Mohon tunggu...
Motulz Anto
Motulz Anto Mohon Tunggu... Freelancer - Creative advisor

Pemerhati Kebijakan | Wacana Sosial | Pengamat dan Penikmat Kreativitas, Pelaku Kreatif | Ekonomi Kreatif | motulz.com | geospotter.org | motulz@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sejarah Mengapa Orang Indonesia Tidak Bisa Antre

17 Oktober 2016   10:33 Diperbarui: 16 Agustus 2017   12:49 18073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang bapak, pensiunan tentara - pernah bercerita tentang masa kejayaan Suharto yang dikenal dengan era Orde Baru (ORBA). Di balik semua ketenangan kehidupan bernegara di masa itu banyak yang tidak sadar akan sebuah faham yang tertanam terselubung di masyarakat yang hari ini mulai tampak hasilnya. Faham tersebut adalah : mahalnya harga sebuah akses dan prioritas dalam kehidupan sebagai warga negara. Seperti apa itu?

Di era kejayaan ORBA, bangsa ini hidup dalam situasi yang seolah menuju sejahtera. Pemerintah pun mencanangkan masa itu sebagai era 'tinggal landas', yang maksudnya adalah era di mana bangsa ini siap meninggalkan masa susah untuk menyambut era kesejahteraan. Namun benarkah demikian? Yang umum tampak saat itu memang demikian, ada banyak sekali orang Indonesia yang berkehidupan mewah, glamor, dan lebih dari berkecukupan. Namun mereka-mereka itu hanyalah segelintir orang yang dianggap punya akses atau mendapatkan prioritas di dalam kesehariannya.

Akses dan prioritas, dua hal ini seakan dipupuk dan ditanamkan dalam 'aturan keseharian' oleh para petinggi negeri ini saat itu. Pemerintah seakan memberlakukan bahwa tidaklah mudah mendapatkan akses, baik untuk berkomunikasi dengan pemerintah, pejabat, termasuk tokoh-tokoh sosial masyarakat. Untuk bisa dekat (belum tentu bisa berhubungan) dengan pihak Istana (sebutan untuk keluarga Suharto) mereka harus menempuh proses panjang dan tidak murah. Sementara itu bagi mereka yang sudah dekat dengan Istana dan punya 'akses' mendapat sebutan 'Kenalan Ring-1'. Di tingkat daerah dan kota hal ini pun terjadi. Suatu saat di kampung kami di bilangan Jakarta Timur berdiri sebuah rumah yang besar dan megah dengan desain wow... tidak perlu bagus yang penting terlihat mahal. Kasak-kusuk warga pun merebak, lalu diketahui pemilik rumah tersebut adalah 'orang DKI' - yaitu sebutan untuk mereka yang punya akses dengan kantor Pemprov DKI saat itu.

Cerita lain, seorang keluarga harus menunggu kepastian kamar di rumah sakit hingga larut malam. Bukan karena kamar yang ditunggunya tidak ada akan tetapi setiap ada kamar kosong selalu diberikan kepada mereka yang mau membayar 'prioritas' untuk mendapatkan kamar tanpa harus antre. Di tempat lain - kantor Samsat tempat pembuatan SIM dan STNK selalu saja ada pilihan: jalur dengan tes atau jalur tanpa tes. Untuk yang tanpa tes tentu saja kita harus mengeluarkan kocek yang tidak sedikit. Bukan cuma bebas tes melainkan kita diladeni bak VIP. Cukup duduk manis di ruang tunggu lalu semua pekerjaan prosedur dijalani dari ruang satu ke ruang lain oleh seorang polisi yang bertugas jaga di sana. Tapi itu jaman dulu, hari ini mungkin sudah tidak demikian.

Akses dan prioritas, ternyata menjadi sebuah barang mahal di era rezim. Tidak sedikit para orang tua yang harus bekerja keras mengumpulkan uang demi memperoleh akses dan prioritas untuk memasukkan anaknya sekolah. Tidak sedikit anak yang harus bekerja keras dan menjual hartanya demi memperoleh akses dan prioritas untuk orang tuanya yang sudah renta masuk ke rumah sakit atau bahkan ke pemakaman. 

Perilaku akses atau prioritas ini sebetulnya lumrah di dunia monarki, kapitalis, dan konsumerisme. Bagi mereka akses dan prioritas itu merupakan sebuah nilai yang sangat mahal yang tidak sembarang bisa diberikan. Namun di tata kehidupan bermasyarakat yang setara dalam UU, hal tersebut rasanya tidak pas terjadi. Kini kebiasaan atau faham akses dan prioritas yang telah ditanam 30 tahun yang lalu oleh pemerintah ORBA mulai tampak hasilnya, tumbuh subur di masyarakat. Era reformasi sebagai penanda awalnya. Orang kecil yang dulu miskin akses dan minim mendapatkan prioritas kini seolah meledak dan mecelat liar. Sementara bagi mereka yang sudah punya posisi atau jabatan, seolah berhak menikmati fasilitas prioritas berupa bebas akses dan selalu mendapatkan prioritas di mana pun ia berada di negeri ini. Mereka yang mayoritas merasa lebih memiliki prioritas dibanding yang minoritas, mereka yang lebih tua merasa lebih prioritas dibanding yang muda, yang kaya kepada yang miskin, yang miskin kepada yang kaya, dan seterusnya.

Tidak sulit untuk menyaksikan pertarungan prioritas itu semua di jalan raya. Setiap hari kita menonton bagaimana di jalan raya orang-orang saling adu kekuatan kepemilikan AKSES dan PRIORITAS. Pemotor seolah berhak mendapatkan prioritas dibanding mobil. Mobil harus berhenti, mengalah, jika ada motor yang akan menyerobotnya. Begitu pun dengan mobil yang seolah bebas masuk gang-gang sempit karena di jalan besar sudah mampet. Di pengkolan dan tikungan pun siap sedia para penjual jasa prioritas untuk memblok jalan dan mempersilakan mobil anda lebih duluan belok dari kendaraan lain. Nama penjual jasa prioritas ini adalah polisi cepek yang tarifnya tentu saat ini sudah bukan cepek lagi (cepek = Rp 100,-)

Hal terkecil dari masalah akses dan prioritas ini terlihat pada budaya antre. Mengapa orang Indonesia sulit sekali melakukan antre? Ya.. nampaknya akibat dari pemahaman akan mahalnya sebuah akses dan prioritas tadi. Bahwa jika orang yang tidak antre itu adalah mereka yang 'punya akses' dan 'dapat prioritas'. Lalu mereka-mereka itu seolah dianggap sebagai golongan 'istimewa'. Sebuah paradigma dan kebiasaan yang sudah kadung semrawut bukan? Bahkan kita yang tercuri haknya saat mengantre pun tidak berani komplain atau menegur mereka yang menyalip antrean. Kenapa? karena menurut beberapa anggapan, mereka khawatir akan berurusan dengan seseorang atau 'orang penting'. Daripada bermasalah maka mereka memilih untuk diam.

Sampai kapan masalah ini akan berakhir? saya pikir solusinya ada pada orang-orang tua, guru, pemuka agama, dan tokoh-tokoh masyarakat yang sepakat dan sama-sama berkomitmen untuk mengajak anak-anak, warga, dan masyarakat untuk belajar mengantre. Karena faktanya, mengantre itu adalah sebuah bentuk kesetaraan dalam masyarakat. Bisa kita mulai mencobanya untuk belajar hidup antre di jalan raya, tempat umum, atau fasilitas-fasilitas publik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun