat menyenangkan bukan jika kita hidup dalam pengelolaan yang demikian? Begitu pula lah yang terjadi dengan pengelola Kota Jakarta, kita warganya adalah para pemilik toko, pemilik kios, warga pembeli juga pengunjung.

Tentu semuanya ingin hidup berdagang yang tenang, untung, dan saling menguntungkan. Lantas bagaimana dengan pedagang liar yang tak bayar retribusi tapi berjualan di emperan? tentunya pengelola yang baik akan mentertibkan mereka. Seperti apa penertibannya? Saya rasa tiap pengelola tentu punya cara dan kebijakannya masing-masing, tentu pula harus berdasarkan aturan dan perundang-undangan (di atasnya) yang mengatur tentang pengelolaan pertokoan atau pasar. Pengelola pasar yang bijak tentu akan mencarikan solusi terbaik bagi semua “penghuni” pertokoan.

Demikianlah gambaran akan sebuah indahnya keberagaman, pertokoan yang menarik pengunjung adalah pertokoan yang menyediakan beragam barang dagangan, tempat makan, tempat istirahat, sholat, hingga taman dan tempat parkir. Jakarta sudah memenuhi itu semua. Akan tetapi ada perbedaan yang signifikan dari perumpamaan pusat pertokoan ini dengan Kota Jakarta, apakah itu? Yaitu kepala pertokoan atau kepala pasar diangkat dan dipilih tidak oleh warga pemilik toko, melainkan oleh pemilik pusat pertokoan atau Kepala Dinas PD Pasar Jaya. Sementara kepala pengelola Kota DKI Jakarta alhamdulillah bisa dipilih langsung oleh warganya. Jadi keberkahannya bertambah lagi dan mustinya ini harus kita syukuri.

Kenyataannya, Jakarta jauh lebih beragam dan rumit dari sekedar pusat pertokoan atau pusat perbelanjaan. Jakarta adalah tempat kita lahir, kita tinggal, kita hidup, kita mencari nafkah, hingga kita wafat. Semoga gambaran perumpamaan pusat pertokoan ini mudah dibayangkan oleh kita warga Jakarta dan masyarakat Indonesia. 

Kekayaan keberagaman di dalam pertokoan itu adalah kekayaan keberagaam yang dimiliki oleh warga Jakarta, juga dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kita boleh berbeda satu dengan yang lain, namun kita pun harus sadar bahwa kita adalah warga yang saling membutuhi, menjaga, melengkapi dan saling mengisi.

*) Horeka : hotel, restoran, dan katering

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun