[caption caption="DRAWA, Maskot Asian Games 2018. | Sumber: Official @AsianGamesXVIII"][/caption]Belum berumur seminggu di launching, maskot Asian Games 2018 langsung ditanggapi negatif oleh masyarakat media sosial. Alasan dan komentarnya pun bermacam-macam. Tidak sedikit juga yang memberikan respon positif dengan anggapan bahwa bagus dan jelek itu sangat relatif. Bagaimana sebaiknya masalah maskot ini dikaji?
[caption caption="Salah satu contoh "cita rasa" estetika di sebuah kantor bupati. (Foto milik @motulz)"]
Ini masalah proses, bukan hasil desain akhir
Tidak sedikit teman-teman saya menanyakan tanggapan atau pendapat saya. Apalagi saya termasuk pihak yang lantang dan tegas bahwa maskot ini gagal dan tidak cakap untuk digunakan dalam hajatan besar sekelas Asian Games. Menurut saya masalah terbesar dari kasus maskot ini adalah PROSES-nya, bukan sekedar HASIL dari desain maskotnya, seperti apa? Berikut uraian saya.. (pribadi lho :) any comment? please)
1. Brief
Dalam proses desain, brief atau lembar permintaan dari klien adalah hal yang sangat penting. Sebagai seorang desainer, ia tidak cukup jika hanya pandai menjawab brief namun harus pandai pula membaca dan memahami brief. Seringkali desainer salah menafsirkan brief yang akhirnya tidak memenuhi kebutuhan klien.Â
Untuk kasus maskot ini, saya penasaran dengan: siapa pembuat brief maskot ini? Kenapa harus begitu banyak memasukan elemen di dalam maskot? Kenapa harus ada elemen Pencak Silat? Burung Cendrwasih? Bukankah acara ini berlangsung di Jakarta dan Palembang? Apa argumennya? apa konsepnya? Bagi saya pertanyaan-pertanyaan ini penting karena di sinilah awal mula sebuah desain diciptakan. Saya curiga, jangan-jangan pembuat brief-nya pun orang dalam? dibuat dengan begitu banyak "pesanan visual" demi memenuhi "agar bapak senang" ?
2. Proses
Bagaimana cara mudah menilai sebuah karya? karya desain misalnya? Yaitu dengan mengetahui prosesnya. Yaitu misalnya sejauh mana proses sebuah desain itu berjalan? Dari perjalanan proses desain maka di situ akan muncul argumen, alasan, referensi, dan konsep. Perkara HASIL desainnya terlihat jelek atau norak, itu bisa jadi relatif. Akan tetapi siapa yang bisa membantah jeleknya sebuah desain jika dilalui dengan proses panjang dalam desainnya?
Di sinilah saya menjawab komentar yang mengatakan bahwa si Drawa (maskot Asian Games 2018) ini tidak jelek karena jelek atau bagus itu relatif. Ya bisa jadi relatif jika memang proses pembuatan Drawa itu terbuka dan bisa diakses oleh publik proses dibalik pembuatan desainnya. Nilai sebuah karya kan bukan cuma dari hasilnya melainkan juga prosesnya.Â
Ingat dengan atribut desain Olimpiade London 2012? Ingat betapa atribut dan maskot Olimpiade London dicemooh oleh begitu banyak masyarakat Inggris? Tapi apakah akhirnya tumbang? Tidak...! kenapa? ya karena tim pembuatnya memiliki segudang argumen dan proses. Yang ketika olimpiade itu berakhir, baru pada sadar betapa desain atribut olimpiade ini sangat mencitrakan gagasan yang futuristik yang sangat keren.
3. Kompetensi
Ini yang paling krusial, kasus desain Drawa ini bukan kali pertamanya publik mencemooh desain maskot. Kesalahan fatalnya adalah pemerintah - sebagai pemilik acara, selalu menganggap sepele sebuah desain. Mulai dari pembuat brief, pengerjaan desain, hingga pengambil keputusannya, adalah pihak internal pemerintah itu sendiri. Mereka seolah tidak percaya dengan pihak luar. Jikalau ada pihak agensi yang mengerjakan desain, selalu saja "orang pemerintahan" ikut campur.
