Mohon tunggu...
Motulz Anto
Motulz Anto Mohon Tunggu... Freelancer - Creative advisor

Pemerhati Kebijakan | Wacana Sosial | Pengamat dan Penikmat Kreativitas, Pelaku Kreatif | Ekonomi Kreatif | motulz.com | geospotter.org | motulz@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Pertanyaan Menakutkan: Anda Dukung Siapa di Pilkada?

18 Januari 2017   10:59 Diperbarui: 18 Januari 2017   21:41 1342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto ilustrasi milik @motulz)

Berapa banyak dari kalian yang terpaksa keluar dari grup WA sekolah, alumni, bahkan keluarga besar? Lalu meng-unfriend dan di-unfriend teman di Facebook? Atau bahkan saat tidak sengaja berpapasan dengan mereka tadi di mal perasaan jadi rikuh? Kenapa ini bisa terjadi? Fenomena apakah ini?

Media sosial memang memudahkan penggunanya untuk bertemu dan berkumpul dengan ketertarikan yang sama. Kemudian dengan hobi yang sama, hingga gagasan, ide, atau faham yang sama. Sejak media sosial marak digunakan masyarakat, sejak itu pula bermunculan komunitas-komunitas, kelompok masyarakat, dan grup-grup. Hal ini tentu positif karena memudahkan kita sebagai pengguna media sosial menemukan kelompok masyarakat yang sama hobinya dengan kita, sama kesukaannya, sama ketertarikannya, dan seterusnya. Mulai dari komunitas penggemar fotografi, penggemar komik lawas, penggemar batu akik, hingga penggemar suara klakson bus.

Namun pada akhirnya, pertumbuhan media sosial ini mulai memasuki babak yang paling menegangkan yaitu rivalitas antar kelompok atau antar komunitas. Satu dengan yang lain mulai berani saling memberikan pernyataan buruk atau negatif dari kelompok atau komunitas lainnya. 

Akhirnya, para kelompok masyarakat, komunitas, atau ormas yang sediakalanya dulu berkumpul secara diam-diam kini seolah mendapatkan kesempatan untuk berani muncul di tempat yang sangat terbuka yaitu lapangan terbuka “media sosial”. Media sosial sudah kadung menjadi lahan super terbuka yang mempersilakan kita atas segala bentuk keterbukaan. Berawal dari keterbukaan ketelanjangan, keterbukaan menyatakan pendapat tak etis, keterbukaan mendukung gerakan terlarang, bahkan keterbukan untuk saling mencela, menghardik, dan menghina tanpa nilai etika dan sopan santun.

Kini, kita memasuki masa-masa paling mengerikan, yaitu tuntutan untuk harus mendukung atau membenci salah satu dari kelompok yang saling bertikai. Dengan kata lain kita mendapatkan paksaan untuk keberpihakan. Jika kita abstain tidak berpihak pada keduanya maka bersiaplah kita akan di cap macam-macam oleh kedua belah pihak tadi. Sungguh keberpihakan ini menjadi semacam stempel wajib di masyarakat.

Beberapa kali saya bertemu tetangga, teman lama, rekan kerja, semua bertanya dengan pertanyaan sama : pilkada DKI dukung siapa? Sebuah pertanyaan yang seolah mencari jawaban atas sebuah keberpihakan. Saat itu saya yakin sekali jika jawaban keberpihakan saya berbeda dengan dia maka ia akan memancarkan ekspresi muka yang berbeda atau saya kena ceramah olehnya.

Keberpihakan ini sudah mencapai tingkat yang lebih ekstrem. Satu pihak menuduh pihak lain, pihak ini merasa lebih baik dari pihak situ, bahkan keberpihakan ini pun sudah sampai pada tahapan yang lebih religius dan spiritual. Jika tidak setuju dengan topi santa maka kita akan di cap berpihak pada pihak anu, jika kita setuju mengucapkan hari raya agama lain maka kita di cap berpihak pada pihak itu, begitu seterusnya hingga bergulir dan bercampur dengan isu-isu lainnya.

Keberpihakan ini sudah merasuk ke tiap-tiap orang dengan caranya masing-masing. Keberpihakan ini mulai merenggangkan hubungan yang dulunya erat, hubungan teman, rekan, bahkan hubungan dengan anggota keluarga dan famili. Tidak sedikit teman saya cerita jika ibunya, ayahnya, kakek dan neneknya pun kini berseberangan pihak dengan dirinya.

Berseberangan pihak dukungan yang dibangun oleh penyebaran informasi lewat media sosial dan juga media massa. Satu pihak merasa paling benar dan sisi lawannya adalah pihak yang sesat. Satu dan lainnya pun kini terus gigih berusaha untuk memindahkan keberpihakannya dari yang berlawanan ke pihak dirinya. Baik dengan janji-janji kebenaran, keuntungan, bahkan janji-janji religi.

Lantas bagaimana kita harus menyiasati situasi seperti ini? Di sinilah kreativitas kita diuji, kita musti berfikir kreatif untuk menyiasati situasi yang sebetulnya tidak menguntungkan pihak mana pun. Misalnya dengan mencoba untuk tidak atau menghindari percakapan perbedaan keberpihakan saat di dunia nyata (bukan internet / media sosial).

Saya masih percaya istilah silaturahmi dengan cara yang diajarkan agama saya yaitu silaturahmi dengan bertemu muka dan berjabat tangan. Cara lainnya adalah misalnya dengan membahas ide-ide dan melakukan kegiatan positif. Bukankah keterbukaan era kesejagatan ini seharusnya meluaskan wawasan kita bukan malah menyempitkan pikiran dan pandangan kita?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun