Makin ke sini, makin terasa perseteruan keras sebagai respon atas keputusan independensi Ahok dalam maju ke Pilkada DKI. Tekanan tersebut bukan sekadar muncul dari para lawan-lawan politiknya, itu terlalu biasa.Â
Namun ketika tekanan ini datang dari partai, terlihat sekali tekanan yang sangat kuat dan taktis hingga memasuki babak tekanan lewat aturan main atau UU Pilkada. Sebegitu besarnya kah Ahok ini? Sehingga harus dibendung dengan tembok yang bukan saja lebih tebal namun harus lebih tinggi?
Mari kita kembali ke Pilkada DKI 2012 yang memulai babak barunya dengan bermunculannya calon-calon dari jalur independen. Tidak sedikit nama yang muncul maju sebagai kandidat non-partai salah satu yang cukup besar adalah Faisal Basri.Â
Dukungan atas beliau cukup masif dan terasa sekali hawa independensinya. Semua gerakan dukungan dilakukan oleh warga dengan sukarela. Kini kejadian itu datang lagi, kebetulan calonnya adalah Ahok, sebagai petahana.Â
Tahun 2012 tidak sedikit teman dan kenalan saya mendukung pasangan Faisal Basri karena melihat pasangan ini sebagai pasangan alternatif dari yang ditawarkan oleh partai-partai. Maju sebagai pasangan independen melawan pasangan yang diusung partai jelas bukan hal mudah. Ia harus bersaing dengan 6 pasangan kandidat termasuk kandidat petahana Fauzi Bowo.Â
Namun semangat para pendukung Faisal Basri tidak gentar, langkah mereka ini sangat merepresentasikan pentingnya kandidat alternatif dari non-partai. Hasil dari perjuangan tersebut adalah perolehan dukungan sekitar 250.000 suara.
Menjelang Pilkada DKI 2017 kisah pengalaman dan semangat dari dukungan pasangan independen muncul kembali. Bedanya saat ini justru datang dari petahana yaitu Ahok yang akan menggandeng staf-nya sebagai cawagub. Pilihan atas independensi Ahok inilah yang kemudian dianggap langkah bekhianat oleh partai-partai yang pernah mendukungnya di tahun 2012.Â
Partai pendukung Ahok jelas menginginkan Ahok maju lewat jalur dukungan partai-partai itu, namun Ahok malah memilih untuk maju tanpa lewat jalur partai. Alasannya ia tidak mau "disetir" oleh partai. Sebuah alasan yang sama persis dengan alasan saat Faisal Basri maju independen. Alasan "disetir" oleh partai atau bahkan "terikat janji" dan "bagi-bagi" ini sudah menjadi perhitungan kubu Faisal Basri cs. Maka sikap dan pilihan Ahok saat ini hanyalah pengulangan apa yang pernah dilakukan oleh Faisal Basri cs.
Namun demikian, langkah pilihan Ahok ini nampaknya tidak mudah. Partai-partai ditengarai sedang berunding dan ingin melakukan kesepakatan bersama untuk melawan langkah independen Ahok ini. Entah karena alasan apa.Â
Jika dibilang alasannya hanya karena Ahok tidak berterimakasih kok terdengar sangat tidak strategis dan kekanak-kanakan ya? Pasti bukan itu. Namun demikian para partai-partai yang akan melawan Ahok pun tidak kunjung memunculkan calon yang dianggap bagus dan kuat untuk menyaingi Ahok.Â
Semua seolah hanya sibuk untuk menjegal Ahok. Gosip, fitnah, hasutan, serangan media massa dan media sosial terus berhamburan menghantam langkah Ahok. Sampai-sampai ketika para pendukung setianya membela Ahok pun malah dicap sebagai pendukung gelap mata atau anti kritik.Â
Saya pikir di sinilah perjuangan para pendukung Ahok sama seperti bagaimana dulu pendukung Faisal Basri yang bersusah payah harus membagi konsentrasi kekuatan dan perhatian ke 6 pasangan calon.Â
Kini, saat revisi UU Pilkada sudah selesai munculah persepsi bahwa UU tersebut sengaja direkayasa untuk menggagalkan langkah Ahok. Bisa jadi iya tapi bisa jadi juga tidak demikian. Kalau kita mau tidak berfikir suudzon, anggap saja UU tersebut demi menjaga keotentikan para pemilih yang bukan hanya untuk pilkada DKI melainkan juga pilkada-pilkada di daerah lainnya nanti.Â
Anggap saja bahwa proses majunya Ahok lewat jalur independen ini sebagai sebuah pembelajaran baru bagi semua orang. Bagi pendukung, bagi pemilih, KPU, dan juga bagi para partai-partai. Sudah saatnya partai harus mau berdiam sebentar dan menatap situasi ini lebih bijaksana.Â
Publik tidak buta dan tidak mudah diperdaya hanya dengan rayuan lagu lama seperti beberapa tahun lalu. Kemenangan pasangan Jokowi - Ahok di Pilkada DKI 2012 harusnya sudah dijadikan semacam materi pembelajaran yang besar oleh banyak partai-partai.Â
Apakah betul Jokowi dan Ahok itu sebegitu hebatnya? Atau jangan-jangan karena tingkat ketidakpercayaan publik atas sikap partai dan mayoritas politikusnya sudah sangat anjlok? Sikap perlawanan yang dilakukan oleh partai terhadap kelompok relawan Teman Ahok pun sebetulnya lucu.Â
Teman Ahok saat ini diposisikan sebagai sebuah partai kecil, padahal mereka tidak lebih hanya sekumpulan anak-anak muda Jakarta yang sudah kelamaan gerah dan geram dengan sikap-sikap arogan para politisi dan parpol.Â
Katakanlah jika pun pada akhirnya pasangan Ahok berhasil digagalkan lolos maju jadi kandidat independen, apakah tidak mungkin semua yang sudah mengumpulkan KTP dukungan ini akan mengambil sikap jalur golput? Bagi parpol mungkin itu tidak masalah, selama calon yang mereka majukan tetap bisa naik dan menang.Â
Karena toh memang itu misi parpol yang sesungguhnya bukan? Memajukan calon yang bisa merepresentasikan dan membawa manfaat untuk partainya. Namun apakah si calon bisa memenuhi harapan warga DKI? rasanya itu masalah lain yang butuh diuji kelak.
Kejadian perseteruan Ahok lewat jalur independen ini adalah ujian kematangan berdemokrasi, baik bagi masyarakat DKI, masyarakat Indonesia, partai politik dan politisi-politisi. Cepat atau lambat Pilkada DKI 2017 akan dilangsungkan, keputusan warga atas pilihannya menjadi penentu nyata maju atau tidaknya pembangunan di DKI termasuk juga pembangunan pembelajaran politiknya.Â
Semua akan jadi pelajaran dan contoh bagi daerah-daerah di luar Jakarta seluruh Indonesia. Yang mana ini akan menjadi pertanyaan besar bagi kita semua, yaitu mau dibawa kemana kematangan berpolitik bangsa ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H