[caption caption="(Foto milik @motulz)"][/caption]Istilah "smelter" ramai lagi, seramai hiruk-pikuk topik #PapaMintaSaham, baik di media massa maupun di media sosial. Semoga keramaian ini tidak menggeser atau mengalihkan makna besar sesungguhnya yang diusung lewat UU Minerba.
Saya bukan pakar atau ahli pertambangan, tapi perkara pertambangan Indonesia ini berkait erat dengan hajat hidup orang banyak dan kemakmuran rakyat, maka ada pentingnya jika kita tahu atau paham rencana pemerintah atas pengelolaan hasil tambang negeri ini bukan? Salah satu yang dianggap mampu meningkatkan nilai ekonomi negeri ini di sektor pertambangan adalah dengan kewajiban mendirikan smelter oleh para pengusaha tambang.
Namun entah bagaimana, isu smelter ini semacam tergoyang kesana-sini dengan kasus ini itu dan dikait-kaitkan dengan sepak terjang partai politik, yang akhirnya publik-pun bingung dan gamang melihat ide smelter ini. Yang dikhawatirkan jika akhirnya masyarakat jadi tidak peduli atau apatis, lalu pemerintah pun akhirnya jadi setengah hati, kemudian menguap, lenyap lewat revisi RUU baru.
Negeri ini sempat heboh dengan fenomena batu akik bukan? Pernah suatu hari saya berkunjung ke kota Ternate dan di sebuah jalan protokol ramai sekali dengan kaki lima pengarajin batu akik. Di sana dijual mulai dari bongkahan batuan, batu akik yang sudah terolah, hingga cincin yang siap pakai.
Saat ngobrol dengan salah satu tukang batu cincin, ia bilang lebih tertarik menjual dalam bentuk batu cincin yang sudah diolah dibanding dalam bentuk bongkahan. Kenapa? karena jika menjual dalam bentuk bongkahan selain harganya murah bukan tidak mungkin di dalam bongkahan tersembunyi kandungan jenis batuan lain yang tak tampak dari luar.
Hal yang sama ketika saya ngobrol dengan teman saya yang bekerja untuk sebuah perusahaan pertambangan. Dalam obrolan itu, ia cerita bagaimana selama ini perusahaannya mengapalkan (mengirim dengan kapal) hasil tambang berupa kerukan atau bongkahan tanah begitu saja. Dalam artian tidak dipisah atau disaring apa saja yang terkandung di dalam bongkahan itu. Ternyata, bongkahan itu bukan cuma mengandung satu jenis mineral - katakanlah emas, tapi di sana juga terkandung tembaga, perak, dan mineral lain, bahkan pasirnya saja bisa dibeli dengan harga mahal. Padahal akan beda jika bongkahan bahan mentah tadi dilakukan di Indonesia dan setelah "tersaring" menjadi bahan setengah jadi, barulah boleh dijual atau dikirim ke luar negeri.
Yang mana sudah barang tentu nilai jualnya pun berbeda bukan? Nah proses penyaringan inilah dilakukan di sebuah tempat yang disebut smelter.
Pembangunan smelter bukanlah hal mudah dan murah, namun demikian harus dilakukan demi meningkatkan pendapatan ekonomi negeri ini. Pemerintah sudah berkomitmen lewat UU Minerba tahun 2008, namun demikian pemerintah dan pengusaha pertambangan masih dalam suasana negosiasi ini itu. Suasana negosiasi pun makin menghangat dengan situasi belakangan ini yang melibatkan perusahaan asing.
Apa pun hasil negosiasi itu saya tetap berharap hasilnya tetap berada pada posisi yang pro kemakmuran negeri ini. Karena cepat atau lambat bukan tidak mungkin UU Minerba ini akan di-revisi dan semoga hasil revisinya tidak mengendurkan niat mulianya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H