Berita tentang kebakaran di salah satu terminal Bandara Soetta, seketika berpindah dengan pemberitaan komplain penumpang Garuda Indonesia yang terlantar dan kesulitan refund. Sementara berita kebakarannya sendiri seakan reda ketika polisi cukup memberikan "jawaban" dari penyebab kebakaran, yaitu korseleting akibat alat pemanggang.
Rasa-rasanya tidak sedikit masalah yang kita dengar di dunia penerbangan Indonesia. Sebagai penumpang pesawat tentu kita pun sering pula mengalami masalah, paling tidak keterlambatan jadwal penerbangan bukan? Namun berapa banyak dari kita yang tahu bahwa salah satu penyebab dari masalah di dunia penerbangan Indonesia ini adalah diakibatkan dari pihak pengelola bandara?
Pengelolaan bandara itu bukanlah sebuah pengelolaan sederhana bagai terminal bus. Di sana ada banyak lembaga atau pihak yang terkait. Mulai dari urusan teknis, skedul, hingga otorisasi. Maskapai penerbangan sebetulnya hanyalah "armada" pengguna jasa terminal dan jasa parkir pesawat saja. Mereka harus taat dengan jadwal dan giliran yang diberikan oleh otoritas pengelola bandara.
Koordinasi Simpang Siur
Beberapa waktu lalu, saya pernah mengikuti inspeksi persiapan keberangkatan sebuah maskapai penerbangan di Soetta. Saya datang dari jam 3 dini hari untuk ikutan briefing harian para kru maskapai tersebut. Mulai dari tim petugas check in, ticketing, bagasi, ground crew, hingga pilot dan cabin crew, menarik sekali. Dari situ saya diberitahu tentang prosedur ini dan itu, baik untuk pesawat yang akan berangkat maupun pesawat yang akan mendarat.
Contoh: siapa yang sangka bahwa tidak semua terminal di Soetta memiliki jalur pengisian bahan bakar bawah tanah? Jika kita perhatikan, ternyata T3 Soetta itu tidak memiliki jalur pipa pengisian bahan bakar bawah tanah, akhirnya pengisian bahan bakar harus menggunakan mobil tanki milik Pertamina. Kewenangan ini tentu saja ada di pihak Pertamina.
Maka jika ada kasus keterlambatan jadwal karena telatnya mobil pengisian bahan bakar, maka sebetulnya bukan salah maskapai toh? Begitu pun saat pesawat mau mendarat, pengaturan posisi parkir pun diatur dan dikelola oleh bandara, walaupun pihak maskapai bisa rikues. Termasuk di situ adalah kebutuhan saat pesawat sudah landing, misalnya tangga, bus penjemput, atau sekedar genset jika pesawat membutuhkan external power.
Katakalan saat pesawat mendarat ternyata tangga "belalai" penuh, maka pesawat harus parkir di tempat agak jauh tanpa belalai, namun jika mobil tangga juga penuh, maka si maskapai harus pinjam ke mobil tangga ke maskapai lain, atau jika terpaksa si maskapai BELI mobil tangga sendiri. Artinya keterlambatan yang diakibatkan mobil tangga ini saja sudah jadi masalah buat keterlambatan jadwal.
Pengelola bandara, bukan cuma Angkasa Pura. Di beberapa kota, misalnya Yogyakarta, otoritas tertinggi bandara Adi Sucipto ada ditangan Angkatan Udara. Kalau bandara Juanda Surabaya ada di tangan Angakatan Laut. Sementara pihak Angkasa Pura lebih seperti "menumpang" saja. Maka tidak heran jika jadwal keberangkatan atau kedatangan di bandara Adi Sucipto seringkali terlambat yang diakibatkan maskapai harus rela bergantian giliran dengan pesawat latih yang take-off, landing, dan fly-pass.
Dari situ maka jika kita mau telusuri lebih jauh, ternyata dunia penerbangan Indonesia tidak akan bisa maju jika pemerintah tidak serius dan tegas terhadap pengelola bandara ini. Angkasa Pura, yang mayoritas memiliki kewenangan atas hampir banyak pengelolaan bandara di seluruh pelosok Indonesia sudah saatnya membuka mata dan mengubah attitude "Orba"-nya yang terserah gue karena gue yang punya kuasa, berganti dengan attitude "jasa service kelas internasional" yang mengejar "kebutuhan pasar seperti apa".Â
Masyarakat Ekonomi
Sebentar lagi kita akan memasuki babak Masyarakat Ekonomi Asean, di mana salah satu agendanya adalah Open Sky Regulation, yaitu dibukanya akses penerbangan domestik negara-negara Asia Tenggara untuk boleh saling membangun jalur penerbangan. Respon ini jelas disambut baik oleh para pengelola maskapai penerbangan di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Rasa percaya diri sudah ditunjukkan oleh banyak maskapai berbendera "merah putih" ini dengan antusias dan siap bersaing. Namun kekhawatiran dari mereka adalah lebih kepada kesiapan dari pihak pengelola bandara tadi. Bagaimana pun, SDM pengelola bandara harus lebih jauh ditingkatkan. Mulai dari cleaning service, dan seterusnya hingga satpam bandara.
Bagaimana mungkin Bandara Soetta - bandara nomor satu di Indonesia bisa gagal mengatasi sebuah kebakaran kecil, yang bisa berakibat fatal terhadap kelistrikan bandara dan berdampak pada jadwal penerbangan? Yang kemudian akibat kekacauan jadwal keberangkatan dari Soetta lantas berdampak pada jadwal kedatangan di bandara-bandara lain di Indonesia? Apakah ini bukan sebuah kekacauan paling sepele? Bagaimana jika kejadian ini terjadi dalam skala yang lebih besar? ancaman teroris misalnya? Apa iya petugas-petugas bandara kita sanggup menghadapinya?
Saya pikir, kepedulian kita terhadap dunia penerbangan Indonesia tidak boleh lagi luput dari pengelolaan bandara. Kita harus bisa lebih kritis dan menyampaikan masukan-masukan kebaikan atas kinerja dan fasilitas bandara. Penyediaan dan pengaturan taksi? taksi dan calo? alur penumpang? alur jemput? pintu pemjemputan kedatangan? sign system? toilet? klinik? dan seterusnya. Saya membayangkan mustinya untuk pengelolaan bandara seperti itu, pihak pengelola bandara bisa mencontek pengelola mal di Jakarta saja. Itu sudah bisa jadi referensi yang ideal. Jangan bilang alasan dana.. airport tax yang kami bayarkan sudah tidak murah lagi toh?
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H