Tidak sesekali pula akhirnya mereka membuat sebuah karya desain yang dikerjakan oleh "orang dalam" saja, karena cenderung manut. Terlepas dari hasilnya bagus atau jelek, namun demikian pemerintah sudah melanggar kompetensi dan job description mereka sebagai petugas aparat negara. Karena itu bukan bagian dari pekerjaan dan tanggung jawab mereka. Jika mereka mendesain secara sukarela dan tidak menggunakan anggaran negara, ya silakan saja. Apalagi hasil desain itu hanya digunakan internal.Â
Sudah terlalu sering kita melihat bagaimana pemerintah, pemkot, pemda, kementrian, dan seterusnya, memaksakan diri untuk terlibat dalam pembuatan desain secara internal. Mulai dari desain pamflet, poster, banner, baliho, hingga desain gapura, tugu, ornamen kantor, dan juga logo termasuk maskot. Perhatikan, sudah berapa banyak kita menyaksikan "hasil karya desain" buatan pemerintah. Apa iya dalam pembuatannya mereka melalui proses desain yang umum dilakukan? Saya yakin tidak.. OK katakanlah iya.. tapi apa iya itu kompetensi mereka?
Saatnya berubah
Dari ketiga masalah utama ini, saya berfikir sudah saatnyalah pemerintah itu sadar diri dan jangan lagi cari-cari dan curi-curi kesempatan dari pekerjaan atribusi desain ini. Setiap kementrian sudah pasti akan ada kebutuhan desain, sudahlah.. serahkan pada yang lebih kompetensi. Terserah caranya bagaimana, entah melaui lelang atau penunjukkan, atau magang, dan seterusnya. Yang pasti.. jangan lagi dipaksakan untuk dikerjakan secara internal. Baik dari pembuat brief-nya, yang mengerjakannya, hingga yang menilai dan meng-approve-nya.
Ini kan sudah masuk kategori penyelewengan dalam proses desain dan estetika kan? Estetika itu masalah referensi, bagaimana mungkin mengandalkan estetika yang baik jika desain itu dikerjakan oleh orang-orang yang kesehariannya tidak berhubungan dengan referensi estetika? Desainer mebel yang baik sudah pasti melakukan referensi dari mebel-mebel yang baik, desainer fashion juga begitu, desainer sepatu, logo, animator, karakter, dan seterusnya.
Suka tidak suka, hasil karya desain itu selain masalah informasi, juga masalah estetika dan kenyamanan audiensinya. Tahukan bagaimana amburadulnya desain poster anti-narkoba? Belum lagi bermasalah dengan visual juga bermasalah dengan penulisan pesan dan copywriting. Lantas bagaimana bisa dipertanggungjawabkan skala penyampaian pesannya jika hanya dikerjakan oleh orang dalam?
Dari reaksi media sosial, akhirnya pihak Kemenpora bereaksi dengan merespon akan diadakan sayembara perubahahan si maskot Drawa ini. Apakah ini akan menjadi solusi? Tergantung! Yaitu tergantung sejauh mana orang dalam pemerintahan masih ikut campur? Lalu siapa juri atau decision maker hasil desainnya? Selama masih didominasi oleh orang-orang pemerintahan, saya pikir sayembara revisi ini cuma jadi ajang buang-buang anggaran jilid dua saja.
Contoh sederhana yang bisa kita lihat. Kita bisa lihat bagaimana perubahan penampilan seacara signifikan dari bandara-bandara baru di berbagai kota di Indonesia? Kenapa saat ini bisa begitu bagus? Ya karena dirancang dan dikerjakan oleh para pihak yang kompetensinya di desain arsitektur. Perhatikan pula perbedaan bangunan kantor pemerintahan yang dikerjakan dengan desain selera pemerintahan dengan yang dikerjakan oleh profesional, sangat kentara bedanya bukan?
Hal ini bisa tercapai bukan karena sihir atau pun rocket science koq, cukup serahkan pekerjaan itu kepada yang berkompetensi.. itu saja!
*) Keterangan Gambar Utama: DRAWA, Maskot Asian Games 2018. | Sumber: Official @AsianGamesXVIII
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H