Mari kita coba pahami posisi LGBT ini yang menurut saya berada pada konteks sosial, hubungan masyarakat saja. Tidak perlu dipaksa masuk ke wilayah konteks agama maupun negara. Karena saya pikir hal itu akan menyulut kegelisahan mayoritas masyarakat. Begitu pun di pihak kaum LGBT saya pikir tidak perlu juga melakukan kampanye atau gerakan sosial untuk memaksakan diri agar bisa diterima di konteks agama dan negara. Faktanya, secara konteks sosial masyarakat Indonesia mayoritas baik-baik saja koq dengan kaum LGBT ini bukan? Secara sosial ya..
Lalu, apakah hal tabu ini hanya ada di konteks sosial? Nampaknya tidak, saya ambil contoh hal tabu dari konteks agama yaitu poligami dan kawin dengan perempuan di bawah umur. Menurut agama Islam, poligami itu bukan hal yang dilarang tapi bagaimana reaksi dan respon sosial mayoritas masyarakat Indonesia? Ternyata tidak sedikit yang melihat hal tersebut sebagai hal tabu (tidak sepantasnya), bahkan dari penganut agama Islam itu sendiri bukan? Apalagi menikahi gadis yang masih di bawah umur (secara aturan negara). Walaupun secara agama wanita yang sudah menstruasi itu artinya boleh dinikahkan namun secara pandangan sosial ternyata masih dianggap tidak pantas.
Maka dengan membagi cara pandang kita ke dalam tiga konteks tadi, rasanya kita bisa lebih toleran melihat kasus LGBT ini dalam tiga kacamata besar. Saat akan mendiskusikan LGBT dalam sebuah forum atau obrolan, sebaiknya memutuskan dari konteks mana kita akan membahasnya. Jika tidak maka obrolan tadi akan kusut dan bertabrakan ke sana-sini, persis seperti yang terjadi hari ini baik di media massa maupun di media sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H