Jakarta, sering dianggap sebagai miniaturnya Indonesia karena di Jakarta hidup dan tinggal beragam warga dari berbagai asal daerah, suku, agama, dan ras. Namun sebenarnya, apa sih untungnya keberagaman ini bagi Jakarta? dan akhirnya bagi Indonesia?
Beberapa hari menjelang Pilkada DKI, saya menemukan banyak sekali kekisruhan yang terjadi baik di dunia nyata, dunia maya, media massa, juga tentunya media sosial. Semua kekisruhan yang entah bagaimana cara meredamnya. Namun setelah saya berpikir apa iya harus diredam? Jangan-jangan ini semua adalah bagian dari pendewasaan kita sebagai bangsa yang bebas beropini?
Mari kita bermain dengan perumpamaan, contoh keberagaman yang akan saya gunakan adalah “pusat pertokoan”. Bayangkan pusat pertokoan ini seperti komplek ruko, pusat perkulakan, pusat grosir, atau mungkin seperti Pasar Santa. yang sempat hits.
Di dalam pusat pertokoan kita bisa menemukan begitu banyak pedagang dengan beragam barang. Mulai dari yang murah hingga yang mahal, mulai dari barang yang kecil hingga barang yang besar, dan seterusnya. Makin banyak ragam yang dijual tentu makin meningkatkan daya tarik pembeli yang kemudian meningkatkan perputaran jual-beli disitu. Konsumen di pusat pertokoan tidak selalu dari luar melainkan banyak juga yang datang dari sesama pemilik toko.
Penjual perangkat sholat tidak harus yang beragama Islam, begitupun sebaliknya penjual dupa dan kemenyan pun tidak musti orang tionghoa, atau pedagang yang beragama Budha. Di depan toko tidak wajib ada tanda agama, akan tetapi tidak sedikit para pedagang yang sengaja memasangkan atribut keagamaan dan keyakinannya demi sekedar menjadi hiasan atribut, doa, dan minta berkah. Namun keberadaan atribut tersebut justru malah membuat semarak tiap lorong pertokoan.
Karena mayoritas “warga” pertokoan itu muslim dan waktu ibadahnya yang lima kali sehari, maka di pusat pertokoan umum dibangun mushola bahkan mesjid. Sementara penganut agama non-muslim tidak pernah iri atau keberatan. Bahkan tidak sedikit saya mendengar cerita, saat pemilik toko yang muslim sedang sholat Jumat, maka tokonya dibiarkan terbuka karena tetangga toko sebelah yang beragama non-muslim senantiasa ikut menjaga toko yang ditinggalnya.
Kekerabatan antar pemilik toko begitu dekat dan akrab, tidak mengenal batas-batas dia muasal pedagang dari Padang? Jawa? Madura? Bali? Manado? dan seterusnya. Bahkan ketika ada toko yang menjual minuman keras untuk orang asing dan horeka* pun, para tetangga toko tidak pernah mengaitkannya dengan aturan agama.
Aturan dan tata tertib pertokoan jelas tidak ada urusannya dengan aturan agama yang dianut oleh masing-masing pemilik toko. Walau terpisah namun kedua aturan itu saling melengkapi, sebagai alat yang menyatukan nilai-nilai kehidupan di dalam pusat pertokoan, misalnya kejujuran, tidak berbohong, dapat dipercaya, saling hormat, saling menghargai, dan seterusnya.
Jakarta, yang mirip bagaikan pusat pertokoan barusan tentunya harus juga kita sikapi sebagai sebuah keuntungan, keunggulan, dan kekayaan. Apalagi jika di dalam keberagaman perbedaan itu kita bisa hidup berdampingan, maka itu sebuah berkah yang musti disyukuri. Begitu banyak ragam warga, latar belakang, asal usul, pendidikan, dan agama di Jakarta, selayaknya merupakan sebuah keragaman yang melengkapi satu dengan yang lainnya.
Idealnya kita harus bisa hidup bertetangga dengan “pemilik toko” lain yang berbeda latar belakang bukan? Jangan kaget misalnya di daerah Kemang, orang asing asal Australia pun bisa akrab nongkrong di warung bersama tetangganya yang orang Betawi. Sementara di Cipete, orang asing asal Perancis bisa makan bubur kacang ijo di warung milik orang Sunda dan masih banyak lagi contoh lainnya.